Tujuan meraih kekuasaan, dalam sistem politik demokrasi, dicapai lewat kerja partai politik dengan asumsi klasik bahwa kekuasaan itu demi keadilan sosial.
Benarkah klaim yang normatif itu? Jika dicari bukti-buktinya di negara-negara yang sudah menjalankan demokrasi dan berhasil memakmurkan warganya, seperti negara-negara kawasan semenanjung Skandinavia, sebagian besar orang akan mengafirmasi atas pertanyaan itu.
Namun, jumlah negara yang sudah memasuki tahap makmur adil itu terlampau sedikit jika dibandingkan dengan jumlah negara yang masih berjuang ke arah yang diimpikan itu.
Indonesia dapat dimasukkan ke dalam kelompok negara yang sedang berjuang memakmurkan dan menciptakan keadilan untuk sebagian besar warganya.
Dalam konteks menyongsong Pemilihan Presiden 2019 ini, perilaku sejumlah parpol memperlihatkan pola-pola korporasi dalam memelihara atau menjaga eksistensinya, yang ditentukan oleh seberapa banyak pemilih memberikan suaranya kepada para politikus yang merepresentasikan parpol tersebut.
Ketika politikus partai politik yang mendukung salah satu kubu koalisi menyatakan bahwa jika kubu yang didukungnya menang, era Pak Harto akan dihidupkan kembali, politikus itu bisa disetarakan dengan profesional kehumasan sebuah korporasi yang sedang beriklan.
Pernyataan politikus itu bukan iklan asal-asalan, tentunya. Dia tampaknya sudah memperhitungkan risiko-risiko bagi korporasi politiknya.
Dia mungkin punya data bahwa masih ada loyalis dan warga negara yang jumlahnya signifikan yang menyimpan memori bahwa era Soeharto lebih nyaman bagi kehidupan mereka.
Sebaliknya, bagi sebagian warga yang punya pengalaman traumatis dengan era Orde Baru, keteguhan hati mereka untuk tidak memilih partai yang hendak mengembalikan Orde Baru ke era sekarang tak bisa ditawar-tawar.
Para pemilih yang akan memberikan suaranya di hari pencoblosan, khususnya dari kaum loyalis Orde Baru, tentu tak punya rasa keingintahuan lebih jauh, untuk menelisik tentang kondisi yang semacam apakah yang akan dihadirkan oleh politikus yang masih terkait dengan keluarga Cendana itu.
Bagi pemilih ini, yang mereka ingat adalah tentang fasilitas-fasilitas memperoleh kenyamanan hidup yang pernah mereka rasakan sampai hadirnya krisis ekonomi menjelang Reformasi Mei 1998.
Bagi musuh-musuh politik penguasa Orba, tawaran politikus yang hendak menghadirkan kembali era Soeharto itu juga tak perlu disimak lebih jauh.
Cukup dengan memori mereka bahwa era Orde Baru adalah masa lalu kelam ketika hak asasi manusia ditindas dan kemerdekaan berpendapat dibatasi dengan cara-cara kekerasan.
Yang menarik, bagaimana kaum milenial yang tak bersentuhan langsung dengan pengalaman politik Orde Baru menanggapi pernyataan plitikus yang menjanjikan kembalinya era Pak Harto itu?
Tampaknya, setidaknya di dunia maya di kanal media sosial, tak ada tanggapan baik negatif maupun positif yang muncul.
Hal ini bisa dimaklumi karena pernyataan sang politikus pun tidak dielaborasi secara konkret sehingga kaum milenial tak bisa memperoleh gambaran tentang situasi Orba yang dijanjikan akan dihadirkan kembali itu.
Di sinilah kekurangan seorang politikus yang sedang mengiklankan visi politiknya dibandingkan dengan seorang profesional kehumasan sebuah korporasi, yang saat beriklan akan merinci kemanfaatan-kemanfaatan yang bisa dinikmati konsumen.
Ada satu hal yang tak diperhitungkan oleh politikus yang menjanjikan kembalinya Era Pak Harto itu, yakni: impresi publik tentang demokrasi yang tertindas.
Namun kesan ini mempunyai dua karakter yang berbeda. Bagi mereka yang menyaksikan atau mengalami secara langsung penindasan itu kesan yang dirasakan akan lebih intens dibandingkan dengan kesan yang dirasakan oleh mereka tak mengalaminya secara langsung.
Sudah dua dekade pengalaman bersama kekuasaan Orba itu berlalu. Beberapa aktivis yang pernah menjadi korban Orba berbelok arah 180 derajat pilihan ideologisnya dengan mengabdi pada parpol yang tak memperlihatkan permusuhannya terhadap sisa-sisa kekuatan Orba.
Sebagian aktivis korban Orba memilih berafiliasi dengan parpol yang sejak awal bermusuhkan dengan penguasa Orba. Kepada aktivis yang terakhir inilah, publik mendapatkan penyegaran-penyegaran impresi tentang penindasan politik di era Pak Harto.
Secara teoritis, mengiklankan era Pak Harto untuk menghadirkan kemakmuran di era sekarang agaknya penuh paradoks.
Sebab tingginya pertumbuhan ekonomi di masa itu harus ditempuh dengan mengorbankan demokrasi yang memang agak bertele-tele, tak efisien dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan.
Otoritarianisme memberi pilihan jalan pintas yang efisien namun dalam prosesnya menyimpan bom waktu terjadinya perlawanan karena penindasan menjadi saudara kembar kekuasaan yang otoriter.
Jika kaum milenial yang hendak menanggapi ajakan politikus, yang akan mengembalikan era Pak Harto itu sedikit saja membaca teori politik pembangunan, tahulah mereka bahwa pembangunan ekonomi tanpa demokrasi tak pernah tuntas mengatasi problem internalnya.
China memang membuktikan bahwa pembangunan ekonomi tanpa demokrasi, yang lazim diidentikkan dengan demokrasi liberal, bisa memakmurkan, namun kemakmuran yang disertai demokrasi jelas lebih diimpikan oleh sebagian besar manusia.
Ketika kebahagiaan dikuantifikasi, peringkat tertinggi diduduki oleh negara-negara demokrasi liberal. Pada 2018, 10 negara dengan warga paling berbahagia hidupnya adalah: Denmark, Islandia, Swiss, Belanda, Kanada, Selandia Baru, Swedia, Australia, Norwegia dan Amerika Serikat.
Meskipun pemahaman tentang makna keadilan bisa dibilang nisbi, tak bisa dipungkiri bahwa mereka yang merasa hidup dalam lingkungan yang lebih adil, akan merasa lebih berbahagia. Demokrasi memfasilitasi lahirnya keadilan sosial itu.