Kesetaraan gender sudah kerap kita dengar saat ini, karena adanya tuntutan persamaan hak yang adil antara perempuan dan laki-laki.
Di Indonesia sendiri diperingati sebagai Hari Kartini setiap 21 April karena Raden Ajeng Kartini dianggap sudah berjuang menegakkan hak-hak kaum perempuan pada masanya.
Dengan caranya sendiri, melalui surat-surat yang dituliskan kepada sahabatnya di Belanda, Kartini menjadi pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Memang tidak bisa dipungkiri, jasa-jasanya cukup besar bagi kemajuan perempuan Indonesia saat ini. Meskipun banyak tokoh-tokoh perempuan lain di negeri ini yang juga tidak bisa diabaikan jasanya.
Namun jauh sebelum Kartini, di belahan Nusantara lainnya tepatnya di Berau, Kalimantan Timur, sebuah kerajaan sudah lebih dulu menerapkan prinsip kesetaraan, bahkan perempuan begitu dihormati.
Adalah Kerajaan Sambaliung di bawah pemerintahan Raja Alam yang bergelar Sultan Alimuddin yang memerintah pada 1810-1834.
Pada masa pemerintahannya, hak-hak perempuan sangat dihormati.
"Sebelum masa RA Kartini, di Kerajaan Sambaliung sudah lebih dulu ada kesetaraan gender," kata Haji Datu Illa Kamal Pasyah, salah satu keturunan Raja Alam.
Terbukti dari adanya prasasti yang berhuruf lontar Bugis yang dipahat pada sebuah tugu kayu di halaman Keraton Sambaliung.
Keraton Sambaliung hingga saat ini masih berdiri megah di tepi sungai Kelay dan sudah menjadi museum yang menyimpan jejak sejarah kerajaan tersebut.
"Masih ada beberapa keturunan Kerajaan Sambaliung yang tinggal disini," kata Haji Datu Illa.
Haji Datu Illa mengaku tidak mengetahui banyak tentang sejarah kerajaan tersebut, karena sejak lama ia sudah merantau dan baru kembali setelah pensiun dari dinas kepolisian.
Adiknya, Haji Datu Hasanuddin yang menurut dia lebih banyak tahu sejarah nenek moyangnya karena lebih lama tinggal di Kalimantan Timur.
Prasasti
Saat ini prasasti tersebut sudah dibuatkan di atas batu marmer dengan tulisan berbahasa Indonesia.
Haji Datu Hasanuddin menunjukkan keberadaan prasasti yang tepat berada di sebelah kanan depan halaman Keraton Sambaliung.
"Ini tugu yang asli, dan masih bertahan hingga saat ini," kata Datu Hasanuddin sambil menunjukkan kayu setinggi sekitar tiga meter yang bertuliskan huruf melayu dan arab.
Tugu kayu serupa tapi merupakan replika bisa ditemui di depan pintu gerbang Keraton Sambaliung.
Salah satu tugu berisi tentang penghormatan perempuan yang bertuliskan "jangan menutup atau memotong arah jalan perempuan di tengah jalan meskipun dipandanganmu adalah seorang budak.
Kalian para lelaki menepilah sedikit, jika perlu turunlah dari jalanan apabila ada perempuan bersama dengan ibunya yang kamu lihat turun dari rumah (menuju jalanan) maka laki-laki berhenti dahulu dan jangan langsung memotong arah jalannya."
Mungkin terlihat seperti hal kecil yang sepele, tapi begitu luar biasa ketika dimasa kerajaan yang umumnya perempuan hanya sebagai objek bahkan tidak diperhitungkan, Kerajaan Sambaliung sangat menghormati perempuan termasuk yang derajatnya rendah seperti budak.
Sejarah mencatat pada sekitar 1810-an Kerajaan Sambaliung awalnya merupakan pecahan dari Kesultanan Berau yang sudah berdiri sejak 1377.
Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin atau Raja Alam merupakan keturunan Raja Berau pertama, Baddit Dipattung yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma.
Sampai pada generasi ke-9 yaitu Aji Dilayas yang mempunyai dua anak dari ibu berbeda bernama Pangeran Tua dan Pangeran Dipati.
Kala itu, Kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati hingga menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat yang terkadang berujung perselisihan.
Raja Alam sendiri adalah cucu Sultan Hasanuddin dan cicit Pangeran Tua atau generasi ke-13 dari Aji Suryanata Kesuma.
"Kita sudah pernah mengusulkan Raja Alam yaitu Sultan Alimuddin dari Sambaliung sebagai Pahlawan Nasional," kata Bupati Berau Makmur HAPK.
Raja Alam sudah mendapatkan piagam tanda kehormatan dari Pemerintah Pusat dan namanya sudah diabadikan untuk nama jalan di Berau.