Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akan mengaktifkan pemangku adat "batin hutan" guna membantu upaya bersama mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
"Pada zaman dahulu pemangku adat batin hutan ini berada di bawah perintah gegading (kepala desa), dia yang mengatur berbagai masalah yang berkaitan dengan kegiatan cocok tanam, pembagian lahan, pelestarian hutan dan lainnya agar tidak terjadi gesekan di tengah warga desa," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat Muhammad Ferhad Irvan di Mentok, Sabtu.
Menurut dia gelar pemangku adat batin hutan ini sangat penting di setiap desa karena dia merupakan pejabat desa yang menentukan dan mengatur berbagai aktivitas penduduk yang ada kaitannya dengan lahan dan hutan.
Berdasarkan catatan Horsefield tahun 1820-an, kata dia, pendudukan Pulau Bangka pada masa itu sudah melakukan aktivitas bercocok tanam, khususnya padi ladang yang menghasilkan beras merah, untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Dalam bercocok tanam padi, penduduk lokal mengawalinya dengan melakukan pembakaran lahan yang akan ditanami padi yang dilakukan setahun sekali.
"Pada masa itu kebiasaan bakar lahan berlangsung sekitar bulan Agustus hingga akhir September. Setelah dibakar, lahan didiamkan sekitar satu bulan untuk kemudian ditanam benih padi, selanjutnya tanaman dibiarkan tumbuh dan siap panen sekitar bulan Maret-April," kata Ferhad.
Sebelum proses bakar lahan, warga akan melakukan ritual untuk mendapatkan petunjuk dari pemilik kekuatan yang ada di hutan, jika mendapatkan petunjuk bagus maka proses pembakaran lahan dimulai dengan cara yang sudah ditentukan oleh batin hutan.
Batin hutan akan memerintahkan beberapa orang perwakilan keluarga untuk bersama-sama menebang pohon yang berada di pinggir lahan (dengan ukuran sekitar 50X50 meter) yang akan dibakar, kemudian batang pohon itu direbahkan ke arah dalam.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar pada saat dilakukan pembakaran, api tidak merambat ke lahan lain yang ada di sekitar lahan tersebut.
"Batin hutan juga memerintahkan kepada warga untuk menunggu proses pembakaran dan setelah selesai mereka juga diwajibkan untuk memastikan api sudah padam," katanya.
Batin hutan ini yang menentukan jadwal pembakaran lahan untuk tanam padi secara bergantian yang dilakukan kolektif dalam kelompok masyarakat desa setempat.
Pembakaran lahan, baik itu hutan maupun semak belukar, perlu dilakukan karena jenis tanah di Bangka bukan tanah vulkanis sehingga melalui proses bakar lahan ini diyakini akan mampu membantu meningkatkan kesuburan lahan.
"Pada masa itu peran seorang batin hutan sangat vital dalam pengelolaan lingkungan secara keseluruhan, peran ini yang akan kita coba bangkitkan kembali di masa kini agar budaya warisan leluhur tidak hilang dan yang lebih pokok adalah adanya pejabat di tingkat desa yang mengatur berbagai aktivitas warga yang berkaitan dengan pola produksi, pemanfaatan lahan, baik untuk pertanian, perkebunan maupun aktivitas lain agar tidak merusak lingkungan," katanya.
Hal ini sejalan dengan upaya yang dilakukan BPBD Kabupaten Bangka Barat yang tahun ini telah berhasil merekrut dan melatih relawan bencana desa di seluruh desa/kelurahan di Kecamatan Mentok. Rekrutmen relawan bencana ini akan terus dilakukan di seluruh desa di daerah itu sebagai salah satu upaya antisipasi dan penanggulangan bencana di tingkat desa.
Begitu juga dengan Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Bangka Barat yang telah berhasil membentuk tim relawan pemadam kebakaran di 20 desa dengan anggota antara tiga hingga enam orang setiap desa.
Tim relawan pemadam kebakaran memiliki tugas untuk melakukan deteksi dan penanggulangan dini kebakaran di desa masing-masing.
Dengan adanya kolaborasi yang baik lintas organisasi perangkat daerah di Kabupaten Bangka Barat diharapkan tidak ada lagi kejadian kebakaran hutan dan lahan sekaligus bisa memfasilitasi tradisi kaya nilai kearifan lokal yang sudah dilakukan warga lokal secara turun temurun.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
"Pada zaman dahulu pemangku adat batin hutan ini berada di bawah perintah gegading (kepala desa), dia yang mengatur berbagai masalah yang berkaitan dengan kegiatan cocok tanam, pembagian lahan, pelestarian hutan dan lainnya agar tidak terjadi gesekan di tengah warga desa," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat Muhammad Ferhad Irvan di Mentok, Sabtu.
Menurut dia gelar pemangku adat batin hutan ini sangat penting di setiap desa karena dia merupakan pejabat desa yang menentukan dan mengatur berbagai aktivitas penduduk yang ada kaitannya dengan lahan dan hutan.
Berdasarkan catatan Horsefield tahun 1820-an, kata dia, pendudukan Pulau Bangka pada masa itu sudah melakukan aktivitas bercocok tanam, khususnya padi ladang yang menghasilkan beras merah, untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Dalam bercocok tanam padi, penduduk lokal mengawalinya dengan melakukan pembakaran lahan yang akan ditanami padi yang dilakukan setahun sekali.
"Pada masa itu kebiasaan bakar lahan berlangsung sekitar bulan Agustus hingga akhir September. Setelah dibakar, lahan didiamkan sekitar satu bulan untuk kemudian ditanam benih padi, selanjutnya tanaman dibiarkan tumbuh dan siap panen sekitar bulan Maret-April," kata Ferhad.
Sebelum proses bakar lahan, warga akan melakukan ritual untuk mendapatkan petunjuk dari pemilik kekuatan yang ada di hutan, jika mendapatkan petunjuk bagus maka proses pembakaran lahan dimulai dengan cara yang sudah ditentukan oleh batin hutan.
Batin hutan akan memerintahkan beberapa orang perwakilan keluarga untuk bersama-sama menebang pohon yang berada di pinggir lahan (dengan ukuran sekitar 50X50 meter) yang akan dibakar, kemudian batang pohon itu direbahkan ke arah dalam.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar pada saat dilakukan pembakaran, api tidak merambat ke lahan lain yang ada di sekitar lahan tersebut.
"Batin hutan juga memerintahkan kepada warga untuk menunggu proses pembakaran dan setelah selesai mereka juga diwajibkan untuk memastikan api sudah padam," katanya.
Batin hutan ini yang menentukan jadwal pembakaran lahan untuk tanam padi secara bergantian yang dilakukan kolektif dalam kelompok masyarakat desa setempat.
Pembakaran lahan, baik itu hutan maupun semak belukar, perlu dilakukan karena jenis tanah di Bangka bukan tanah vulkanis sehingga melalui proses bakar lahan ini diyakini akan mampu membantu meningkatkan kesuburan lahan.
"Pada masa itu peran seorang batin hutan sangat vital dalam pengelolaan lingkungan secara keseluruhan, peran ini yang akan kita coba bangkitkan kembali di masa kini agar budaya warisan leluhur tidak hilang dan yang lebih pokok adalah adanya pejabat di tingkat desa yang mengatur berbagai aktivitas warga yang berkaitan dengan pola produksi, pemanfaatan lahan, baik untuk pertanian, perkebunan maupun aktivitas lain agar tidak merusak lingkungan," katanya.
Hal ini sejalan dengan upaya yang dilakukan BPBD Kabupaten Bangka Barat yang tahun ini telah berhasil merekrut dan melatih relawan bencana desa di seluruh desa/kelurahan di Kecamatan Mentok. Rekrutmen relawan bencana ini akan terus dilakukan di seluruh desa di daerah itu sebagai salah satu upaya antisipasi dan penanggulangan bencana di tingkat desa.
Begitu juga dengan Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Bangka Barat yang telah berhasil membentuk tim relawan pemadam kebakaran di 20 desa dengan anggota antara tiga hingga enam orang setiap desa.
Tim relawan pemadam kebakaran memiliki tugas untuk melakukan deteksi dan penanggulangan dini kebakaran di desa masing-masing.
Dengan adanya kolaborasi yang baik lintas organisasi perangkat daerah di Kabupaten Bangka Barat diharapkan tidak ada lagi kejadian kebakaran hutan dan lahan sekaligus bisa memfasilitasi tradisi kaya nilai kearifan lokal yang sudah dilakukan warga lokal secara turun temurun.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023