Jakarta, (Antara Babel) - Jakarta International School (JIS), sebuah sekolah internasional yang berada di kawasan Jakarta Selatan, menjadi sorotan setelah adanya kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan petugas kebersihan di sekolah itu.
Korban yang berumur enam tahun adalah siswa taman kanak-kanak (TK) di sekolah tersebut. Para pelaku adalah tenaga alih daya dari PT ISS Indonesia.
Saat ini, penyidik Polda Metro Jaya telah menetapkan lima orang tersangka yang diduga melakukan kekerasan seksual kepada siswa taman kanak-kanak (TK) di sekolah tersebut. Kelimanya petugas kebersihan alih daya yang bekerja di sekolah tersebut.
Tersangka terdiri atas empat laki-laki dan seorang perempuan. Tersangka perempuan yang berinisial Af diduga tahu kejadian itu, bahkan berperan memegangi korban saat kekerasan seksual terjadi.
Empat orang lainnya yaitu Aw, Ag, S dan Z, ditetapkan sebagai tersangka karena bakteri yang ada di tubuhnya identik dengan yang ada di anus korban. S dan Z juga terindikasi mengidap penyakit herpes. Korban juga diketahui terkena herpes akibat kejadian itu.
Selain mereka berlima, polisi juga telah menangkap seorang berinisial Az yang juga diduga pelaku kekerasan seksual di sekolah tersebut. Namun, dia ditemukan tewas di toilet Polda diduga bunuh diri dengan meminum cairan pembersih di lokasi.
Kasus itu pun serta merta menjadi perhatian publik. Apalagi, tak lama setelah kejadian itu Biro investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) merilis pelaku kejahatan seksual anak bernama William James Vahey.
Vahey diketahui pernah bekerja di sekolah internasional di beberapa negara, termasuk di JIS. Data FBI menyebutkan, Vahey bekerja di JIS selama 10 tahun pada kurun waktu 1992 hingga 2002.
Hentikan Kontrak
Kepala Sekolah JIS Timothy Carr mengatakan sudah menghentikan kontrak dengan perusahaan penyalur tenaga alih daya PT ISS Indonesia yang menyalurkan tenaga kebersihan di sekolah tersebut.
"Kami sudah menghentikan kontrak dengan ISS, efektif pada 30 April. Kami tidak ingin bekerja sama lebih lama lagi dengan lembaga itu," kata Timothy Carr.
Carr mengatakan keputusan penghentian kontrak itu dinilai sebagai tindakan yang paling benar setelah terjadi dugaan tindak kekerasan seksual kepada siswa TK di sekolah internasional itu.
Tentang Vahey yang pernah menjadi guru di sekolah itu, Carr mengaku tidak mengetahui rekam jejak penjahat seksual anak-anak yang sempat menjadi buronan FBI itu.
"Saya tidak tahu rekam jejaknya dan bagaimana proses perekrutan saat itu. Dia bekerja di JIS jauh sebelum waktu saya di sini," tuturnya.
Carr juga mengaku tidak tahu alasan Vahey berhenti bekerja di sekolah tersebut. Dia hanya tahu bahwa Vahey pindah bersama keluarganya.
Menurut Carr, sistem perekrutan tenaga pendidik yang diterapkan di JIS saat ini cukup selektif dan menerapkan standar yang tinggi. "Kami pastikan tragedi yang lalu tidak akan terjadi lagi," ujarnya.
Sekolah Berkualitas
Sementara itu, psikolog dan pemerhati anak Seto Mulyadi atau Kak Seto mengatakan JIS merupakan sekolah yang berkualitas karena tidak hanya mengajarkan kecerdasan kognitif pada anak tetapi juga spiritual.
"Saya datang ke JIS untuk melihat sendiri keadaan di sini karena selama ini saya hanya mendengar dari salah satu pihak saja, terutama dari media. Saya juga bertemu dengan orang tua murid Indonesia dan mereka menyampaikan kualitas sekolah ini," katanya.
Kak Seto mengatakan kecerdasan kognitif murid JIS ditunjukkan dengan beberapa prestasi. Beberapa alumnus JIS juga diterima di universitas ternama di luar negeri seperti Harvard dan sebagainya.
Menurut Kak Seto, dia juga melihat foto-foto dan gambar yang menunjukkan jiwa nasionalisme dan sosial murid-murid di JIS. Dia mengatakan murid JIS melakukan pekerjaan sosial di tempat-tempat kumuh dan membantu korban bencana alam.
"Ada orang tua yang mengatakan anak-anaknya bangga saat mengenakan baju tradisional. Ada pula yang belajar gamelan. Itu semua didapatkan di JIS," tuturnya.
Setelah datang dan melihat sendiri kondisi di JIS, Kak Seto mengatakan sebelumnya mendapatkan gambaran yang keliru.
"Saya sebelumnya mendapatkan gambaran bahwa di JIS hanya pendidikan gaya barat, tidak ada nasionalisme dan tidak ada rasa sosial. Ternyata itu semua keliru," katanya.
Namun, Kak Seto mengatakan akan lebih mendalami kegiatan-kegiatan yang dilakukan di JIS. Menurut dia, kedatangannya ke sekolah tersebut tidak hanya akan sekali saja.
"Saya akan datang berkali-kali untuk melihat kegiatan di sini," ujarnya.
Menanggapi kunjungan Kak Seto ke sekolah tersebut, Carr menyatakan rasa senangnya.
"Kak Seto datang memberi saran-saran yang bagus tentang perlindungan anak. Dia memberikan saran yang bijak. Dia seorang yang bijaksana," katanya.
Harus Bertanggung Jawab
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan pihak sekolah harus bertanggung jawab terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan petugas kebersihan di JIS.
"Komnas PA mendorong sekolah untuk bertanggung jawab secara perdata maupun pidana. Selama ini sekolah itu punya kredibilitas baik, ternyata di dalamnya bobrok," kata Arist Merdeka Sirait.
Apalagi, diketahui bahwa jenjang TK di sekolah internasional itu belum terdaftar. Apabila itu betul, maka sekolah tersebut telah melecehkan hukum di Indonesia.
Karena itu, Arist mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meninjau kembali keberadaan sekolah internasional tersebut apakah masih layak diteruskan atau tidak.
Arist mengatakan mengatakan penanganan hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia masih minim karena kurangnya bukti.
"Penanganan hukum baik di tingkat penyelidikan hingga penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak masih minim," katanya.
Arist mengatakan penyidikan kasus kekerasan seksual terhadap anak masih banyak yang akhirnya dihentikan dan pelaku dibebaskan karena kurangnya bukti.
Di tingkat pengadilan, vonis hukuman yang dijatuhkan pun seringkali sangat ringan dan tidak setimpal dengan perbuatan yang sudah dilakukan dan dampaknya terhadap tumbuh kembang anak.
"Karena itu, Komnas PA mendorong aparat penegak hukum untuk lebih kreatif dalam menangani kasus kekerasan seksual kepada anak. Bagaimana pun anak-anak harus dilindungi," tuturnya.
Menurut laporan yang masuk ke Komnas PA, sepanjang 2013 terdapat 3.339 kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 58 persen merupakan kekerasan seksual, sedangkan selebihnya adalah kekerasan fisik dan penelantaran.
Sementara itu, hingga Maret 2014, sudah ada 239 laporan kasus kekerasan terhadap anak yang masuk. Sebanyak 42 persen adalah kekerasan seksual.
"Itu belum kasus kekerasan verbal dan eksploitasi anak karena memang tidak dimasukkan ke dalam data. Namun, dari data yang ada, setengah dari total laporan yang masuk adalah kekerasan seksual," katanya.
Fokus Pada Pemulihan
Orang tua korban kekerasan seksual di JIS, TPW, mengatakan akan berupaya memulihkan kondisi fisik dan psikis anaknya secara perlahan.
"Saat ini saya masih berupaya memulihkan kondisi fisiknya dibantu dokter. Untuk memulihkan kondisi psikis tentu kondisi fisiknya harus dipulihkan dulu," kata TPW.
Setelah kondisi fisik dan kesehatan anaknya berangsur membaik, TPW baru akan memulihkan kondisi psikisnya dengan dibantu psikiater dan psikolog.
TPW menuturkan kondisi anaknya saat ini masih trauma atas kejadian tersebut. Saat di rumah, dia enggan mengenakan celana karena masih merasa sakit.
"Kalau pakai celana dia terlihat gelisah. Dia juga bilang merasa sakit, tapi tidak bisa mengatakan apanya yang sakit," tuturnya.
Untuk memulihkan kondisi anaknya, TPW mengatakan sudah ada beberapa pihak yang menawarkan bantuan seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Saat ditanya mengenai rencana kelanjutan pendidikan anaknya, TPW mengatakan tetap akan mengirimkan anaknya ke sekolah agar tetap dapat berinteraksi dengan anak-anak lainnya.
"'Homeschooling' (memberikan pendidikan akademis di rumah) saya rasa bukanlah ide bagus. Saya ingin anak saya tetap bisa berinteraksi dan berkomunitas. Itu tidak bisa didapat kalau 'homeschooling'," katanya.
TPW belum bisa memastikan anaknya akan disekolahkan dimana namun memastikan tidak mau anaknya kembali bersekolah di sekolah yang lama.
Kekhawatiran juga membuat TPW membatalkan pendafaran anak keduanya di sekolah yang sama.
