Pada akhir pekan awal Desember lalu, Ami, sebut saja namanya begitu, pekerja Indonesia asal Salatiga, Jawa Tengah, bercerita dari tempat berlindungnya (shelter) di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru.

Perempuan berusia 41 tahun tersebut sedang menjalani proses persidangan di pengadilan Malaysia untuk mendapatkan hak asuh anaknya. Sudah sekitar 2 bulan dirinya berada dalam shelter dan kini sedang menunggu jadwal sidang banding.

Ami yang mengaku kali pertama datang ke Malaysia pada tahun 2009 itu sempat bekerja selama 6 tahun di negeri jiran. Ia lalu menikah secara agama dengan warga Malaysia dan kemudian mereka memiliki seorang anak.

Namun, hubungan dengan suaminya akhirnya tidak berjalan baik hingga keduanya memutuskan berpisah. Anak perempuannya kemudian diasuh oleh ayahnya.

Jika sebelum kembali ke Tanah Air ia masih bisa bertemu anak perempuannya yang ketika itu berusia 2 tahun, maka setelah kembali ke Indonesia dan pandemi COVID-19 terjadi, dirinya tidak bisa lagi menjenguk anaknya. Rasa kangen Ami sudah tidak tertahan.

“Saya datang sekarang untuk mengambil anak saya,” ujar Ami yang sudah 2 tahun belum melihat putrinya lagi.

Selama proses persidangan itu ia tinggal di shelter bersama 19 warga negara Indonesia (WNI) lainnya yang juga sedang memiliki masalah. Ami meminta doa, agar bisa membawa serta anaknya kembali ke Indonesia.

Shelter KJRI Johor Bahru, Malaysia, Minggu (4/12/2012). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Ada pula Ati, nama samaran. Perempuan paruh baya asal Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta itu sudah 2 minggu berada di shelter KJRI Johor Bahru, menunggu untuk dipulangkan ke Indonesia.

Perempuan 59 tahun itu bilang, salah satu kakinya patah setelah terjatuh di tempat kerja. Kejadiannya saat perayaan Festival Pertengahan Musim Gugur atau Festival Kue Bulan sekitar 3 bulan lalu.

Dengan kondisi itu, lansia yang mengaku sebelumnya bekerja merawat orang jompo itu mengalami kesulitan untuk bekerja hingga akhirnya majikannya mengeluarkannya dengan gaji tidak dibayarkan.

“Tujuh tahun di Malaysia, datang 2016, ikut Pak Taufik,” kata Ati, menyebutkan nama agen yang membawanya ke Malaysia.

Kerabatnya di Yogyakarta sudah tahu dirinya ada di shelter KJRI, tapi tidak dengan anak-anaknya yang bekerja di Kalimantan. Ati yang juga pernah bekerja di Arab Saudi itu mengatakan tidak mau membuat anak-anaknya khawatir dengan menceritakan kondisinya saat ini.

Ati sempat berlinang dan segera menyekanya dengan ujung hijab. Dengan suara lirih, ia meminta tolong agar dirinya dapat segera dipulangkan ke Yogyakarta.

Lalu ada Rena, juga nama yang disamarkan, dari Purwokerto, Jawa Tengah. Ia sudah 2 minggu ada di shelter dan mengaku ingin segera pulang. Ini kali kedua dirinya datang ke Malaysia untuk bekerja, dan mengaku diajak temannya masuk melalui Batam dengan kapal.

“Biasa, membantu orang tua bayar utang,” kata Rena singkat saat ditanya alasan mau bekerja di Malaysia tanpa dokumen.

Cerita yang hampir sama juga terdengar dari Ivon, pekerja asal Surabaya yang belum sampai sebulan di Malaysia.

Sebelum mendapat sponsor dari seorang agen tenaga kerja di Tangerang yang tidak ia ketahui namanya, Ivon mengatakan sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Jakarta. Bersama dengan beberapa orang teman, ia diselundupkan ke Malaysia dengan kapal dan masuk melalui Muar.

Shelter KJRI Johor Bahru, Malaysia, Minggu (4/12/2012). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Mereka akhirnya berpencar saat terkena Razia aparat Malaysia. Itu menjadi alasan mengapa dirinya kini ada di shelter KJRI Johor Bahru dan juga menunggu untuk dipulangkan ke Indonesia.

Ivon memiliki seorang anak yang sekarang duduk di kelas 1 SD di Surabaya, sedangkan suaminya bekerja di Jakarta. Sekarang dirinya hanya ingin bisa pulang dan bisa berkumpul lagi dengan anaknya.

Masih ada lagi pekerja Indonesia yang bermasalah karena tidak memiliki dokumen yang sah untuk dapat bekerja secara legal di Malaysia yang menunggu pemulangan ke Tanah Air di sana. Ada yang berasal dari Banyuwangi, Cirebon, Karawang, Bali, Ambon, Jakarta dan Bengkulu.

Ada pula dari mereka yang baru datang empat hari, hanya memiliki paspor dan mengaku tidak mengetahui jika perlu ada dokumen lain yang dibutuhkan untuk bisa bekerja di Malaysia.

Persoalan yang dihadapi

Bermacam-macam persoalan WNI hadapi hingga akhirnya mereka lari atau diantar ke Kantor Perwakilan RI di Malaysia. Pada umumnya mereka mengalami kekerasan rumah tangga, tidak kuat bekerja, hingga bermasalah dengan agensi atau majikan.

Pelaksana Fungsi Konsuler KJRI Johor Bahru Eri Kananga mengatakan rata-rata yang ada di shelter memang WNI yang menunggu dipulangkan ke Indonesia, atau seperti kasus Ami yang sedang menjalani proses persidangan.

KJRI memberikan fasilitas berupa shelter, pendampingan hukum jika ada WNI yang menghadapi persidangan. “Kami menyediakan jasa pengacara juga. Kami konsultasi dengan pengacara bagaimana baiknya menghadapi permasalahan hukum tersebut,” ujar Eri.

Faktor ekonomi dan pendidikan rata-rata menjadi alasan mereka memilih bekerja secara ilegal ketika tawaran-tawaran itu sampai kepada mereka. Jika saja ada pilihan penghasilan Rp2 juta di Indonesia dan Rp5 juta di luar negeri, meski harus melakukan semuanya secara ilegal dan penuh risiko, mereka memilih itu.

“Namun, ketika sudah sampai, semua iming-iming pekerjaan dan penghasilan yang oknum agen pemberi kerja janjikan saat masih di Indonesia, ternyata tidak sesuai,” kata Ami menimpali.

Kebanyakan cerita dari pekerja Indonesia yang lari dari rumah majikannya ke shelter karena sudah tidak kuat lagi bekerja. Ada yang ternyata harus melakukan dua pekerjaan, ada pula yang harus membersihkan seorang diri di rumah yang begitu besar.

Shelter KJRI Johor Bahru, Malaysia, Minggu (4/12/2012). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Cerita lain yang rata-rata pekerja Indonesia hadapi yakni kurangnya waktu istirahat, tidak ada libur, tidak ada kesempatan untuk ibadah, dan kendala bahasa yang justru berakhir dengan omelan dari majikan.

Sekalipun serumpun, bagi WNI yang baru datang ke Malaysia, cukup banyak yang menemui kendala bahasa. Dan persoalan lain, mereka kadang dikirim tanpa keterampilan atau keahlian apa pun.

Persoalan gaji tidak dibayarkan juga sering sekali terjadi, bahkan ada yang sudah bekerja puluhan tahun namun tidak menerima gaji.

Ada pula oknum-oknum yang mengirim mereka yang berusia di atas 50 tahun. Padahal sesuai aturan maksimal usia untuk Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga (TKI PLRT) 45 tahun.

Rumitnya pemulangan

Tidak jarang ketika cara pekerja PLRT tadi tidak sesuai dengan yang diharapkan majikan, mereka akan dipulangkan. Kebanyakan mereka diantarkan atau dilepas begitu saja dan diarahkan naik bus untuk pulang melalui pelabuhan di Johor Bahru, meski awalnya mereka berada di Penang atau Kuala Lumpur.

Pada akhirnya mereka akan datang ke KJRI Johor Bahru, supaya bisa dipulangkan ke Indonesia. Ada yang proses pengembaliannya cepat, jika Konsulat Jenderal mengetahui agensi yang membawa mereka ke Malaysia. Karena, agensilah yang dimintai pertanggungjawaban terlebih dulu.

Namun, banyak juga yang sama sekali tidak tahu agensinya, tidak tahu dan tidak memiliki kontak ke kampung halamannya, sama sekali tidak memiliki dokumen bahkan kartu tanda penduduk (KTP).

KJRI butuh waktu lebih lama untuk menelusuri kerabat mereka di kampung. Mereka akan mencari lewat jejaring di pemerintahan kabupaten/kota berdasarkan informasi sangat minim yang dimiliki. Dengan kondisi seperti itu, terkadang bisa hitungan bulan untuk memproses pemulangan WNI bermasalah ke Indonesia.

Persoalan lain yang menghadang KJRI jika mereka tidak dapat berbahasa Indonesia dan hanya bisa berbahasa daerahnya. Terpaksa harus mendatangkan orang yang paham bahasa daerah tersebut untuk bisa menggali informasi dan melakukan verifikasi.

Semua upaya tentu dilaksanakan, sampai akhirnya mereka dapat kembali ke Tanah Air.

*Bersambung ke artkel berjudul "Menengok shelter KJRI Johor Bahru"

Baca juga: Menengok "shelter" KJRI Johor Bahru

Pewarta: Virna P Setyorini

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022