Akademisi Universitas Bangka Belitung mendorong peningkatan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melakukan pengawasan kinerja kepala desa agar pembangunan berjalan sesuai rencana.

"Peran BPD selama ini kurang berjalan dengan baik dan tidak efektif dalam melakukan pengawasan. Ini yang perlu menjadi catatan bersama agar ke depan masyarakat semakin jeli dalam memilih anggota BPD di desa masing-masing," kata Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UBB Novendra Hidayat di Pangkalpinang, Kamis.

Hal ini dikatakan Novendra menanggapi rencana penambahan periodisasi kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun sesuai tuntutan ribuan kepala desa yang menyampaikan pendapat di Gedung DPR RI pada Selasa (17/1).

Pada penyampaian pendapat tersebut, para kepala desa meminta adanya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun.

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 39, diatur bahwa masa jabatan kepala desa selama enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kemudian, petahana kepala desa dapat menjabat lagi paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Tuntutan ini disampaikan para kepala desa karena masa jabatan enam tahun yang berlaku saat ini membuat persaingan politik semakin terasa.

Menurut Novendra masa jabatan sembilan tahun dalam satu periode tersebut dinilai yang terlalu lama dan justru akan berpotensi membentuk 'kerajaan kecil' di desa.

"Usulan masa jabatan kepala desa sembilan tahun ini seakan makin menegaskan adanya sindrom berkuasa di ruang-ruang publik. Setelah sebelumnya juga ada wacana masa jabatan presiden tiga periode," katanya.

Menurut dia, dengan jabatan enam tahun kepala desa seharusnya sudah optimal membangun desa dan dari segi politik masa lima hingga enam tahun cukup ideal dalam masa berlaku sebuah eksistensi konsolidasi kekuasaan.

Dalam rentang waktu enam tahun tersebut menunjukkan tidak terlalu singkat ataupun terlalu lama dan meminimalkan rasa jenuh untuk seseorang yang mengemban amanah.

"Tentunya hal ini bisa juga berlaku untuk semua jabatan yang berkonsep periodik," ujarnya.

Menurut dia, beberapa hal yang patut diwaspadai jika memang masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun, antara lain akan sangat rawan menghadirkan potensi konflik kepentingan, akan muncul potensi penyimpangan dalam jabatan karena kesewenang-wenangan pejabat desa yang akan berpeluang sangat tinggi terhadap potensi terjadinya korupsi atau penyimpangan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Mengutip data KPK-RI, sejak 2012 hingga 2021 di seluruh Indonesia ada 601 desa atau lebih tepatnya 686 orang perangkat desa dan kepala desa yang terlibat kasus korupsi. Ratusan kasus hukum yang menjerat perangkat desa dan kepala desa ini seakan menegaskan terjadinya sengkarut pengelolaan desa.

"Selain itu, terjadinya praktik politik uang juga terus menggerogoti setiap pelaksanaan pemilihan kepala desa," katanya.

Dengan masa jabatan sembilan tahun tentu investasi politik para politisi berduit akan habis-habisan untuk meraih kemenangan, akibatnya dalam masa sembilan tahun masa jabatan akan menjadi ajang potensial berburu rente atau mendapatkan kembali modal politik yang banyak terkuras selama Pilkades.

Walaupun demikian, kata dia, sebetulnya rencana ini juga ada sisi positifnya agar lebih efektif secara periode elektoral agar tidak perlu lagi ada tiga periode kepemimpinan kepala desa sebagaimana yang sudah berlaku sesuai Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

"Dalam hal ini yang lebih krusial untuk segera dilakukan adalah penguatan peran pengawasan yang dilakukan para anggota BPD bersama seluruh warga desa tentunya agar pembangunan yang dilakukan benar-benar efektif, efisien dan sesuai dengan kebutuhan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya.

Pewarta: Donatus Dasapurna Putranta

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023