Jakarta (Antaranews Babel) - Pemerhati pendidikan dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal mengatakan proses belajar di kelas belum mampu menghidupkan nalar siswa sehingga kemampuan dalam mengerjakan ujian didasarkan pada kebiasaan mengerjakan soal berbasis kisi-kisi.
"Sehingga ketika soal ujian berbeda dengan kisi-kisi yang dilatihkan di sekolah atau bimbingan belajar, siswa kesulitan untuk mengerjakannya," ujar Nur Rizal di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, hal itu terjadi karena pemerintah memandang Ujian Nasional (UN) sebagai instrumen untuk pembuat kebijakan bukan instrumen untuk mengukur ketepatan program pengembangan guru yang berdampak langsung pada pembelajaran dan penciptaan iklim sekolah yang kondusif untuk bereksplorasi.
Oleh karena itu, dia memberi saran agar orientasi proses belajarnya diubah dari menyelesaikan materi kurikulum ke pengembangan kemampuan berpikir kritis atau bernalar.
Konsekuensinya hasil UN harus dijadikan parameter bagi Kemdikbud untuk merevisi program pelatihan gurunya, sistem pengembangannya, proses rekruitmen gurunya agar memperoleh guru dengan kemampuan inovasi pedagogi yang mampu membangun pendidikan bernalar tadi agar bisa menjawab soal UN yang membutuhkan daya nalar tinggi (high order thinking skills/HOTS) tanpa takut berbeda dengan kisi-kisi yang diberikan.
"Intinya peningkatan mutu pendidikan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), berdasar hasil PISA tidak bisa hanya dengan menaikkan tingkat kesulitan soal UN yg menggunakan HOTS, tetapi harus menyeluruh," papar dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada itu.
Proses menyeluruh tersebut mulai dari kurikulum kemudian proses belajar berbasis proyek hingga penilaian berbasis kelas.
"Tentu perubahan yang menyeluruh ini membutuhkan perubahan pada sistem perekrutan dan pengembangan profesionalitas guru saat ini," tukas dia.