Jakarta (Antara Babel) - Kegaduhan politik dalam demokrasi itu seperti musik yang mengiringi kehidupan manusia, kadangkala merdu kadangkala nyaring.
Tak perlu berprasangka buruk, sebab jalan demokrasi yang dipilih memang memberikan kesempatan untuk terjadinya kegaduhan.
Untuk itu tak perlu heran atau berputus asa bila gaduh politik seringkali terjadi di Orde Reformasi.
Di masa Orde Baru, kegaduhan politik menjadi barang yang langka, bahkan mungkin sebuah keistimewaan. Sebab, gaduh berarti musuh negara, berarti antistabilitas politik dan antipembangunan.
Orde baru mensyaratkan stabilitas politik yang mantap untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Untuk menjalankannya maka ditopang dengan sistem otoritarian.
Sistem terkendali di bawah kekuasan Presiden dan hanya menyisakan sedikit ruang bagi oposisi, agar disebut demokratis (demokrasi semu).
Jalan yang sama ditempuh diberbagai negara Asia lainnya yang di era 90-an dikenal dengan Demokrasi ala Asia.
Sedangkan di negara demokratis sesungguhnya, kegaduhan mewarnai perjalanan politik suatu bangsa.
"Deadlock", tidak terjadi permufakatan terhadap suatu keputusan antara eksekutif dan legislatif, antara Presiden dan Parlemen, juga hal biasa.
Namun, yang pasti penyelesaian dalam demokrasi melalui negosiasi dan sesuai konstitusi, bukan perang fisik antarpendukung.
Tengok saja "deadlock" RUU Anggaran di Amerika Serikat pada September 2013 lalu, karena gagal disepakati Kongres. Pemicu kegagalan tersebut adalah penolakan Partai Republik atas program kesehatan Presiden Barack Obama (Obamacare).
DPR (House of Resentative) dan Senat dalam Kongres, gagal menyepakati RUU Anggaran hingga batas waktu tengah malam pada 30 September 2013. DPR kala itu dikuasai oleh Partai Republik seteru Obama. Sedangkan Senat di bawah kendali Demokrat, pengusung Obama.
Akibat kegagalan pengesahan RUU tersebut, sejumlah kantor pemerintahan dilumpuhkan untuk mengetatkan anggaran, atau biasa disebut "shutdown". Pemerintah menutup pelayanan taman-taman nasional, museum, gedung federal serta pelayanan umum termasuk NASA. Bahkan kantor-kantor pajak juga ditutup.
Sekitar 700.000 dari total 2,1 juta orang pegawai federal terkena dampaknya. Mereka dipaksa cuti tanpa menerima gaji. Perusahaan penelitian pemasaran global IHS memperkirakan kerugian akibat "shutdown" ini mencapai 300 juta dolar AS per hari.
Lumpuhnya pelayanan publik di AS tersebut, akhirnya dapat diakhiri setelah kesepakatan dicapai pada 17 Oktober 2013.
Kompromi yang dirumuskan selama 11 jam ini tercapai hanya beberapa jam sebelum Departemen Keuangan AS benar-benar tidak mampu lagi meminjam uang untuk membayar semua kewajiban utangnya, demikian digambarkan oleh Radio Australia terkait dengan RUU tersebut.
Lumpuhnya pemerintahan itu bukan yang pertama kalinya di AS. Sebelumnya, pada 1995 di masa Presiden Bill Clinton, Pemerintah AS lumpuh 21 hari. Selama 30 tahun terakhir, negeri Adidaya itu telah 18 kali menutup kantor pemerintahnya (shutdown).
Di Jakarta, Ahok Vs DPRD Jakarta, menyajikan cerita kisruh APBD Ibu Kota Negara. Kisruh karena munculnya dua APBD dengan versi yang berbeda. Versi Gubernur DKI Jakarta Ahok dan versi DPRD.
Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan DPRD harus menarik urat dan saling menyerang secara verbal atas kisruh tersebut. Ahok menuding adanya dana silumman Rp12 triliun lebih yang diselipkan dalam APBD versi DPRD. Sementara APBD menuding APBD versi Ahok bukanlah APBD resmi yang dibahas Pemda dan DPRD.
Di televisi tebar cacian, hinaan dan makian kadang terlontar dalam narasi cerita Ahok vs DPRD tersebut. Tentunya menyedihkan untuk dilihat bila hanya cacian, makian dan hinaan, bukan pendidikan politik yang mengetengahkan logika dan nalar rasional dalam berbeda pendapat.
Namun tidak dapat dipungkiri, demokrasi memberikan kesempatan itu asal tidak bertentangan dengan konstitusi. Tetapi segaduh apapun politiknya, tetap konstitusi harus dijunjung tinggi.
Penyebab Kegaduhan
Dalam kuliah umum kepada mahasiswa pascasarjana di Universitas Airlangga, Februarai 2015, Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meneropong kegaduhan politik yang terjadi di Tanah Air.
Meski kegaduhan hal yang lumrah terjadi di negara demokratis, namun di Indonesia, ada lima fundamental manajemen pengelolaan negara yang menurut dia dapat memicu kegaduhan.
Kuliah umum berjudul "Sistem Ketatanegaraan RI dan Relasinya dengan Politik Nasional" tersebut, menyatakan lima hal fundamental tersebut belum tertata dengan baik.
"Kelima hal fundamental itu memerlukan konsensus nasional," katanya dihadapan 534 mahasiswa baru pascasarjana, profesi, dan spesialis di Universitas Airlangga Surabaya, kala itu.
Pertama, seringnya terjadi kegaduhan politik karena sistem politik yang semi-presidensial. Sistem presidensial yang ditopang oleh multipartai. Untuk itu perlu segera ditata.
Kedua, Negara Kesatuan berbentuk Republik, namun dijalankan dengan desentralisasi yang luas dan otonomi daerah.
"Sebab otonomi itu lazimnya ada dalam sistem federasi dan bukan sistem kesatuan. Bisa saja sistem desentralisasi dan otonomi itu menjadi pilihan kita, namun sistem distribusi kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota perlu ditata," ujarnya.
Ketiga, tidak adanya keseimbangan hubungan negara dan rakyat yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab, terutama terkait HAM.
Keempat, sistem parlemen "dua kamar" semu. Meski terdapat dua kamar DPR dan DPD namun praktiknya 1,5 kamar, karena peran dan kewenangan DPD masih sangat kecil. Untuk itu, perlu segera ditata ulang guna keseimbangan sistem "parlementer".
Kelima belum tertatanya hubungan antarlembaga dengan fungsi yang sama, seperti MA-MK-KY atau Polri-Kejaksaan-KPK. Penataan tersebut diperlukan agar tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pandangan yang menghabiskan energi.
"Jadi, penataan kelima fundamental itu perlu dan mendesak agar energi kita tidak terkuras dan habis untuk mengatasi konflik dan gangguan yang bersifat internal, karena sistem manajemen nasional yang fundamental tidak kita miliki," tutur SBY.
Namun demikian, SBY menegaskan, kegaduhan tidak boleh menyurutkan dalam berdemokrasi dan tergoda kembali pada politik otoritarian.
Politisi Indonesia Dewasa
Wakil Presiden Jusuf Kalla sependapat kegaduhan politik sebagai dampak dari demokasi tidak perlu menjadikan kekhawatiran yang berlebihan.
Saat membuka Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada 9 Februari 2015, Wapres menyatakan, optimismenya terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia ke depan.
Ia menyakini para pihak di Indonesia cukup dewasa dalam berdemokrasi, sehingga kegaduhan yang terjadi pada akhirnya dapat diselesaikan secara demokratis.
Kala itu ia mencontohkan, meskipun persaingan panas terjadi selama musim Kampanye Presiden 2014, namun berakhir dingin dan semua pihak mau menerima hasilnya.
"Kita paling tiga bulan saja panasnya, bisa duduk berdampingan kembali, beda dengan di Thailand," ucapnya.
Ia menyoroti Thailand, yang meskipun demokratis, namun seringkali kegaduhan politik yang berlangsung membuat terjadinya kudeta militer dan masyarakat yang terbelah.
Ia juga menyakini kemampuan masyarakat Indonesia yang tetap terkendali, meskipun kegaduhan seringkali terjadi. "Jadi tak perlu khawatir," tukasnya.
Bila melihat sejarah, pemimpin di Indonesia pada akhirnya memilih lengser dan tidak menumpahkan darah atau memaksakan kehendak berkuasa meski masih punya pengaruh dan kekuatan pada saat-saat kritis.
Soekarno, Soeharto, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akhirnya memilih bersikap negarawan untuk tidak memaksakan kehendak berkuasa, setelah harus menerima kenyataan pahit dijatuhkan oleh Parlemen atas desakan masyarakat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
Tak perlu berprasangka buruk, sebab jalan demokrasi yang dipilih memang memberikan kesempatan untuk terjadinya kegaduhan.
Untuk itu tak perlu heran atau berputus asa bila gaduh politik seringkali terjadi di Orde Reformasi.
Di masa Orde Baru, kegaduhan politik menjadi barang yang langka, bahkan mungkin sebuah keistimewaan. Sebab, gaduh berarti musuh negara, berarti antistabilitas politik dan antipembangunan.
Orde baru mensyaratkan stabilitas politik yang mantap untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Untuk menjalankannya maka ditopang dengan sistem otoritarian.
Sistem terkendali di bawah kekuasan Presiden dan hanya menyisakan sedikit ruang bagi oposisi, agar disebut demokratis (demokrasi semu).
Jalan yang sama ditempuh diberbagai negara Asia lainnya yang di era 90-an dikenal dengan Demokrasi ala Asia.
Sedangkan di negara demokratis sesungguhnya, kegaduhan mewarnai perjalanan politik suatu bangsa.
"Deadlock", tidak terjadi permufakatan terhadap suatu keputusan antara eksekutif dan legislatif, antara Presiden dan Parlemen, juga hal biasa.
Namun, yang pasti penyelesaian dalam demokrasi melalui negosiasi dan sesuai konstitusi, bukan perang fisik antarpendukung.
Tengok saja "deadlock" RUU Anggaran di Amerika Serikat pada September 2013 lalu, karena gagal disepakati Kongres. Pemicu kegagalan tersebut adalah penolakan Partai Republik atas program kesehatan Presiden Barack Obama (Obamacare).
DPR (House of Resentative) dan Senat dalam Kongres, gagal menyepakati RUU Anggaran hingga batas waktu tengah malam pada 30 September 2013. DPR kala itu dikuasai oleh Partai Republik seteru Obama. Sedangkan Senat di bawah kendali Demokrat, pengusung Obama.
Akibat kegagalan pengesahan RUU tersebut, sejumlah kantor pemerintahan dilumpuhkan untuk mengetatkan anggaran, atau biasa disebut "shutdown". Pemerintah menutup pelayanan taman-taman nasional, museum, gedung federal serta pelayanan umum termasuk NASA. Bahkan kantor-kantor pajak juga ditutup.
Sekitar 700.000 dari total 2,1 juta orang pegawai federal terkena dampaknya. Mereka dipaksa cuti tanpa menerima gaji. Perusahaan penelitian pemasaran global IHS memperkirakan kerugian akibat "shutdown" ini mencapai 300 juta dolar AS per hari.
Lumpuhnya pelayanan publik di AS tersebut, akhirnya dapat diakhiri setelah kesepakatan dicapai pada 17 Oktober 2013.
Kompromi yang dirumuskan selama 11 jam ini tercapai hanya beberapa jam sebelum Departemen Keuangan AS benar-benar tidak mampu lagi meminjam uang untuk membayar semua kewajiban utangnya, demikian digambarkan oleh Radio Australia terkait dengan RUU tersebut.
Lumpuhnya pemerintahan itu bukan yang pertama kalinya di AS. Sebelumnya, pada 1995 di masa Presiden Bill Clinton, Pemerintah AS lumpuh 21 hari. Selama 30 tahun terakhir, negeri Adidaya itu telah 18 kali menutup kantor pemerintahnya (shutdown).
Di Jakarta, Ahok Vs DPRD Jakarta, menyajikan cerita kisruh APBD Ibu Kota Negara. Kisruh karena munculnya dua APBD dengan versi yang berbeda. Versi Gubernur DKI Jakarta Ahok dan versi DPRD.
Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan DPRD harus menarik urat dan saling menyerang secara verbal atas kisruh tersebut. Ahok menuding adanya dana silumman Rp12 triliun lebih yang diselipkan dalam APBD versi DPRD. Sementara APBD menuding APBD versi Ahok bukanlah APBD resmi yang dibahas Pemda dan DPRD.
Di televisi tebar cacian, hinaan dan makian kadang terlontar dalam narasi cerita Ahok vs DPRD tersebut. Tentunya menyedihkan untuk dilihat bila hanya cacian, makian dan hinaan, bukan pendidikan politik yang mengetengahkan logika dan nalar rasional dalam berbeda pendapat.
Namun tidak dapat dipungkiri, demokrasi memberikan kesempatan itu asal tidak bertentangan dengan konstitusi. Tetapi segaduh apapun politiknya, tetap konstitusi harus dijunjung tinggi.
Penyebab Kegaduhan
Dalam kuliah umum kepada mahasiswa pascasarjana di Universitas Airlangga, Februarai 2015, Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meneropong kegaduhan politik yang terjadi di Tanah Air.
Meski kegaduhan hal yang lumrah terjadi di negara demokratis, namun di Indonesia, ada lima fundamental manajemen pengelolaan negara yang menurut dia dapat memicu kegaduhan.
Kuliah umum berjudul "Sistem Ketatanegaraan RI dan Relasinya dengan Politik Nasional" tersebut, menyatakan lima hal fundamental tersebut belum tertata dengan baik.
"Kelima hal fundamental itu memerlukan konsensus nasional," katanya dihadapan 534 mahasiswa baru pascasarjana, profesi, dan spesialis di Universitas Airlangga Surabaya, kala itu.
Pertama, seringnya terjadi kegaduhan politik karena sistem politik yang semi-presidensial. Sistem presidensial yang ditopang oleh multipartai. Untuk itu perlu segera ditata.
Kedua, Negara Kesatuan berbentuk Republik, namun dijalankan dengan desentralisasi yang luas dan otonomi daerah.
"Sebab otonomi itu lazimnya ada dalam sistem federasi dan bukan sistem kesatuan. Bisa saja sistem desentralisasi dan otonomi itu menjadi pilihan kita, namun sistem distribusi kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota perlu ditata," ujarnya.
Ketiga, tidak adanya keseimbangan hubungan negara dan rakyat yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab, terutama terkait HAM.
Keempat, sistem parlemen "dua kamar" semu. Meski terdapat dua kamar DPR dan DPD namun praktiknya 1,5 kamar, karena peran dan kewenangan DPD masih sangat kecil. Untuk itu, perlu segera ditata ulang guna keseimbangan sistem "parlementer".
Kelima belum tertatanya hubungan antarlembaga dengan fungsi yang sama, seperti MA-MK-KY atau Polri-Kejaksaan-KPK. Penataan tersebut diperlukan agar tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pandangan yang menghabiskan energi.
"Jadi, penataan kelima fundamental itu perlu dan mendesak agar energi kita tidak terkuras dan habis untuk mengatasi konflik dan gangguan yang bersifat internal, karena sistem manajemen nasional yang fundamental tidak kita miliki," tutur SBY.
Namun demikian, SBY menegaskan, kegaduhan tidak boleh menyurutkan dalam berdemokrasi dan tergoda kembali pada politik otoritarian.
Politisi Indonesia Dewasa
Wakil Presiden Jusuf Kalla sependapat kegaduhan politik sebagai dampak dari demokasi tidak perlu menjadikan kekhawatiran yang berlebihan.
Saat membuka Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada 9 Februari 2015, Wapres menyatakan, optimismenya terhadap perjalanan demokrasi di Indonesia ke depan.
Ia menyakini para pihak di Indonesia cukup dewasa dalam berdemokrasi, sehingga kegaduhan yang terjadi pada akhirnya dapat diselesaikan secara demokratis.
Kala itu ia mencontohkan, meskipun persaingan panas terjadi selama musim Kampanye Presiden 2014, namun berakhir dingin dan semua pihak mau menerima hasilnya.
"Kita paling tiga bulan saja panasnya, bisa duduk berdampingan kembali, beda dengan di Thailand," ucapnya.
Ia menyoroti Thailand, yang meskipun demokratis, namun seringkali kegaduhan politik yang berlangsung membuat terjadinya kudeta militer dan masyarakat yang terbelah.
Ia juga menyakini kemampuan masyarakat Indonesia yang tetap terkendali, meskipun kegaduhan seringkali terjadi. "Jadi tak perlu khawatir," tukasnya.
Bila melihat sejarah, pemimpin di Indonesia pada akhirnya memilih lengser dan tidak menumpahkan darah atau memaksakan kehendak berkuasa meski masih punya pengaruh dan kekuatan pada saat-saat kritis.
Soekarno, Soeharto, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akhirnya memilih bersikap negarawan untuk tidak memaksakan kehendak berkuasa, setelah harus menerima kenyataan pahit dijatuhkan oleh Parlemen atas desakan masyarakat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015