Jakarta (Antaranews Babel) - Perekonomian global ketika memasuki tahun 2018 mengalami perubahan yang lebih dinamis dibandingkan beberapa tahun sebelumnya akibat normalisasi yang dilakukan oleh otoritas moneter Amerika Serikat.
Normalisasi oleh bank sentral AS Federal Reserve dilakukan setelah kondisi perekonomian Negeri Paman Sam tersebut dianggap mengalami perbaikan setelah dihantam krisis finansial global pada 2008 lalu.
Ketika krisis yang membuat ekonomi AS kolaps tersebut terjadi, Federal Reserve melakukan respons kebijakan berupa penurunan suku bunga dari 3,0 persen di Januari 2008 menjadi 0,25 persen pada akhir 2008.
Likuiditas juga dipompa dengan membeli aset-aset yang "non-performed" dari perbankan. Kombinasi likuiditas dolar yang melimpah dan suku bunga yang mendekati nol persen diharapkan mampu menghindarkan AS dari depresi ekonomi.
Melewati 10 tahun setelah krisis finansial global 2008, ekonomi AS mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan pertumbuhan ekonomi 4,2 persen (yoy) pada triwulan II-2018 dan tingkat pengangguran pada Agustus tercatat 3,9 persen.
AS mampu tumbuh kuat karena melakukan kebijakan fiskal ekspansif dan kebijakan perdagangan yang "inward looking". Oleh karena itu, langkah normalisasi kebijakan moneter dilakukan dengan secara bertahap menaikkan suku bunga dan mengurangi likuditas yang sempat melimpah.
Normalisasi kebijakan moneter yang diterapkan oleh Federal Reserve tersebut membawa risiko pada pembalikan arus modal ke AS sekaligus penguatan dolar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai normalisasi kebijakan moneter AS perlu diwaspadai di 2018 karena menimbulkan dampak terhadap arus modal ke seluruh dunia.
Naiknya suku bunga membuat arus modal menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi negara berkembang. Pasar juga tentu akan bereaksi ketika suku bunga acuan AS dinaikkan.
Normalisasi dari sisi suku bunga acuan AS tersebut relatif membuat suku bunga di Indonesia dan negara lain akan mengalami perubahan.
Bank Indonesia beberapa waktu lalu sempat berada dalam tahap menurunkan suku bunga untuk mendukung perbaikan intermediasi perbankan dan pemulihan ekonomi domestik yang sedang berlangsung.
Namun, untuk menghadapi ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global, BI pada 2018 telah menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) dari 4,25 persen di Januari menjadi 5,50 persen per Agustus.
Penaikan BI 7DRR, dibarengi dengan faktor arus dana asing keluar (capital outflow) kembali ke AS, telah menyebabkan rupiah mengalami tekanan di 2018.
Arus dana asing keluar memengaruhi kinerja transaksi modal dan finansial (investasi langsung, portofolio dan lainnya) sehingga tidak mampu mengimbangi defisit neraca transaksi berjalan.
Menurut data BI, defisit transaksi berjalan telah mencapai 13,7 miliar dolar AS selama semester I-2018. Angka tersebut diperkirakan mampu mencapai 25 miliar dolar AS hingga akhir tahun.
Pertumbuhan impor mencapai 24,5 persen hingga Juli 2018 (year-to-date/ytd), atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekspor yang sebesar 11,4 persen pada periode yang sama, menjadi salah satu penyebab defisit transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan dalam dua tahun terakhir mencapai sekitar 17 miliar dolar AS pada 2016 dan 17,3 miliar dolar AS (2017). Defisit tersebut diimbangi oleh neraca transaksi modal dan finansial yang berada pada kisaran 29 miliar dolar AS pada 2016 dan 2017.
Transaksi modal dan finansial sepanjang semester I-2018 melalui investasi langsung, portofolio dan lainnya terpantau belum mampu mengimbangi defisit neraca transaksi berjalan.
Surplus neraca transaksi modal dan finansial hanya mencapai 6,5 miliar dolar AS hingga semester I-2018, dan hingga akhir tahun diperkirakan hanya sekitar 13 miliar dolar AS.
Ekonom senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini menilai adanya kekosongan kebijakan ekonomi untuk menahan ekonomi Indonesia dari tekanan eksternal.
Ia menilai defisit neraca berjalan merupakan masalah akut yang tidak mampu diperbaiki dan belum ada kebijakan sistematis untuk mengatasinya selama ini.
Faktor China
Tidak hanya perkembangan di AS, pemerintah juga akan memperhatikan situasi ekonomi China terutama terkait reaksi kebijakan yang diambil Negeri "Tirai Bambu" tersebut di tengah dinamika perang dagang yang sedang terjadi.
Perkembangan ekonomi China sebagai negara ekonomi terbesar kedua ditekan oleh AS dalam perang dagangnya. Reaksi China tentu perlu diwaspadai, serta bagaimana penurunan pertumbuhan ekonominya tetap bisa menjaga stabilitas perekonomian keseluruhan.
Kondisi perang dagang sekarang menunjukkan bahwa ekonomi China mengalami gangguan karena diserang dari sisi perdagangan. Untuk menghadapinya, China tentu akan melakukan banyak sekali respons kebijakan.
Berkaca pada masa lalu, ketika krisis finansial Asia 1997-1998 dan krisis keuangan global 2008 terjadi, China membiarkan nilai tukar renminbi (yuan) stabil.
Sri Mulyani menilai bahwa langkah tersebut bertujuan untuk menciptakan stabilitas ekonomi, karena apabila China turut mendepresiasi maka perlombaan penurunan nilai tukar yang dapat membuat krisis lebih buruk dikhawatirkan terjadi.
Dalam 15 tahun terakhir, perlu pula dipahami bahwa China telah menjadi lokomotif pertumbuhan dunia. Besarnya kontribusi China tersebut memungkinkan seluruh dunia terkena imbas apabila perekonomian China memburuk.
Kemungkinan adanya "spillover effects" yang berasal dari kondisi ekonomi China tersebut diharapkan mampu dibahas dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia yang akan digelar di Bali pada 12-14 Oktober 2018.
Yang jelas, Sri menegaskan bahwa tidak ada yang akan menang dalam perang dagang, karena pada akhirnya kondisi semacam itu hanya akan mengarah pada pemburukan ekonomi global.
Stabilkan rupiah
Pasar keuangan global yang bergejolak di tengah normalisasi kebijakan moneter Federal Reserve dipandang masih akan mendapatkan tekanan tambahan dari perang dagang beserta respons kebijakan yang dilakukan China.
Pernyataan Presiden AS Donald Trump yang kurang mendukung kebijakan Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga acuannya juga dinilai turut memberikan tekanan.
Gejolak pasar keuangan ditambah dengan sejumlah tekanan tambahan tersebut membuat depresiasi mata uang terhadap dolar AS terjadi di banyak negara, khususnya negara-negara berkembang.
Depresiasi nilai tukar yang paling dalam dialami oleh Argentina yang sempat mencapai 109,1 persen dan Turki yang mencapai 74,1 persen.
Kondisi semacam itu memunculkan kekhawatiran karena dapat memengaruhi persepsi investor kepada negara berkembang menjadi buruk.
Terkait nilai tukar rupiah, pengaruh terbesar pergerakannya dinilai masih akan berasal dari kondisi global, antara lain tren penguatan dolar AS terhadap mata uang global.
Dengan masih tingginya pengaruh dari sisi eksternal, tekanan terhadap rupiah diperkirakan masih terus berlanjut.
Kebijakan penguatan neraca pembayaran oleh pemerintah antara lain melalui pengendalian impor beberapa barang diharapkan akan menciptakan pergerakan rupiah yang lebih stabil.
Dalam situasi seperti sekarang ini, Sri Mulyani menegaskan bahwa Indonesia perlu memerhatikan empat pilar ekonomi yang menopang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, yaitu moneter, fiskal, kegiatan ekonomi, dan neraca pembayaran.
Berita Terkait
Rupiah melemah di tengah memanasnya konflik Ukraina dan Rusia
21 November 2024 10:21
Rupiah melemah di tengah kekhawatiran kebijakan tarif Donald Trump
12 November 2024 09:56
Hari ini nilai tukar rupiah menguat setelah pemangkasan suku bunga Fed
11 November 2024 10:00
Ekonom nilai kemenangan Trump dalam Pilpres AS berpotensi tekan rupiah
7 November 2024 18:38
Rupiah hari ini melemah menjadi Rp15.719 per dolar AS
28 Oktober 2024 09:19
Rupiah melemah karena kekhawatiran investor jelang Pilpres AS
24 Oktober 2024 09:32
Rupiah merosot di tengah ketegangan geopolitik di Timur Tengah
23 Oktober 2024 16:12
Rupiah turun setelah data ekonomi AS
18 Oktober 2024 09:58