Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Nopian Andusti mengatakan bahwa perilaku anak di tengah masyarakat adalah cerminan dari pola asuh keluarganya.
"Dalam lingkungan keluarga, anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting bagi kehidupannya di kemudian hari. Apa yang tercermin di luar oleh anak-anak sesungguhnya mencerminkan bagaimana kehidupan di keluarga," katanya dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Nopian menjelaskan, pola asuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya pendidikan orang tua, lingkungan, dan budaya.
"Keempat faktor tersebut mempengaruhi cara mengasuh anak. Jadi, apa yang diucapkan, bagaimana perilaku, juga karakter seorang anak dimulai dari keluarganya," ucap Nopian.
Ia menyebutkan, pola asuh terbagi menjadi empat jenis, yaitu otoritatif, otoriter, permisif, dan neglectful.
Pola asuh otoritatif cenderung bersifat dua arah atau demokratis, dimana orang tua secara aktif mengajak anak berdiskusi, sedangkan otoriter cenderung satu arah, dimana orang tua melakukan kontrol penuh kepada sang anak.
Kemudian, pola asuh permisif yakni orang tua cenderung mengedepankan keinginan anak, dan neglectful yakni orang tua cenderung acuh atau enggan mempedulikan kebutuhan sang anak.
"Di Indonesia, berdasarkan profil anak usia dini tahun 2021, empat dari 100 anak usia dini pernah mendapatkan pengasuhan tidak layak. Persentase anak usia dini yang pernah mendapatkan asuhan tidak layak yaitu 3,73 persen di tahun 2018, dan menurun menjadi 3,6 persen di tahun 2020," paparnya.
Ia mengemukakan, untuk mencapai indeks perlindungan anak, Indonesia mempunyai target untuk mengurangi pengasuhan yang tidak layak pada tahun 2024 sebesar 3,4 persen.
"Pola asuh menjadi bagian terbesar dalam pembangunan keluarga, untuk itu orang tua perlu terus menerus belajar," kata dia.
Sementara itu, Pakar Tumbuh Kembang - Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. dr Fitri Hartanto menyatakan bahwa orang tua perlu mengedepankan asah, asih, asuh demi menciptakan keluarga yang sehat.
"Kadang orang tua hanya memahami bahwa sayang adalah selalu menuruti kehendak anak, permisif, sehingga mengakibatkan anak gagal belajar, untuk itu sebisa mungkin orang tua menggunakan kasih sayang yang positif," kata Fitri.
Ia menjelaskan, kasih sayang yang baik salah satunya yakni mencontohkan perilaku yang tidak menunjukkan kekerasan, baik dalam sikap maupun perkataan.
"Pada saat mengajari dengan kasar, maka anak hanya akan mengingat wajah orangtua yang marah, dan tidak dapat menangkap kata apa yang diajarkan," ujarnya.
Ia juga memaparkan, pola asuh dapat menjadi salah satu faktor penyebab angka stunting.
"Komponen anak stunting tidak bisa dilihat hanya dari dari fisik yang pendek, tetapi harus dilihat juga apakah anak ini pendek karena ada masalah metabolik genetiknya, pada perkembangannya, atau aspek sosial yang di dalamnya termasuk pola asuh," tuturnya.
Untuk itu, ia berpesan pentingnya mengoptimalkan stimulasi pada anak di usia emasnya, atau pada 1.000 hari pertama kehidupan.
"Stimulasi harus dioptimalkan di usia golden period-nya, begitu anak diajarkan yang salah, maka ia akan menganggap hal itu benar, dan kalau sudah tertanam di diri anak, maka akan sulit diubah," kata dia.
Ia mencontohkan, salah satu sikap anak yaitu hanya makan apa yang disukai atau picky eater, dapat menimbulkan permasalahan stunting.
"Misalnya anak tidak suka makan ikan, maka orang tua sengaja tidak pernah memberi ikan, padahal protein sangat penting untuk mencegah stunting. Nah, yang harus membiasakan dan memberikan makanan gizi seimbang adalah lingkungan yang paling dekat, yaitu orang tuanya," ucap Fitri.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
"Dalam lingkungan keluarga, anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting bagi kehidupannya di kemudian hari. Apa yang tercermin di luar oleh anak-anak sesungguhnya mencerminkan bagaimana kehidupan di keluarga," katanya dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Nopian menjelaskan, pola asuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya pendidikan orang tua, lingkungan, dan budaya.
"Keempat faktor tersebut mempengaruhi cara mengasuh anak. Jadi, apa yang diucapkan, bagaimana perilaku, juga karakter seorang anak dimulai dari keluarganya," ucap Nopian.
Ia menyebutkan, pola asuh terbagi menjadi empat jenis, yaitu otoritatif, otoriter, permisif, dan neglectful.
Pola asuh otoritatif cenderung bersifat dua arah atau demokratis, dimana orang tua secara aktif mengajak anak berdiskusi, sedangkan otoriter cenderung satu arah, dimana orang tua melakukan kontrol penuh kepada sang anak.
Kemudian, pola asuh permisif yakni orang tua cenderung mengedepankan keinginan anak, dan neglectful yakni orang tua cenderung acuh atau enggan mempedulikan kebutuhan sang anak.
"Di Indonesia, berdasarkan profil anak usia dini tahun 2021, empat dari 100 anak usia dini pernah mendapatkan pengasuhan tidak layak. Persentase anak usia dini yang pernah mendapatkan asuhan tidak layak yaitu 3,73 persen di tahun 2018, dan menurun menjadi 3,6 persen di tahun 2020," paparnya.
Ia mengemukakan, untuk mencapai indeks perlindungan anak, Indonesia mempunyai target untuk mengurangi pengasuhan yang tidak layak pada tahun 2024 sebesar 3,4 persen.
"Pola asuh menjadi bagian terbesar dalam pembangunan keluarga, untuk itu orang tua perlu terus menerus belajar," kata dia.
Sementara itu, Pakar Tumbuh Kembang - Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. dr Fitri Hartanto menyatakan bahwa orang tua perlu mengedepankan asah, asih, asuh demi menciptakan keluarga yang sehat.
"Kadang orang tua hanya memahami bahwa sayang adalah selalu menuruti kehendak anak, permisif, sehingga mengakibatkan anak gagal belajar, untuk itu sebisa mungkin orang tua menggunakan kasih sayang yang positif," kata Fitri.
Ia menjelaskan, kasih sayang yang baik salah satunya yakni mencontohkan perilaku yang tidak menunjukkan kekerasan, baik dalam sikap maupun perkataan.
"Pada saat mengajari dengan kasar, maka anak hanya akan mengingat wajah orangtua yang marah, dan tidak dapat menangkap kata apa yang diajarkan," ujarnya.
Ia juga memaparkan, pola asuh dapat menjadi salah satu faktor penyebab angka stunting.
"Komponen anak stunting tidak bisa dilihat hanya dari dari fisik yang pendek, tetapi harus dilihat juga apakah anak ini pendek karena ada masalah metabolik genetiknya, pada perkembangannya, atau aspek sosial yang di dalamnya termasuk pola asuh," tuturnya.
Untuk itu, ia berpesan pentingnya mengoptimalkan stimulasi pada anak di usia emasnya, atau pada 1.000 hari pertama kehidupan.
"Stimulasi harus dioptimalkan di usia golden period-nya, begitu anak diajarkan yang salah, maka ia akan menganggap hal itu benar, dan kalau sudah tertanam di diri anak, maka akan sulit diubah," kata dia.
Ia mencontohkan, salah satu sikap anak yaitu hanya makan apa yang disukai atau picky eater, dapat menimbulkan permasalahan stunting.
"Misalnya anak tidak suka makan ikan, maka orang tua sengaja tidak pernah memberi ikan, padahal protein sangat penting untuk mencegah stunting. Nah, yang harus membiasakan dan memberikan makanan gizi seimbang adalah lingkungan yang paling dekat, yaitu orang tuanya," ucap Fitri.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023