Medan (Antaranews Babel) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus
Rahardjo mengatakan perguruan tinggi di Indonesia belum terlalu peka
soal ancaman dan dampak korupsi.
"Meski kita tertatih, prestasi Indonesia dieradikasi korupsi ada.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia jika dilihat di ASEAN awalnya paling
rendah. Data 2016, angka Indonesia 3,7 berada di posisi tiga dan
Malaysia justru ada di angka 4,7," kata Ketua KPK dalam Rapat Kerja
Nasional (Rakernas) 2018 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi (Kemristekdikti) di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan,
Rabu.
Hal itu, menurut dia, merupakan gambaran bahwa hasil pemberantasan korupsi ada, tapi masih perlu keterlibatan semua pihak.
Persoalannya,
menurut dia, masih banyak yang melihat seolah korupsi itu hal biasa
saja, padahal kelaparan di Papua salah satu cermin.
"Dana otonomi khusus begitu besar, larinya ke mana?," kata Agus.
Gambaran pendidikan Indonesia dengan anggaran Rp400 triliun,
tetapi masih ada ditemukan sekolah bobrok, terutama untuk sekolah dasar,
ujarnya.
Keadaan semacam itu, dinilainya, mengherankan. Apalagi,
dikemukakannya pula, perguruan tinggi Indonesia di jajaran dunia
peringkatnya pun masih kalah dari negara-negara lain.
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia ada di urutan 15 besar dunia,
sehingga dinyatakannya, menjadi salah satu alasan masuk Kelompok 20
Negara (Group 20/G20).
Kondisi tersebut, menurut Agus, seharusnya
juga dibarengi perubahan tingkah laku, dan perlu kesadaran untuk
betul-betul berubah karena untuk menjadi negara maju diperlukan
mentalitas yang jauh dari korupsi.
Jika dilihat, ia mengungkapkan, berapa perguruan tinggi negeri
(PTN) yang sudah memasukkan tema korupsi? Ternyata, ia menyatakan, baru
lima dengan yang menonjol melakukannya adalah Institut Teknologi Bandung
(ITB).
ITB menerapkan aturan bahwa mahasiswa dan dosen yang nyontek dalam berkarya akan diskors elama satu semester.
Adapun
perguruan tinggi swasta (PTS) yang sudah memulai hal serupa,
dinyatakannya, adalah Universitas Bina Nusantara (Binus), di mana
mahasiswa yang menyontek akan dikeluarkan, sedangkan lulusan yang
melakukan korupsi akan dicabut ijazahnya.
Oleh karena itu, Agus
menilai terlihat bahwa perguruan tinggi belum peka untuk isu korupsi,
terbukti pula sulitnya KPK untuk mendapat saksi ahli untuk kasus dugaan
korupsi kartu tanda penduduk berbasis data base tunggal secara
elektronik (KTP-el).
Fakultas-fakultas hukum seharusnya juga bisa membantu mendorong cepatnya aturan pemberantasan korupsi sektor swasta, ujarnya.
Dalam
isu pengawasan korupsi, menurut dia, perguruan tinggi seharusnya juga
bisa membantu pemerintah daerah (pemda) terkait soal anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD).
Deputi Pencegahan KPK, dikemukakannya, mendampingi beberapa daerah dengan staf hanya sekitar 200 orang.
"Pasti tidak mampu mendampingi semua daerah dan instansi, di sini
sebenarnya perguruan tinggi bisa membantu melakukannya. Jadi, bantu
kami. Kenapa Universitas Cenderawasih tidak berperan dampingi pemdanya,
agar layanan kesehatan lebih baik?" demikian Agus Rahardjo, yang turut
prihatin atas musibah gizi buruk di Papua.
KPK: Perguruan tinggi belum peka soal korupsi
Rabu, 17 Januari 2018 22:44 WIB
Dana otonomi khusus begitu besar, larinya ke mana?