Munculnya perdebatan tentang pengajaran sejarah dalam Kurikulum 2013 belum lama ini dapat dijadikan landasan untuk mewujudkan aspirasi tentang perlunya pengajaran sejarah di sekolah-sekolah dalam mendukung pembentukan karakter siswa.
Selama ini ada yang mengklaim bahwa pengajaran sejarah dalam periode Orde Baru lebih banyak digunakan untuk kepentingan politis dari kaum penguasa. Sejarah yang berkisar pada peristiwa pembunuhan massal pada tahun-tahun enampuluhan, yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI), banyak dicurigai sebagai sejarah yang ditulis menurut versi sang penguasa.
Ya, memang begitulah salah satu hakikat sejarah yang ditulis kembali dalam era otoriter. Dalam masa yang represif, penguasa ibarat sosok manusia yang mengidap paranoid, selalu ketakutan terhadap sesuatu yang belum jelas sosoknya.
Karena kekuasaan yang represif umumnya meraih kuasa dengan jalan yang melanggar hak asasi manusia, atau tak mempedulikan aturan hukum, mereka pun berambisi untuk menutupi masa lalu mereka yang kelam ini. Caranya antara lain dengan membelokkan jalannya sejarah yang sebenarnya.
Untuk mencapai tujuan itu, mereka, yakni penguasa yang represif itu, membuat proyek penulisan sejarah nasional, biasanya proyek itu dipimpin oleh sejarawan yang tak berintegritas untuk merekonstruksi sejarah yang benar menurut versi penguasa.
Dalam perjalanan selanjutnya, sejarah yang telah dibelokkan itulah yang dipelajari di sekolah-sekolah dan kini mulai disadari betapa pembelokkan itu telah meracuni banyak pikiran siswa masa itu. Penguasa represif itu pun melengkapi buku pelajaran sejarah dengan sejumlah film berdasar peristiwa sejarah yang dibelokkan, dengan menyewa sutradara yang terkenal namun dapat diajak kerja sama untuk
menghasilkan film yang sesuai dengan pesanan penguasa.
Setelah film tergarap, program wajib nonton film proyek negara itupun diterapkan di semua sekolah. Tapi untunglah, bahwa semua kesalahan masa lalu itu telah disadari dan dicoba untuk tidak diulangi kembali.
Maka ini upaya merekonstruksi sejarah yang faktual, bebas dari kepentingan penguasa, telah disadari untuk segera dilakukan dan hasilnya diajarkan di sekolah-sekolah.
Pengajaran sejarah di sekolah memang selayaknya mendukung pembentukan karakter anak didik. Sebetulnya apa yang telah dilakukan oleh penulis Yudi Latief dan kawan-kawan dalam menulis kembali riwayat para bapak bangsa, perintis kemerdekaan, merupakan bagian dari upaya pembentukan karakter untuk anak didik.
Dengan membaca tokoh-tokoh atau pahlawan yang semasa hidupnya menjalankan hidup yang bersih, jauh dari tergoda untuk korupsi dan punya integritas, diharapkan anak-anak akan meneladani mereka.
Masalahnya, apakah buku yang inspiratif itu sudah tersedia dalam jumlah yang massal sehingga kesempatan membaca buku itu terbuka bagi seluruh siswa sekolah di Tanah Air. Seringkali buku-buku bagus hanya tersedia untuk lingkup sekolah yang tak menjangkau ke semua peserta didik. Ini menjadi salah satu kendala dalam dunia pendidikan di Tanah Air. Keterbatasan bacaan bermutu bagi siswa, terutama mereka yang berada di daerah terpencil atau di kawasan terluar Indonesia.
Bagi yang telah punya kesempatan membaca buku yang bagus pun belum ada jaminan untuk memperoleh inspirasi setelah membacanya. Itu sebanya, selalu ada peringatan bahwa meski punya buku bagus, jangan cepat berpuas hati. Membaca buku tentang keteladanan, apalagi keteladanan masa lalu, tidak serta merta dapat membuat anak didik yang membaca buku itu langsung terinspirasi dan mempraktikkannya dalam perilaku keseharian.
Semua bacaan dan pengajaran itu akan dimentahkan oleh realitas yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sang anak. Jika keluarga di rumah tak memperlihatkan laku yang berintegritas, culas dan semacamnya, anak akan lebih terinspirasi oleh pengalaman langsung mereka.
Dengan demikian pengajaran sejarah perlu juga ditunjang oleh keteladanan langsung dari keluarga, lalu mileu yang lebih luas pergaulan anak di sekolah dan di masyarakat, serta teladan kepemimpinan yang lebih luas.
Dalam era revolusi teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang ini, guru-guru di sekolah juga dituntut untuk tidak bersikap bak katak dalam tempurung. Hanya mengajarkan pelajaran sejarah dari teks-teks wajib saja. Sejarah yang beredar di dunia maya juga perlu dijelajahi oleh siswa. Tentu, agar siswa tidak terombang-ambing oleh samudra informasi, guru bisa memberikan arahan tanpa harus mendikte mana yang benar dan mana yang salah.
Pada tataran anak didik di bangku yang lebih tinggi akan mendapat keleluasaan dalam berinisiatif menjelajah informasi sejarah di dunia maya. Untuk siswa di jenjang yang lebih bawah, keleluasaan memilih masih perlu dibatasi.
Dengan perspektif yang luas dan memberikan banyak pilihan dalam menjelajah informasi sejarah di dunia maya, kreativitas guru dan anak dalam pengajaran sejarah akan membentuk karakter anak yang suka menjelajah dalam menimba ilmu pengetahuan. Dari sinilah anak didik akan dibiasakan untuk mencari kebenaran sejarah sejak di usia bangku sekolah. Diharapkan kelak anak didik yang demikian ini menjadi pencari kebenaran yang autentik ketika mereka menjadi pemimpin bangsa.
