Bertasawuf (mengenal diri untuk mengenal Tuhan)
di zaman edan perlu bagi setiap insan untuk mencapai kedamaian batin dan
kebahagiaan orang lain dengan melakoni hidup bersih, sederhana,
mengabdi (BSM) ala ahli fiqih (hukum Islam), Prof KH Ali Yafie.
Hal itu terungkap dalam buku "Bertasawuf di Zaman Edan", karya
Bambang Wiwoho, wartawan senior, yang diluncurkan di Jakarta, 22
November 2016. Peluncuran buku sekaligus memperingati HUT mantan Ketua
Umum Majelis Ulama Indonesia yang tahun ini genap berusia 90 tahun.
Zaman edan adalah masa ketika tata nilai kehidupan "jungkir
balik" yaitu yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan, yang salah
dibela dan yang benar dicela. Orang yang kurang atau tidak waras
pikirannya disebut edan atau gila.
Ungkapan zaman edan dipopulerkan oleh pujangga Jawa
Ronggowarsito. Sebelumnya oleh Sunan Kalijogo, salah seorang Wali Songo.
Bahkan, Nabi Muhammad SAW sudah menyampaikan akan datang suatu masa
seperti itu, menurut kitab Mukhtarul Ahadist an-Nabawiyah seperti
dikutip Puang (Eyang) KH Ali Yafie dalam buku itu.
Hadir dalam acara peluncuran buku tersebut Menteri Agama Lukman
Hakim Saifuddin dan sejumlah tokoh nasional, termasuk Prof Dr M Quraish
Shihab, Prof Dr Jimly Assidiqie, mantan Gubernur DKI Soerjadi Soedirdja,
Fahmi Idris, Marzuki Usman, AM Fatwa, Hariman Siregar, dan adik
almarhum Gus Dur, Hj Lilly Wahid.
Buku ini adalah sebuah kisah penulisnya, seorang pencari hakikat
Tuhan, Kebenaran Tertinggi atau Kebenaran Mutlak Tanpa Batas. Bentuk,
cara, dan gaya penyajian kisah pencariannya diwarnai oleh latar belakang
budaya, agama, dan profesi sang penulis: seorang Jawa, beragama Islam
dan wartawan.
Bambang artinya satria yang hidup dan tumbuh berkembang di
pertapaan, padepokan atau perguruan bersama sang pertapa dan sang guru
sekaligus. Wiwoho berarti dimuliakan. Begitu maksud sang pemberi nama.
Tasawuf adalah sebuah ajaran dalam agama Islam untuk mengenal dan
mendekatkan diri kepada Allah. Sebuah ilmu, cara, dan sekaligus jalan
menuju Tuhan dengan laku-laku tertentu yang berintikan dan dimulai
dengan pengenalan diri sendiri melalui pengendalian nafsu, penataan
batin, dan berakhir pada pasrah kepada Allah.
Sebagai orang Jawa yang budayanya terkenal suka meramu segala
macam ilmu dan laku menjadi satu padu, Mas Wie, begitu orang biasa
memanggilnya, membingkai keislamannya dengan nama Islam Jawa. Ada yang
menyebutnya "Islam rasa Jawa" dan atau "Jawa rasa Islam". Ada juga:
"Wadah Islam, rasa Jawa" dan atau "Wadah Jawa, rasa Islam". Wadah dan
isi menyatu. Syariat dan hakikat telah saling mengikat. Keduanya adalah
tajali (pengejawantahan) Sang Maha Hakikat.
Seorang wartawan adalah sosok yang senang mempertanyakan segala
sesuatu. "A questioning mind" atau batin yang selalu bertanya. Tidak
gampang percaya begitu saja pada segala hal, selalu resah, gelisah,
ingin membuktikannya sendiri. Minimal, ingin melakukan klarifikasi
dengan ahlinya. Di sini sang pelaku, pencari dan pejalan (traveller)
menuju hakikat, perlu pemandu yang bertindak sebagai guru.
Praktik hidup keseharian
Allah mempertemukan Mas Wie dengan Sang Guru, yakni Puang
Profesor Kyai Haji Ali Yafie, seorang tokoh Islam terkemuka dari
Sulawesi Selatan, yang menurut perhitungan Hijriah, tahun ini genap
berusia 93 tahun.
Tampilnya sang Guru yang non Jawa menunjukkan bahwa hakikat itu
bersifat universal, tidak mengenal SARA (suku, agama (aliran), ras dan
antar-golongan), istilah top zaman Pak Harto, serta kebangsaan,
ideologi, apalagi partai politik.
Tasawuf tidak identik dengan ilmu "klenik" yang umumnya dianggap
bertujuan untuk memiliki kekuatan supranatural, seperti kesaktian
menggandakan uang. Bertasawuf tidak berarti hidup menyepi sendiri di
hutan, gua atau pucuk gunung dengan hanya khusyuk berdoa (khalwat).
Tetap bekerja seperti biasa, bahkan lebih keras, tapi tujuan utamanya
untuk beribadah. Orang Jawa menyebutnya "topo ngrame, sepi ing pamrih
rame ing gawe" (bertapa di tempat ramai).
Seorang sufi (pengikut tasawuf) tetap harus menjalani ibadah
syariat, sholat, seraya menempuh tarekat menuju hakekat untuk menggapai
makrifat.
Kyai Ali Yafie memenuhi syarat untuk menjadi guru sesuai ajaran
Jawa yang termaktub dalam "Serat Wulangreh" buku karya Kanjeng Sinuhun
Pakubuwono IV, Raja Surakarta.
Sang pujangga-raja atau raja-pujangga dalam Tembang Dhandhanggula
menasehatkan: jika mencari guru pilihlah manusia yang nyata, yang bagus
martabatnya, tahu hukum (syariah), yang beribadah dan "wirangi" (wara),
syukur petapa, yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, tidak
berpikir lagi tentang pemberian orang lain.
Puang Ali Yafie sangat pantas menyandang gelar "mursyid" (guru
tasawuf). Laku hidup Pak Kyai, yang juga tokoh ICMI, dapat diperas
secara bernas menjadi BSM. Ia terkenal bersikap tegas. Karena menolak
SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), yang dianggapnya judi, ia
memilih mundur dari jabatan ketum MUI dan Rais Am PBNU.
Laku sangat penting dalam menempuh jalan (tarekat) menuju hakikat
dan makrifat seperti ajaran Sri Mangku Negoro IV, Raja Puri
Mangkunegaran, Surakarta dalam karyanya Serat Wedhatama: "ngelmu iku
kalakone kanthi laku" (ilmu itu mewujudnya dengan laku).
BSM sebagai laku menjiwai buku ini dari awal sampai akhir.
Kebetulan, wartawan adalah pengemban profesi mulai sebagai pewaris tugas
kenabian: menyampaikan kabar gembira dan peringatan seperti tersurat
dalam Al-Khafi, QS 18:56, (lihat "Jurnalisme Profetik") demi
kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Buku ini diterbitkan PT Buku
Republika.
Islam mengajarkan pengendalian nafsu, bukan penghilangan nafsu,
karena nafsu adalah perangkat hidup sebagai sunatullah. Berkat nafsu,
kehidupan dapat berkembang maju. Kata kuncinya adalah pengendalian
berdasar ajaran budaya dan agama sesuai tuntunan Allah melalui para
rasul dan atau orang pilihan-Nya.
BSM perlu menjadi pedoman setiap insan, terutama para pemimpin,
dalam mengarungi Zaman Edan di era globalisasi kini. Ini gampang
diomongkan, tapi sulit diamalkan. Banyak orang mendapat gelar "Jarkoni",
bisa berujar, tidak bisa melakoni. Sederet gelar akademis dan keagamaan
tidak menjamin dan mencerminkan kualitas intelektualitas dan
religiusitas seseorang.
Era globalisasi yang dipicu oleh kapitalisme mempengaruhi sikap
hidup hampir semua orang sejagat menjadi: individualis, egoistis,
egosentris, dan hedonis. Semua cenderung memperturutkan hawa nafsunya.
Pengendalian nafsu terkait erat dengan disiplin diri yang ketat.
Seorang dosen tasawuf, baru-baru ini berkata: Hanya sufi yang
lurus dapat memandu menyelamatkan perjalanan bangsa ini dan seluruh umat
manusia menuju kebahagiaan melewati jalan cinta untuk semua (rahmatan
lil alamin).
Prof D KH Ali Yafie dengan BSM-nya adalah suri teladan. Beliau
konsisten suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan (Dasadharma
Pramuka) dalam kehidupan sehari-hari.
*Penulis adalah Wartawan, Inisiator/Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa dan Penulis "Jurnalisme Profetik".
Bertasawuf di Zaman Edan, Meneladani KH Ali Yafie
Sabtu, 26 November 2016 0:32 WIB