Jakarta (Antaranews Babel) - Seruan untuk mempercepat penyelesaian pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, mengemuka lagi menyusul serangan bum bunuh diri beruntun di Surabaya sejak Minggu kemarin hingga Senin ini.
Presiden Joko Widodo mendesak DPR RI dan sejumlah kementerian terkait untuk segera menyelesaikan revisi UU tersebut yang telah diajukan sejak Februari 2016 atau lebih dari dua tahun lalu itu.
Menurut Presiden, DPR RI dapat mulai membahas lagi untuk menyelesaikan Rancangan Undang-Undang baru sebagai revisi UU Nomor 15/2003 itu pada pembukaan masa sidang tanggal 18 Mei mendatang.
Undang-Undang hasil revisi itu kelak dapat memperkuat Polri dan aparat keamanan lain dapat melakukan penindakan dan pencegahan terhadap terorisme.
Presiden juga mengultimatum bila hingga akhir masa sidang pada Juni mendatang, undang-undang itu belum bisa selesai maka Kepala Negara akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Seruan itu langsung ditindaklanjuti oleh Menkopolhukam Wiranto di kediaman dinasnya pada Senin ini dengan mengumpulkan pengurus partai pendukung pemerintah untuk membahas langkah revisi UU Terorisme itu.
Wiranto mengatakan pertemuan dengan sejumlah sekretaris jenderal partai politik itu menyepakati pengertian tentang definisi terorisme dan peran TNI dalam menghadapi terorisme.
Kesepakatan antara pemerintah dan DPR untuk mempercepat revisi undang-undang itu merupakan tindak lanjut dari permintaan Presiden Jokowi yang menginginkan agar payung hukum tentang terorisme tersebut segera dirampungkan. "Ini makanya kami hadirkan pihak-pihak dari partai politik yang juga mewakili fraksi di DPR," kata Wiranto.
Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa penyelesaian undang-undang lebih dibutuhkan daripada mendorong pembentukan Perppu.
Kesepakatan itu memang diperlukan karena sejak awal pengajuan RUU revisi UU Nomor 15/2003 itu merupakan hak inisiatif dari pemerintah yang diajukan kepada DPR RI.
Pengajuan itu muncul menyusul serangan aksi peledakan bom bunuh diri oleh teroris di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016. Dalam insiden pertama yang terjadi dalam pemerintahan Presiden Jokowi itu, delapan orang meninggal dunia (termasuk empat pelaku ledakan bom yakni Muhammad Ali, Dian Juni Kurniadi, Afif alias Sunakin, dan Ahmad Muhazan) dan 25 orang terluka.
Kapolri saat itu Jenderal Badrodin Haiti menyampaikan bahwa setelah berselang beberapa waktu dari peristiwa ledakan bom di Jalan Thamrin itu, Densus 88 Polri menangkap 12 orang yang diduga terkait serangan teror itu, di Jabar, Jateng, dan Kaltim.
Pemerintah pun, di bawah koordinasi Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan ketika itu, bersiap mengajukan RUU sebagai revisi atas UU Nomor 15/2003.
Rapat pleno Badan Legislatif DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI pada 25 Januari menyetujui 40 RUU untuk masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2016, termasuk salah satu RUU yang merupakan hak inisiatif dari pemerintah yakni RUU Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Ketua DPR saat itu Ade Komaruddin, pimpinan DPR RI baru menerima draf RUU Terorisme dari pemerintah pada 17 Februari 2016. Pada pertengahan April, Pansus RUU Terorisme dilantik dengan ketua M. Syafi`i dari Gerindra, Wakil Ketua Hanafi Rais dari PAN, Syaiful Bahri Ansori dari PKB, dan Supiyadin dari Nasdem.
Terdapat 112 poin dalam daftar inventarisir masalah (DIM) dalam revisi tetapi hingga akhir Mei 2017 sudah dibahas 61 butir dan beberapa DIM hanya tinggal masalah redaksional.
Namun setelah dua tahun berlalu, pembahasan revisi UU itu tak pernah tuntas, padahal setelah aksi teror bom di Sarinah itu, juga pernah terjadi beberapa kali serangan bom di sejumlah daerah. Di Samarinda, Kaltim, misalnya, untuk pertama kali terjadi serangan bom molotov pada 13 November 2016 di depan Gereja Oikemene, Jalan Cipto Mangunkusumo, Samarinda, melukai empat korban anak-anak, dan satu diantaranya meninggal dunia keesokan harinya.
Lalu terjadi lagi serangan bom panci di Taman Pandawa, Jalan Arjuna, Bandung, pada Senin 27 Februari 2017, yang dilakukan oleh Yayat Cahdiyat. Beberapa waktu kemudian, Markas Kepolisian Daerah Jawa Barat di Jalan Soekarno Hatta, Kota Bandung, bahkan menjadi sasaran peledakan bom oleh dua orang yang diduga merupakan bagian dari kelompok Yayat.
Kemudian, terjadi ledakan bom bunuh diri lagi di Terminal Kampung Melayu pada Rabu malam 24 Mei 2017 dengan terdengar dua kali ledakan. Bom pertama diledakkan di luar toilet umum sedangkan yang kedua meledak dengan jarak 10 meter dari lokasi ledakan pertama. Dua pelakunya yang tewas, Ahmad Sukri dan Ichwan Nur Salam. Ledakan menelan korban jiwa sebanyak tiga orang dari anggota polisi yakni Bripda Taufan Tsunami, Bripda Ridho Setiawan, dan Bripda Imam Gilang Adinata dari Unit I Peleton IV Sabhara Polda. Mereka yang terluka juga terdapat enam polisi dan lima warga sipil.
Polri menyebutkan bahwa sepanjang 2017 telah menangkap lebih dari 100 terduga teroris dari berbagai daerah di Indonesia, seperti di Bandung, Bekasi, Bima, Cianjur, Garut, Jakarta, Jambi, Kendal, Malang, Medan, Pandeglang, dan Surabaya.
Hingga peristiwa terbaru lima ledakan bom di Surabaya pada Minggu hingga Senin (13-14 Mei 2018), tiga diantaranya di gereja, lalu di rumah susun di kawasan Wonocolo, dan di Mapolrestabes Surabaya.
Bahkan aksi terorisme dari para narapidana dan tahanan teroris di LP/Rutan Klas II Salemba cabang Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jabar pun pada Selasa malam hingga Kamis pagi (8-10 Mei 2018) membuat kerusuhan dengan melakukan perebutan senjata, menyandera, bahkan membunuh polisi.
99 Persen
Untuk mempercepat penyelesaian pembahasan RUU Terorisme itu, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mendesak internal pemerintah mencapai kesepakatan menuntaskan pembahasan RUU karena pemerintah belum sepakat terkait dengan definisi terorisme.
Politisi Partai Golkar itu menjelaskan bahwa terkait dengan RUU Terorisme, sebenarnya dari pihak DPR RI sudah 99 persen siap menyetujui RUU itu untuk disahkan menjadi UU, sebelum reses masa sidang yang lalu.
Namun, menurut dia, pihak pemerintah minta ditunda karena belum adanya kesepakatan soal definisi terorisme. Begitu definisi terorisme terkait motif dan tujuan disepakati, RUU tersebut bisa dituntaskan.
Apabila pemerintah sudah sepakat tentang definisi terorisme, RUU Terorisme bisa dituntaskan pada masa sidang mendatang.
Pada awalnya, revisi UU Terorisme itu akan memuat 47 pasal dan terdapat 10 hingga 12 poin baru yang ditambahkan.
Poin utama dalam rancangan revisi undang-undang tersebut meliputi pencegahan, perluasan kewenangan aparat, hingga tahap deradikalisasi. Beberapa di antaranya mengatur tentang pencabutan paspor dan kewarganegaraan bagi WNI yang mengikuti pelatihan perang dan melakukan tindakan terorisme di luar negeri, penambahan kewenangan penahanan terduga pelaku teror, hingga program deradikalisasi secara holistik.
Selain itu ada pula pasal baru yang ditambahkan dalam revisi UU itu seperti informasi elektronik terkait adanya dugaan tindakan terorisme dapat digunakan sebagai bukti untuk melakukan penangkapan, tentang perdagangan senjata yang memiliki tujuan tindakan terorisme juga dapat dijerat undang-undang, tentang kewenangan ekstrateritorial aparat penegak hukum untuk menangkap terduga pelaku teror yang merupakan warganegara asing yang melakukan aksi terorisme di Indonesia.
Ada pula soal penambahan masa penahan bagi terduga pelaku teror sebelum ditetapkan sebagai tersangka yang bisa mencapai 120 hari yang terbagi dalam dua termin yakni termin pertama dengan masa penahanan hingga 60 hari lalu bisa ditambah 60 hari lagi.
Begitu pula soal keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Sementara itu Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Mulyono menyatakan bahwa berbagai peristiwa belakangan ini bisa menjadi referensi agar revisi UU Terorisme bisa segera diselesaikan oleh pemerintah dan DPR.
Penyelesaian RUU ini penting untuk segera disetujui dan disahkan menjadi undang-undang karena bagaimanapun suatu undang-undang akan mengikat bagi seluruh warga negara.