Cox's Bazar, Bangladesh (Antara Babel) - Sekitar 45 menit setelah tiba di
Hotel Coastal Peace di Cox's Bazar usai mengudara selama 55 menit dari
Dhaka, pada Kamis siang yang berkabut tebal, Antara mendapatkan
informasi bakal ada tim kemanusiaan Indonesia yang mendistribusikan
bantuan ke kamp pengungsi Rohingya di Ukhia, sekitar 50 km arah selatan
Cox's Bazar.
"Biasanya tim kemanusiaan kita pergi pagi-pagi ke
kamp pengungsi, tapi hari ini teman-teman dari Rumah Zakat akan ke (kamp
pengungsian) Ukhia untuk menyalurkan bantuan," kata Eson Ibnu Sam dari
lembaga kemanusiaan PKPU Human Initiative pada malam Antara tiba di
hotel di kota yang menghadap Teluk
Bengala di tepi utara Samudera Hindia itu.
PKPU Human Initiative
dan Rumah Zakat merupakan bagian dari lembaga bantuan kemanusiaan
Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk
Myanmar (AKIM).
Setengah jam sejak perbincangan dengan Eson itu,
Nurmansyah dari Special Program & Crisis Centre Rumah Zakat memberi
tahu Antara untuk segera bersiap ke Ukhia.
Kamis 28 September
kemarin mereka menyalurkan bantuan yang dananya antara lain berasal dari
"Bobotoh", kelompok pendukung tim sepak bola asal kota Bandung, Persib.
Di
bawah guyuran hujan deras sepanjang perjalanan 32,8 km dari Cox's Bazar
ke kamp pengungsian Ukhiya Upazila, jip "jadul" yang sudah dimodifikasi
menyerupai kendaraan angkutan barang yang tak berjendela membawa kami
ke Ukhia.
Sebagaimana hari-hari sebelum ini, Rumah Zakat dikawani
oleh staf lokal yang bertindak juga sebagai penerjemah. Namanya Aiman
Ul Alam, pemuda Bangladesh berusia 23 tahun yang menguasai empat bahasa,
termasuk Bahasa Inggris dan Bengali-Rohingya.
Sama seperti di
Dhaka, pengendara di sini pun tak kalah ugal-ugalan, padahal jalan di
sini sesempit jalan kabupaten di Indonesia.
"Selama saya di sini
tak pernah hujan sederas dan selama ini," kata Agus Suryadi, yang
seperti Nurmansyah juga berasal dari Rumah Zakat.
Hujan perlahan mereda begitu kami mencapai titik utama penyaluran bantuan, agak jauh ke selatan Ukhia.
Sebelum
mencapai kamp pengungsian, sepanjang kiri kanan jalan yang hanya bisa
dilalui dua kendaraan itu, para pengungsi yang kebanyakan anak-anak dan
perempuan berjongkok atau berdiri menahan lapar untuk menjemput langsung
bantuan sebelum para pemberi bantuan sampai di kamp mereka.
Tanpa
alas kaki, menginjak tanah berlumpur nan kotor di tepi jalan, mereka
mengangkat tangan. Tatapan mereka kosong. Letih tergambar dari wajah
mereka. Sudah tentu dengan menahan lapar yang teramat sangat.
"Shabdkosh" atau lapar adalah kata umum yang mereka ucapkan begitu
didekati relawan mana saja, termasuk dari Indonesia.
Anak-anak Rohingya
Bantuan
memang terus berdatangan ke sini, nyaris tanpa jeda. Tetapi terlalu
banyak mulut yang mesti dipuaskan. Selain mengeluh lapar, sebagian dari
mereka juga mengeluhkan berbagai penyakit.
Masalah bertambah
pelik dengan sistem distribusi dan koordinasi bantuan dari pemerintah
Bangladesh yang dikeluhkan oleh berbagai tim kemanusiaan, dari Indonesia
maupun negara lain serta badan-badan kemanusiaan dunia.
"Ada
yang menyebut jumlah pengungsi sudah mencapai satu juta. Tak ada yang
bisa memverifikasi jumlah pastinya. Tetapi yang jelas minimal ada
700.000 orang pengungsi," kata Eson sebelum kami pergi ke Ukhia.
Biasanya
bantuan konsumsi yang diberikan sudah disusun dalam paket-paket yang
dibeli di Cox's Bazar karena umumnya tim bantuan kemanusiaan Indonesia
hanya membawa uang untuk disalurkan dalam bentuk barang di kamp
pengungsi Rohingya di wilayah Bangladesh. Kali ini tim yang mengantarkan
bantuan di Ukhia akan mengantarkan pisang.
Meski cuma pisang,
wajah-wajah lapar yang banyak di antaranya menyimpan pengalaman
traumatis dalam hidupnya, sudah bersiap berburu mendapatkan bagian
bantuan.
Awalnya dibuat serapi mungkin, tapi pisang-pisang itu
kemudian dibagikan dalam kondisi yang agak kacau karena para pengungsi
yang umumnya menempuh perjalanan berhari-hari untuk sampai ke Bangladesh
melintasi perbatasan Myanmar-Bangladesh yang seram itu sudah tak bisa
lagi sabar menunggu antrean, untuk bantuan apa pun yang diberikan
tim-tim kemanusiaan.
"Biasanya sebelum menyalurkan bantuan, kami
berembuk dulu dengan orang yang dituakan atau tentara, tetapi kali ini
keduanya tidak ada. Akhirnya penyaluran bantuan pun menjadi tidak
merata," kata Herlan Wirlandari, Direktur Relawan Rumah Zakat.
Rumah
Zakat tak jera dengan pengalaman yang kurang memuaskan itu. Hari ini,
seperti lembaga bantuan kemanusiaan lainnya, baik dari Indonesia, negara
lain maupun dari Bangladesh sendiri, mereka akan kembali menyalurkan
bantuan.
Sudah triliunan rupiah mengalir ke Bangladesh dari
seantero jagat tetapi tampaknya itu belum pernah bisa disebut cukup
untuk membantu ratusan ribu pengungsi dari Rakhine, Myanmar itu.
Di
antara yang menjadi keprihatinan dunia adalah ratusan ribu anak-anak
yang banyak di antaranya sudah tak beribu atau berayah, atau bahkan
tanpa keduanya.
Badan PBB untuk pendidikan dan anak-anak, UNICEF,
bahkan menyebutkan 60 persen pengungsi baru yang terus mengalir dari
Myanmar ke Bangladesh adalah anak-anak.
Bahkan jauh sebelum
eksodus pengungsi sebagai dampak dari operasi militer Myanmar
pasca-serangan pemberontak Arakan ke pos-pos polisi Myanmar 24 Agustus
lalu, ratusan ribu pengungsi Rohingya lainnya sudah tertahan di wilayah
Bangladesh selama bertahun-tahun tanpa tahu kapan bisa kembali ke tanah
kelahirannya di Rakhine.
Berita Terkait
Seluruh imigran Rohingya kabur dari kamp penampungan di Aceh Barat
1 Juni 2024 14:06
Lima pengungsi Rohingya di Aceh Barat melarikan diri
13 April 2024 03:23
Ratusan warga Aceh Barat tolak kedatangan 69 warga etnis Rohingya
22 Maret 2024 09:54
Tim SAR temukan 69 imigran Rohingya korban kapal karam di laut Aceh
21 Maret 2024 14:43
Informasi 50 etnis Rohingya meninggal di laut Aceh Barat belum pasti
21 Maret 2024 02:10
Menengok suasana Ramadhan di pengungsian Etnis Rohingya Banda Aceh
17 Maret 2024 17:07
Hoaks! Video Jokowi perintahkan untuk usir pengungsi Rohingya
20 Januari 2024 13:54
Misinformasi! Pemerintah minta kantor UNHCR di Indonesia ditutup
14 Januari 2024 21:41