Jakarta (Antara Babel) - Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengritik kebijakan penerbitan dan pendistribusian dasar hukum dari tiga kartu yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang dikeluarkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Penerbitan dan pendistribusian tiga kartu itu harus jelas dasar hukumnya. Karena mengelola negara bukan seperti mengelola warung," kata Yusril Ihza Mahendra melalui pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Kamis.

Menurut Yusril Ihza Mahendra, penerbitan dan pendistribusian tiga kartu itu niatnya baik untuk membantu rakyat miskin mengantisipasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

"Kebijakan itu patut dihargai, tapi meskipun niatnya baik, tetap harus memiliki dasar hukum yang jelas," katanya.

Yusril menjelaskan, pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membuat kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), tapi dibuat dasar hukum yang jelas.

Dalam mengelola negara, kata Yusril, sebelum menerapkan kebijakan harus dibuat dasar hukumnya dulu, tidak bisa gagasan yang terlintas dibenak, langsung diwujudkan dalam tindakan.

"Namun, harus dibuat dasar hukumnya, sehingga pada saat kebijakannya diterapkan dapat dipertanggungjawabkan," katanya.

Apalagi, kata dia, kebijakan tersebut, terkait dengan keuangan negara, maka Presiden melalui kementerian terkait harus berbicara dulu dengan DPR RI untuk meminta persetujuan.

Penggunaan anggaran di Pemerintahan, kata dia, sudah diatur dalam APBN yang sebelumnya dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI.

Mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan ini juga mengkritik Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, yang menyatakan, bahwa kebijakan tiga kartu itu akan dibuatkan landasan hukum instruksi presiden dan keputusan presiden (Inpres dan Keppres).

Yusril menegaskan, Inpres dan Keppres itu bukan instrumen hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan.

Menurut dia, Inpres dan Keppres, memang pernah digunakan pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sebagai instrumen hukum.

Namun, setelah era reformasi, kata dia, maka Inpres dan Keppres, tidak lagi masuk dalam hirarki aturan perundangan.

"Inpres hanyalah perintah biasa dari Presiden dan Keppres hanya untuk penetapan seperti mengangkat dan memberhentikan pejabat," katanya.

Pewarta: Oleh Riza Harahap

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014