Jakarta (Antaranews Babel) - Jurnalis Amerika dan mantan pemimpin redaksi majalah Time, Henry Grunwald, pernah menulis bahwa pantai bukan hanya berisi tumpukan pasir, tetapi juga beragam cangkang mahkluk laut, rumput laut, dan benda lainnya yang terhempas dari samudera.
Menangkap sentimen puitis yang diungkapkan Henry Grunwald, sepertinya rumput laut pada saat ini kerap menjadi komoditas yang seakan-akan terlupakan oleh masyarakat luas.
Padahal, ekspor rumput laut merupakan salah satu dari komoditas unggulan yang diproduksi oleh pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan, sama seperti komoditas udang dan tuna.
Namun, memang pada saat ini pengembangbiakan rumput laut, di berbagai daerah kawasan perairan di Tanah Air, dinilai masih menemui sejumlah hambatan dan tantangan yang tidak mudah.
Misalnya, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Nusa Tenggara Barat Achris Sarwani di Mataram, Senin (23/4), mengatakan pengembangan industri olahan rumput laut di NTB terkendala faktor sumber daya manusia.
Achris Sarwani mengatakan berdasarkan hasil kajian/asesmen pemetaan IPKD NTB, industri pengolahan rumput laut berpotensi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Pasalnya, menurut dia, sebesar 59,13 persen wilayah NTB terdiri atas perairan laut seluas 29.159,04 kilometer persegi dengan panjang garis pantai 2.333 km menjadi faktor utama berkembangnya industri pengolahan rumput laut.
Sedangkan di Ternate, Maluku Utara, diwartakan bahwa cuaca buruk dalam sepekan terakhir mempengaruhi persediaan stok bahan baku rumput laut di daerah tersebut hingga menurun 30 persen.
Bahkan hasil panen dari para budidaya rumput laut yang biasa didatangkan dari Pulau Obi dan Manado, juga mengalami penurunan, kata manajer pabrik rumput laut, Erna Talib di Ternate, Sabtu (28/4).
Erna mengakui, untuk persediaan stok saat ini sangat minim, karena para budidaya rumput laut sendiri belum panen, sehingga pabrik hanya memiliki produk penyimpanan dan produksinya juga sangat berkurang dari hari-hari sebelumnya.
Sementara itu Kepala Desa Nemberala Bernard Lenggu, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (30/4), mengatakan bahwa kejadian tumpahan minyak di anjungan minyak Montara, bisa dibilang sebagai penyebab utama terjadinya penurunan produksi rumput laut di desa tersebut.
Semua wilayah perairan budidaya tercemar minyak dan zat-zat beracun lainnya, sehingga membawa konsekuensi pada matinya komoditas "emas hijau" itu.
Bernard mengatakan tidak menuduh, tetapi jika dilihat dan dibandingkan dengan tahun 1990-an dengan pascameledaknya anjungan minyak Montara pada tahun 2009, produksi rumput laut masyarakat di sini turun jauh.
Pengembangan terdepan
Berbagai fenomena tersebut sangat disayangkan karena menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dengan produksi yang berjumlah besar setiap tahunnya, maka seharusnya Republik Indonesia berpotensi dapat menjadikan pengembangan rumput laut menjadi yang terdepan di dunia.
"Indonesia merupakan salah satu negara penghasil terbesar di dunia seharusnya memang menjadi yang terdepan untuk pengembangan komoditas rumput laut," kata Wakil Ketua Umum Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto dalam diskusi tentang pengembangan komoditas rumput laut di Jakarta, Senin (30/4).
Untuk itu, Yugi Prayanto menginginkan agar peluang-peluang usaha rumput laut dapat ditingkatkan pengembangannya dengan riset dan kajian yang mendalam pula.
Menurut dia, hal yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing komoditas rumput laut nasional saat ini adalah keseimbangan pengembangan antara hulu dan hilir yang bersinergi dengan industrialisasi sektor kelautan dan perikanan yang sedang digalakkan pemerintah.
Dengan demikian, lanjutnya, untuk industrialisasi rumput laut, titik perhatiannya tidak bisa dilihat dari satu sisi saja, tetapi hulu hilirnya juga perlu menjadi perhatian bersama.
Yugi memaparkan, di sektor hulu harus diperhatikan pembibitan dan metode budidayanya seperti apa, serta bagaimana upaya perlindungan kepada para petani dan pembudidaya.
Sedangkan di sektor hilir, lanjutnya, daya saing industri pengolahan dinilai juga perlu ditingkatkan agar bisa menyerap bahan baku rumput laut petani dengan baik.
Apalagi, Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) juga mengingatkan bahwa pelaku usaha dapat kembali melakukan ekspor komoditas rumput laut ke Amerika Serikat setelah delisting dicabut.
Ketua Umum ARLI, Safari Azis, di Jakarta, Senin (9/4), mengatakan ekspor segera berlanjut setelah delisting atau penghapusan dari daftar pangan organik untuk rumput laut dicabut Pemerintah AS.
Kementerian Pertanian Amerika Serikat atau U.S. Department of Agriculture (USDA), melalui Agricultural Marketing Service (AMS), telah menerbitkan dokumen yang menyatakan bahwa karaginan dan agar-agar (keduanya produk turunan komoditas rumput laut) tetap berada di dalam daftar produk organik pada 4 April 2018 dan akan berlaku efektif pada 29 Mei 2018.
Produksi menurun
Kadin juga mencatat bahwa meski saat ini pemerintah sedang giat bersemangat menggelorakan industrialisasi sektor kelautan dan perikanan, saat ini produksi rumput laut nasional mengalami penurunan dua tahun terakhir.
Berdasarkan catatan Kadin, produksi rumput laut pada 2013 mencapai 9,3 juta ton, dan pada 2014 meningkat menjadi 10,1 juta ton, serta pada 2015 meningkat menjadi 11,3 juta ton. Namun pada 2016 terjadi penurunan menjadi 11,1 juta ton, demikian pula dengan 2017 menurun menjadi 10,8 juta ton.
Untuk itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto juga menginginkan agar akses permodalan komoditas rumput laut diperhatikan oleh pemerintah agar pengusaha komoditas tersebut dapat berkembang dan memajukan perekonomian nasional.
Karena dengan akses permodalan yang lebih mudah maka juga akan meningkatkan pengembangan riset dan teknologi hingga kepastian akses pasar.
Senada degan Yugi, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menginginkan rumput laut juga dapat disamakan dengan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan sehingga dapat diberdayakan lebih maksimal untuk kepentingan ekonomi nasional.
Menurut Rokhmin, menjadikan kelapa sawit menjadi komoditas strategis nasional melalui kebijakan pemerintah adalah hal penting agar pengusaha rumput laut juga dapat memperoleh kemudahan dalam proses peminjaman di perbankan untuk mengembangkan usaha rumput lautnya.
Rokhmin yang juga menjabat sebagai Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu mengingatkan bahwa saat ini, pinjaman pihak bank kepada bisnis kelapa sawit memiliki bunga yang nisbi lebih rendah dari biasanya.
Ia juga mengingatkan, dengan ditempatkannya rumput laut sebagai komoditas unggulan, maka berbagai kebijakan lintas sektor juga dapat diselaraskan dengan kepentingan untuk mengembangkan rumput laut, seperti dalam pembangunan infrastruktur juga harus memperhatikan kebermanfaatannya untuk meningkatkan rumput laut.
Apalagi, Rokhmin mengingatkan bahwa potensi produksi rumput laut domestik sangat besar dengan pasar yang terus berkembang dan biaya investasi yang nisbi rendah.
Selain itu, keunggulan lainnya adalah masa panen yang cepat karena hanya dalam jangka waktu selama 45 hari atau sekitar 1,5 bulan sudah bisa untuk dipanen.
Untuk itu, ujar dia, penting juga agar rencana zonasi tata ruang juga dapat kondusif bagi pengembangan rumput laut.
Peta jalan
Rokhmin juga mengingatkan bahwa 87 persen ekspor rumput laut adalah dalam keadaan "raw material" atau bahan mentah.
Padahal, bila rumput laut itu diolah menjadi sekitar 500 produk hilirisasi, maka nilai tambah yang akan diperoleh juga akan sangat besar bagi perekonomian bangsa.
Untuk itu, ujar dia, penting bagi berbagai pihak untuk bersama-sama dapat membuat "road map" atau peta jalan guna optimalisasi rumput laut di Tanah Air.
"Kalau bisa setiap tahun jumlah ekspor produk rumput laut bahan mentah berkurang 10 persen setiap tahunnya. Jadi bila tahun ini 87 persen maka tahun depan seharusnya bisa hanya 77 persen (ekspor rumput laut yang bahan mentah)," paparnya.
Sebelumnya, Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Nilanto Perbowo mengatakan, saat ini banyak eksportir dari berbagai negara di Eropa yang tertarik dengan komoditas sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air.
Menurut Nilanto Perbowo, pihaknya beberapa kali telah didekati oleh sejumlah "potential buyer" seperti ada importir asal Italia yang menunjukkan minatnya.
Selain Italia, lanjutnya, ada pula sejumlah perusahaan dari Prancis yang juga mengemukakan ketertarikannya untuk membeli beberapa produk perikanan dari Indonesia.
Dengan mengoptimalkan berbagai produk turunan rumput laut yang diolah secara domestik dan dipasarkan secara global, maka rumput laut akan dapat terus dikenal sebagai salah satu harta karun komoditas kelautan nasional.