Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak dikenal dengan keindahan pantainya, tetapi memiliki kebudayaan dan tradisi unik, seperti Cheng Beng yang menjadi magnet bagi wisatawan.

Pemerintah daerah dalam meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara di negeri penghasil bijih timah nomor dua terbesar di dunia itu memanfaatkan adanya tradisi budaya Cheng Beng.

Tradisi Cheng Beng atau sembahyang kubur yang puncaknya jatuh setiap 5 April di negeri sepintu sedulang itu mampu mendatangkan warga keturunan Tionghoa di seluruh penjuru nusantara dan dunia untuk melaksanakan ritual sembahyang Cheng Beng di kompleks pekuburan Sentosa Kota Pangkalpinang yang merupakan makam tertua dan terbesar di Asia Tenggara.

Jumlah kuburan di Kompleks Perkuburan Sentosa pada awal 2019 lebih dari 13.000 dan setiap tahun keluarga datang ke kompleks ini untuk menggelar sembahyang Cheng Beng. Bagi kami sembahyang Cheng Beng lebih penting dibandingkan imlek dan tradisi keagamaan lainnya, karena ini sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada leluhur serta orang tua.

Ritual biasanya dimulai sejak pukul 02.30 WIB, para peziarah mulai berdatangan ke makam dengan membawa sesaji yang telah disiapkan dari rumah masing-masing, di antaranya Sam-sang (tiga jenis daging), Sam kuo (tiga macam buah-buahan), dan Cai choi (makanan vegetarian).

Pada makam leluhur masing-masing para peziarah melakukan ritual sembahyang. Sebelumnya, kubur diterangi oleh lilin, dibakar hio (garu), dan diletakan kim chin (uang palsu kertas) di atas tanah makam sembari memanjatkan doa agar arwah orang tua dan leluhur mereka tenang di alam baka dan meminta diberikan rezeki serta kedamaian bagi keluarga.

"Kita telah menjadikan Cheng Beng ini sebagai agenda pariwisata tahunan, karena tradisi ini sudah terbukti meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara," kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Babel Rivai di Pangkalpinang, Jumat.

Untuk menjadikan Cheng Beng sebagai wisata unggulan, Kementerian Pariwisata, Pemerintah Provinsi Kepulauan Babel dan pemerintah kabupaten/kota setempat mendukung serta memfasilitasi kegiatan sembahyang kubur itu, agar wisatawan lebih tertarik berwisata ke daerah ini.

Misalnya menambah atraksi-atraksi budaya, sehingga wisatawan tidak hanya sembahyang kubur, tetapi juga menikmati kebudayaan dan keindahan alam, karena pemerintah meyakini pengembangan wisata religi ini akan berdampak terhadap pembangunan pariwisata dan perekonomian masyarakat di daerah ini.
 

"Setiap tahun kegiatan Cheng Beng, diikuti ribuan wisatawan yang datang ke daerah ini untuk menggelar ritual sembahyang kubur, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur," kata Rivai.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat Suwito mengatakan pemerintah kabupaten telah menyiapkan atraksi seni untuk menyambut kehadiran ratusan wisatawan mancanegara yang akan datang menggunakan kapal pesiar ke Pantai Tanjungkalian, Muntok.

"Kami sedang mematangkan penyambutan para penumpang kapal pesiar berbendera Australia tersebut. Kami berharap mereka terkesan dan mau datang kembali ke ujung barat Pulau Bangka ini," katanya.

Kapal pesiar yang menurut perkiraan mengangkut 150 turis mancanegara dan 100 awak kapal itu dijadwalkan merapat di Pantai Tanjungkalian, Muntok, pada 24 April 2019.

Pemerintah Kabupaten Bangka Barat menyiapkan pertunjukan tarian tradisional dan atraksi seni lain untuk menghibur wisatawan dan masyarakat yang hadir.

"Tari campak merupakan sebuah tari lokal memiliki karakter riang sehingga cocok disajikan, kami berharap para wisatawan bisa bergabung untuk bersama-sama menari dan berbagi kesenangan dalam pertunjukan itu," ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah daerah juga berkoordinasi dengan Dinas Koperasi, UKM dan Perindustrian untuk menampilkan produk-produk khas daerah.

"Kepariwisataan bukan sekadar menyajikan objek wisata, namun harus ada pendukung lainnya, seperti pertunjukan, kuliner, oleh-oleh dan cindera mata lainnya dan diharapkan ajang ini bisa menjadi media promosi bagi daerah kepada wisatawan Nusantara dan mancanegara sehingga ke depan kepariwisataan Bangka Barat semakin berkembang," katanya.

Wakil Ketua Yayasan Sentosa Pangkalpinang Apin mengatakan wisatawan keturunan Tionghoa dari Hongkong, China, Singapura, dan Australia menggelar ritual sembahyang Cheng Beng di Pekuburan Sentosa Kota Pangkalpinang untuk mengingat dan mendoakan leluhurnya yang dikuburkan di kompleks pekuburan terbesar di Asia Tenggara tersebut.

Warga negara asing tersebut sengaja datang untuk menggelar sembahyang Cheng Beng atau sembahyang kubur, karena bagi masyarakat keturunan Tionghoa, katanya, sembahyang Cheng Beng sebagai ritual utama untuk mendoakan para leluhur, orang tua yang telah berjasa terhadap kehidupannya.

Ia menjelaskan bahwa Jumat  ini merupakan hari terakhir atau puncak sembahyang Cheng Beng sehingga masyarakat keturunan Tionghoa dari dalam dan luar negeri datang hingga memadati kompleks pekuburan tersebut.

"Hari ini adalah hari terakhir Cheng Beng untuk mengingat leluhur, orang tua, dan sanak famili yang dikuburkan di kompleks ini," kata dia.

Sejarah dan Pusat Cheng Beng

Menurut prasasti pada tugu pendiri makam yang terletak di depan atau pada sisi barat Paithin (rumah tempat sembahyang) kompleks makam ini didirikan oleh empat orang, yaitu Yap Fo Sun (wafat pada tahun 1972), Chin A Heuw (wafat pada tahun 1950), Yap Ten Thiam (wafat pada tahun 1944), dan Lim Sui Cian (tidak jelas tahun wafatnya pada masa pendudukan Facisme Jepang).

Sejarah dan budayawan Provinsi Kepulauan Babel, Akhmad Elvian menyatakan, kompleks makam Sentosa sekarang terletak di Jalan Bukit Abadi, sisi timur Jalan Soekarno Hatta Pangkalpinang, sering oleh masyarakat Bangka disebut dengan Ngicung.

Posisi kompleks makam memanjang dari utara ke selatan dengan luas kompleks makam seluruhnya 199.450 meter persegi.

Luas awal makam sekitar 25,2 hektare, dan pada 7 Juli 1981 ada bagian kompleks makam yang diserahkan sekitar 5,6 hektare ke Pemerintah Kota Pangkalpinang untuk pembangunan beberapa kantor dan pembangunan rumah sakit.

"Sampai sekarang kompleks makam ini masih berfungsi dan terawat dengan baik yang jumlahnya sekitar 12.950 makam," kata Akhmad Elvian.

Relatif banyak makam menunjukkan bukti keberadaan dan perkembangan pekerja tambang timah orang Tionghoa dari daratan Tiongkok di Pulau Bangka, termasuk yang merupakan peranakan dengan pribumi Bangka.

Pada tahun 1816, terdapat 2.528 orang pekerja timah dari daratan Tiongkok di Pulau Bangka. Berdasarkan catatan, pada tahun 1848, jumlah penduduk etnis Tionghoa di Pangkalpinang berjumlah 1.867 jiwa.

Kemudian, terus berkembang dengan pesat dan berdasarkan Volkstelling pada tahun 1920 terdapat 15.666 orang Tionghoa Bangka di Pangkalpinang dan merupakan 68,9 persen dari seluruh penduduk Pangkalpinang.
 

Sebagai perbandingan, berdasarkan Volkstelling yang dilakukan pemerintah Belanda pada tahun 1920, terdapat sekitar 67.398 orang Tionghoa Bangka di Pulau Bangka dari keseluruhan penduduk pulau tersebut pada waktu itu sebanyak 154.141 orang, atau hampir 44 persen dari total penduduk Pulau Bangka.

Tanah pekuburan Sentosa sebelum dikelola Yayasan Sentosa awalnya merupakan sumbangan dari keluarga bermarga Oen, salah satu keluarga terpandang di Pangkalpinang pada waktu itu yang juga menyumbangkan tanahnya untuk pendirian Kelenteng Kwan Tie Miau pada tahun 1841 yang terletak di Jalan Mayor H. Muhidin Pangkalpinang.

Berdasarkan informasi dari salah seorang keturunan keluarga Oen, disebutkan bahwa perkuburan muslim yang terletak di Kampung Keramat juga disumbangkan oleh keluarga Oen.

Dari sekian banyak makam pada kompleks pemakaman Sentosa, terdapat makam tua keluarga Oen, yaitu makam Oen Nyiem Foek. Kuburan ini dipugar pada tahun keempat (Min Kwet Sin Ngian) setelah pemerintahan Sun Yat Sen, tokoh terpenting dalam Partai Nasionalis Tiongkok Kuo Min Tang (KMT) (Pinyin: Zhongguo Guomindang) yang memerintah di Tiongkok pada tahun 1911. Jadi, makam ini diperkirakan dipugar sekitar 1915.

Oen Nyim Foek merupakan keturunan dari Oen Men Chiu yang makamnya ditemukan di Thiatfu atau Kampung Besi Pangkalpinang. Oen Men Chiu adalah generasi keluarga Oen yang pindah ke Pangkalpinang sebab generasi pertama keluarga Oen pertama kali datang ke Pulau Bangka mendarat di Pantai Rebo Distrik Sungailiat.

Salah satu bukti yang relatif cukup tua tentang keberadaan orang Tionghoa di Kampung Rebo Distrik Sungailiat adalah ditemukannya makam Oen Chi Phin (diperkirakan datang sekitar 1773).

Makam terletak di Dusun Choihin (Karang Panjang) sebuah dusun sekitar beberapa ratus meter dari jalan raya menuju kawasan Batu Ampar melalui kampung Kenanga.

Keberadaan makam tua ini menunjukkan awal keberadaan orang Tionghoa di pesisir timur Pulau Bangka untuk mengeksplorasi timah.

Di antara makam-makam pada kompleks makam Sentosa, terdapat makam Paulus Tsen On Ngie (Zeng Aner) yang lahir di Cungphin (Tiongkok) pada tahun 1795.

Makam ini tampaknya sengaja dipindahkan dari Distrik Sungaiselan ke Distrik Pangkalpinang mengingat ketokohan dan keteladanan Paulus Tsen On Ngie sebagai penyebar agama Katolik pertama di Pulau Bangka.

Pada tahun 1830, Tsen On Ngie (Zeng Aner) datang ke Distrik Sungaiselan dari Penang Malaysia. Sejak 1849, dia mulai bekerja sebagai seorang tabib (shinse) dan berkeliling di Pulau Bangka mengobati orang-orang sakit, terutama buruh-buruh Tiongkok, yang bekerja di parit penambangan timah yang didatangkan dari negara tersebut.

Pada tahun 1849, Pastor Claessens dari Batavia mengunjungi Distrik Sungaiselan dan mengatolikkan 50 orang yang telah dididik dan dipersiapkan oleh Tsen On Ngie.

Pada tahun 1853, Pastor Langenhoff dibenum untuk tugas di Distrik Sungaiselan dan Tsen On Ngie mendampingi dia sebagai katekis (guru agama).

Wilayah pelayanan pastor Langenhoff meliputi Bangka, Belitung, Palembang, dan Riau, bahkan berkembang sampai ke Kalimantan Barat.

Selanjutnya, pada sisi barat makam Paulus Tsen On Ngie terdapat makam Pastor Mario John Boen Thiam Kiat yang lahir pada tanggal 7 Agustus 1908, wafat pada tanggal 31 Mei 1982.

Pastor Mario Johannes Boen Thiam Kiat yang dikenal masyarakat Bangka dengan panggilan Pastor Boen adalah pastor projo (pribumi) pertama putra Pulau Bangka di Keuskupan Pangkalpinang dan juga pastor projo pertama di Indonesia. Nama Pastor Boen kemudian diabadikan menjadi nama Balai Pertemuan Paroki Pangkalpinang dengan nama Balai Mario Jhon Boen.

Pastor Boen ditasbihkan sebagai imam pada 25 April 1935 atau sekitar delapan bulan setelah diberkatinya gereja baru yang diberi nama pelindung Santo Yoseph pada 5 Agustus 1934. Bangunan gereja baru ini sekarang sudah dibongkar, letaknya di sekitaran pastoran sekarang.

Di antara ribuan makam orang-orang Tiongkok yang beragama Konghucu dan beragama Katolik pada kompleks makam Sentosa, juga terdapat dua makam pemeluk agama Islam, yaitu makam Ny. Tjurianty binti Kusumawidjaya (lahir tanggal 27 September 1947, wafat pada tanggal 9 Desember 1994) dan pada sisi selatan agak ke barat di sisi jalan terdapat makam Gunawan bin Tanda (lahir pada tanggal 30 Maret 1978, wafat pada tanggal 7 November 2008).

Memang tidak jelas kapan dimulainya tradisi menguburkan mayat dengan menggunakan peti mati dari kayu (kerendak) pada masyarakat Tionghoa di Pulau Bangka. Sebelumnya, dalam tradisi mereka, mayat dibakar dan abunya disimpan di dalam tempayan keramik. Relatif banyak ditemukan tempayan tempat penyimpanan abu mayat ketika masyarakat membuka ladang dan tempayan tersebut sebagian masih tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Bentuk makam yang ada di kompleks pemakaman Sentosa umumnya besar-besar dan megah. Makin tinggi status sosial yang dikubur maka makin besar bentuk makam dan luas halamannya, seperti makam yang tergolong baru, makam Ho Thian Yong yang wafat pada tanggal 16 Desember 2002. Makam ini tampaknya paling besar dan mungkin juga mahal karena bahan atau material kuburan dan halamannya dibuat dari batu granit.

Pewarta: Aprionis

Editor : Adhitya SM


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019