Jakarta (Antara Babel) - Beberapa waktu terakhir ini, dunia perikanan nasional dihebohkan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang alat tangkap tidak ramah lingkungan, termasuk cantrang.
Namun sebenarnya, regulasi yang melarang alat tangkap tidak ramah lingkungan sudah lama.
Keputusan Presiden No 39/1980 menyatakan diberlakukannya penghapusan jaring trawl (pukat hela) antara lain untuk mendorong peningkatan produksi nelayan tradisional, serta menghindari ketegangan sosial antarnelayan.
Kemudian Keputusan Dirjen Perikanan No IK.340/DJ.10106/1997 menyatakan, alat tangkap cantrang, arad, otok dan garuk kerang dikecualikan sebagai jaring trawl, dan diperbolehkan untuk nelayan kecil dengan kapal maksimal 5 gross tonnage (GT).
Sementara berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 6/2010, cantrang termasuk kepada salah satu alat penangkapan ikan dalam kategori pukat tarik.
Pada periode 2011-2014, sejumlah regulasi menteri kelautan dan perikanan mengatur tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan serta alat bantunya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/2015 dan No 71/2016, alat penangkapan ikan cantrang dilarang dioperasikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan, dengan masa tenggat peralihan diberikan sampai Juli 2017.
Selain itu, sosialisasi terkait dengan berbagai peraturan tersebut juga telah dilakukan pemerintah, antara lain melalui dialog yang dilakukan dengan perwakilan nelayan di berbagai daerah.
Kajian yang dilakukan KKP juga menyatakan bahwa apabila penggunaan cantrang dilanjutkan, maka yang akan merugi adalah nelayan, serta hal itu dinilai juga akan merugikan keuangan negara.
Hal tersebut antara lain karena hasil tangkapan cantrang tidak selektif dan menyebabkan pengurangan stok sumber daya ikan, sehingga hasil tangkapan ikan ke depannya akan semakin berkurang.
Hasil kajian tersebut juga menunjukkan bahwa kerugian hasil tangkapan bila dijabarkan dalam angka, maka hanya sekitar 18-40 persen hasil tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, sedangkan sisanya (sekitar 60-82 persen) tidak dapat dimanfaatkan.
Dengan demikian, sebagian besar hasil tangkapan yang menggunakan trawl dan cantrang juga akan dibuang ke laut dalam keadaan mati.
Biota yang dibuang tersebut dinilai berpotensi akan mengacaukan data perikanan karena tidak tercatat sebagai hasil produksi perikanan.
KKP mengingatkan pengoperasian cantrang yang mengeruk dasar perairan dalam dan pesisir, bakal merusak terumbu karang dan lokasi pemijahan biota laut.
Sementara itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak pemerintah menyimulasi cantrang mengingat perkembangan penggunaan alat tangkap tersebut cukup cepat dan terkait hajat hidup banyak nelayan di berbagai daerah.
Ketua KNTI Marthin Hadiwinata merekomendasikan pemerintah daerah, perguruan tinggi, organisasi nelayan, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk melakukan simulasi dan pemantauan lapangan guna mengetahui operasionalisasi cantrang dari berbagai ukuran.
Proses pengkajian operasionalisasi cantrang secara transparan itu diharapkan dapat menjawab pertanyaan terkait status merusak atau tidak merusaknya alat tangkap cantrang, lalu semua pihak diharapkan dapat menerima hasilnya.
Selain itu, KNTI juga menginginkan pemerintah dapat gencar dalam menyosialisasikan dan menyelenggarakan pelatihan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan secara lebih masif.
KNTI juga ingin disiapkan skema pembiayaan untuk membantu peralihan ke alat tangkap ramah lingkungan melalui organisasi nelayan atau kelembagaan koperasi nelayan, serta mendukung tumbuh kembangnya koperasi nelayan guna peningkatan kesejahteraan nelayan.
Organisasi tersebut juga mengajak agar pada masa perpanjangan moratorium ini agar semua pihak dapat menahan diri mencegah konflik dan kriminalisasi.
Kedepankan dialog
Sebelumnya, KKP dinilai perlu untuk lebih mengedepankan dialog dalam mengatasi persoalan penggantian alat tangkap cantrang yang selama ini telah bertahun-tahun dipakai oleh sejumlah kalangan nelayan.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Abdi Suhufan berpendapat sebenarnya untuk fase awal penggantian alat tangkap cantrang, KKP perlu mengedepankan pendekatan sosial dan dialog dengan kelompok nelayan pengguna cantrang.
Selama ini banyak usaha penangkapan ikan masih bercirikan tradisional dalam kelompok yang bersifat informal.
Dengan demikian, seharusnya aturan dan syarat formal yang ditetapkan KKP terkait kategori penerima bantuan alat tangkap juga selayaknya jangan terlalu formal dan kaku sehingga sulit dipenuhi para nelayan.
KKP semestinya sudah punya profil dan peta nelayan, juragan dan kelompok pengguna cantrang, sehingga bakal lebih mudah untuk menentukan mana yang perlu didekati secara intensif melalui pendampingan.
Ia mengungkapkan beragam pendampingan yang dilakukan antara lain terkait dengan penguasaan teknologi yang tepat, persyaratan administrasi, hingga pemberian motivasi kepada mereka.
Dalam kondisi sulit seperti saat ini, nelayan ekscantrang dalam kondisi tertekan karena mereka kebingungan dengan regulasi yang berubah-ubah, cuaca yang tidak menentu dan menurunnya hasil tangkapan dengan alat tangkap pengganti.
Sementara itu, pengamat sektor perikanan Abdul Halim menyatakan perdebatan mengenai apakah cantrang itu alat tangkap ikan yang ramah lingkungan atau tidak sebaiknya dihentikan dan pemerintah fokus membagikan alat tangkap baru kepada nelayan.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanities itu, peta solusi yang perlu difokuskan adalah mulai dari penggantian alat tangkap, percepatan perizinan, dan penyediaan permodalan.
Apalagi, pemerintah dan DPR sudah bersepakat untuk merevitalisasi Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan dengan alokasi dana hingga sebesar Rp500 miliar.
Upaya revitalisasi ini terhalang oleh aturan yang belum disusun, sehingga KKP juga perlu segera menyusun dan menyelesaikan aturan pelaksanaannya sehingga nelayan eks-cantrang bisa segera melaut kembali.
Perdebatan apakah cantrang itu ramah lingkungan atau tidak dinilai muncul kembali karena lambannya proses penggantian alat bagi nelayan kecil dan minimnya fasilitasi transisi alat tangkap bagi nelayan skala besar.
Penyaluran API
Sebelumnya, KKP menargetkan penyaluran 7.255 paket alat penangkapan ikan (API) pada tahun 2017 ini sebagai bagian dari program penggantian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti cantrang.
Dirjen Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja dalam jumpa pers di Kantor KKP, Jakarta, Kamis (7/9) mengemukakan, sesuai arahan Presiden, pihaknya akan menyelesaikan semua sebelum November 2017.
Hingga Juli 2017 sebenarnya telah didistribusikan sebanyak 676 paket sehingga sisanya yaitu sebanyak 6.579 paket API bakal didistribusikan sampai akhir tahun.
Paket alat tangkap yang ramah lingkungan nantinya akan dibawa dari pabrik dengan truk-truk, berkumpul di satu titik, dan akan dibagikan langsung kepada nelayan tanpa melalui perantara.
Pelarangan alat tangkap cantrang didasarkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Pemerintah menetapkan regulasi pelarangan alat tangkap cantrang yang berakhir pada akhir Juni 2017 pada awalnya, namun kemudian hal itu diperpanjang hingga 31 Desember 2017.
Sementara itu, Direktur Kapal dan Alat Tangkap KKP Agus Suherman mengatakan nelayan yang sebelumnya menggunakan alat seperti cantrang dan sejenisnya seperti dogol atau arad, maka akan diganti dengan alat tangkap seperti gillnet, rawai dasar, dan bubu lipat ikan dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Sedangkan untuk nelayan yang memiliki kapal 10 GT atau kurang maka akan difasilitasi penggantian API ramah lingkungan.
Sementara untuk pemilik kapal 10-30 GT akan difasilitasi pendanaan dan pengembangan usaha, sedangkan untuk kapal di atas 30 GT akan difasilitasi untuk surat izin penangkapan ikan atau kapal pengangkut serta relokasi daerah penangkapan ikan baru seperti di Natuna atau Samudera Hindia.