Jakarta (Antara Babel) - Selama hampir dua kali 20 tahun, yaitu tahun
1980 - 2000, kemudian 2000 - 2016 keluarga Indonesia diajak bekerja
keras menganut pola keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera.
Mulai tahun 1980, setelah selama hampir 10 tahun diperkenalkan pada program keluarga berencana (KB), keluarga Indonesia dianggap siap menerima program itu secara besar-besaran dan makin massal.
Kesadaran dan pengetahuan tentang KB pada saat diadakan Sensus Penduduk tahun 1980 dirasa cukup tinggi. Hanya saja penerimaannya masih rendah.
Maka, pada 1981 timbul perdebatan apakah program KB telah dilakukan secara efektif, atau justru salah sasaran sehingga pasangan usia subur belum berbondong-bondong menerima inovasi dan kegiatan itu secara positif.
Kritik itu timbul karena kesadaran dan pengetahuan dianggap tinggi, tetapi belum cukup meyakinkan, diduga karena pelayanan masih dianggap sulit atau berbelit-belit karena harus mengikuti berbagai persyaratan yang rumit.
Karena itu, sejak tahun 1981-an secara operasional dilakukan perubahan yang lebih drastis, karena pelayanan KB tidak saja dilakukan di klinik permanen atau rumah sakit atau di Puskesmas, tetapi juga langsung diantarkan ke desa-desa.
Calon peserta dianggap sebagai insan yang sehat. Di desa-desa dibentuk kelompok akseptor KB yang sekaligus menjadi pusat pelayanan anggota kelompoknya agar setiap akseptor apabila kehabisan persediaan pil bisa mengambil dari persediaan kelompoknya.
Strategi ini memberi dukungan terhadap kelangsungan penggunaan kontrasepsi, khususnya pil dan kondom. Tidak ada paksaan untuk pindah ke kontrasepsi yang lebih mantap seperti spiral atau suntik yang dianggap lebih tahan lama tanpa intervensi pesertanya sendiri.
Perubahan itu dilakukan dengan dukungan komitmen yang sangat tinggi dari presiden yang diikuti beberapa menteri terkait dan dikoordinasikan dengan simpatik oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sampai ke tingkat akar rumput.
Dokter, bidan dan petugas lapangan dikawal aparat pemerintah, didukung modal budaya bangsa yang peduli sesama, gotong- royong serta partisipasi para pemimpin berbagai agama memberdayakan masyarakat dan mengajak pasangan usia subur menerima pola hidup baru dengan dua anak cukup, laki perempuan sama saja.
Budaya baru itu dibawa secara positif dan terbuka tanpa menyalahkan mereka yang sudah terlanjur memiliki banyak anak sampai ke desa, bahkan sampai kepada pasangan muda di rumahnya di desa-desa.
Upaya ini didukung komitmen presiden dan semua aparat sampai ke Desa serta lembaga swadaya masyarakat secara kompak. BKKBN dan Petugas Lapangan KB bekerja keras melakukan koordinasi yang simpatik pada semua tingkat dengan dukungan logistik yang handal.
Hasilnya luar biasa. Pada 1987-1988 Indonesia mulai dikagumi dunia karena pendekatan kemasyarakatan dengan dukungan budaya, agama, aparat desa, dan masyarakat yang kuat.
Banyak petugas KB dunia melirik dan belajar pendekatan kemasyarakatan ke desa-desa di Indonesia. Mereka bicara dengan hati dan bahasa isyarat bersama pejuang KB di pedesaan, memahami revolusi pendekatan baru yang terjadi.
Lembaga donor mengirim ahli mempelajari dan mengagumi inovasi pendekatan kemasyarakatan itu dengan tekun. Para pejabat teras BKKBN silih berganti melakukan kunjungan ke luar negeri untuk berbagi dalam Pertemuan dan Seminar internasional sebagai pembicara yang dikagumi.
Pada 1989 Presiden RI diberikan penghargaan dunia berupa "UN Population Awards" langsung oleh Sekjen PBB.
Mulai saat itu pembangunan keluarga menjadi fokus baru menggantikan urusan KB yang konsentrasi pada anak dan keselamatan ibu hamil dan melahirkan.
Dengan dukungan UU Nomor 10 tahun 1992 pemberdayaan keluarga meliputi penguatan delapan fungsi keluarga, yaitu fungsi-fungsi Ketuhanan Yang Maha Esa, Budaya, Cinta Kasih, Perlindungan, Kesehatan dan KB, Pendidikan, Wirausaha dan Lingkungan.
Kedelapan fungsi keluarga itu kemudian diangkat oleh PBB menjadi delapan target MDGs untuk tahun 2000 - 2015 dan dilanjutkan menjadi 17 target dalam SDGs untuk tahun 2016-2030 mendatang.
Sejak tahun 1990-an itulah Presiden RI, selaku pribadi tokoh-tokoh BKKBN menggagas upaya guna mendukung pemberdayaan keluarga secara komprehensif dan makin mandiri.
Sepulang dari New York, dengan modal dari hadiah, maka kemudian oleh Pak Harto didirikan Yayasan Anugerah Kencana Buana (Anugerah) guna membantu keluarga tertinggal.
Belum sampai Yayasan ini bergerak, Pak Harto mendukung pembentukan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) yang lebih besar dengan mengajak para konglomerat memberi sumbangan secara sukarela.
Empat tokoh kemudian diajak mendirikan Yayasan Damandiri itu, yaitu Pak Harto, Haryono Suyono, Pak Sudwikatmono dan Om Liem Soei Liong masing-masing secara pribadi.
Setiap pendiri meyisihkan uang pribadinya untuk modal awal Yayasan Damandiri agar Yayasan segera bergerak mengimbau para pengusaha yang berhasil untuk membantu memberikan dana yang diperlukan.,
Dana itu disalurkan kepada keluarga prasejahtera, utamanya guna memberdayakan dirinya menjadi akseptor KB yang handal dan meningkat menjadi keluarga sejahtera.
Derasnya sumbangan
Melalui imbauan itu, sumbangan mulai mengalir masuk kas Yayasan. Aliran sumbangan itu makin deras tatkala seruan itu dikukuhkan sebagai Seruan Presiden yang mengimbau agar para konglomerat menyisihkan keuntungan usahanya untuk membantu keluarga prasejahtera di seluruh Indonesia.
Untuk menarik minat menyumbang, beberapa bulan sebelum Yayasan resmi dikukuhkan dengan Surat Keputusan notaris, tepatnya pada 2 Oktober 1985, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, empat tokoh itu menandatangani dokumen tekad pendirian Yayasan Damandiri yang diresmikan akta notaris dan disahkan pemerintah.
Komitmen para tokoh itu diikuti dengan mengajak Bank BNI 1946 mempersiapkan skim tabungan yang diisi satu dolar sebagai pancingan yang pada bulan Januari 1996 nilainya sama dengan Rp2.000.
Keluarga prasejahtera yang memperoleh buku tabungan dianggap sebagai peserta proses pemberdayaan, yaitu telah mengikuti KB, dan boleh meminjam uang sebesar sepuluh kali isi tabungannya.
Karena isi buku tabungannya Rp2.000 maka pemilik tabungan boleh pinjam uang sebesar Rp20.000. Dari pinjaman itu 10 persen ditabung kembali agar tabungannya bertambah menjadi Rp4.000.
Bermodalkan uang pinjaman yang tinggal Rp18.00,itu setiap keluarga prasejahtera mulai jualan ayam, kripik atau makanan kecil lainnya.
Atau bergabung tetangganya ikut dalam jualan dengan variasi yang lebih luas, sehingga diharapkan muncul suatu masyarakat yang makin gotong-royong dan membentuk suatu super tim yang kuat.
Apabila pinjaman sudah dilunasi, maka yang bersangkutan bisa meminjam kembali ke Bank BNI sebesar 10 kali besarnya tabungan. Karena besar tabungannya sudah menjadi Rp4.000, maka pinjaman berikutnya adalah Rp40.000,- yang bisa menjadi modal kegiatan yang lebih luas.
Sebesar 10 persen harus ditabung kembali sehingga tabungannya menjadi sebesar Rp8.000. Begitu seterusnya sampai maksimum bisa meminjam uang sebesar Rp320.000.
Kegiatan masif yang berlangsung sampai tahun 2000-an itu telah memberi buku tabungan kepada sekitar 13,6 juta keluarga prasejahtera dan memberi pinjaman kepada sekitar 10,2 juta keluarga prasejahtera.
Kegiatan terpaksa dihentikan karena lembaga yang membantu Yayasan Damandiri merasa berkeberatan mengurusi peminjam yang makin besar.
Kemudian kegiatan diteruskan untuk membantu anak dari keluarga prasejahtera yang ingin memasuki perguruan tinggi dan mengambil tes masuk perguruan tinggi.
Acara itu diteruskan melalui kerja sama dengan sekitar 450 perguruan tinggi dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik Posdaya untuk mengembangkan pusat-pusat pemberdayaan keluarga (Posdaya) di tingkat desa.
Melalui Posdaya dilakukan pemberdayaan keluarga mengacu kepada perkuatan delapan fungsi keluarga yang diatur oleh UU nomor 10 tahun 1992 atau UU Nomor 52 tahun 2009. Dukungan untuk KKN tematik Posdaya itu berlangsung sampai ulang tahun Yayasan ke dua puluh tahun 2016.
Mulai awal tahun 2016 Pimpinan Yayasan Damandiri diteruskan oleh Dr (HC) Subiakto Tjakrawerdaya sebagai babak baru dengan konsentrasi pada pengembangan koperasi.
*Penulis, Mantan Kepala BKKBN dan salah satu pendiri Yayasan Damandiri.
(A015/A011)
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Mulai tahun 1980, setelah selama hampir 10 tahun diperkenalkan pada program keluarga berencana (KB), keluarga Indonesia dianggap siap menerima program itu secara besar-besaran dan makin massal.
Kesadaran dan pengetahuan tentang KB pada saat diadakan Sensus Penduduk tahun 1980 dirasa cukup tinggi. Hanya saja penerimaannya masih rendah.
Maka, pada 1981 timbul perdebatan apakah program KB telah dilakukan secara efektif, atau justru salah sasaran sehingga pasangan usia subur belum berbondong-bondong menerima inovasi dan kegiatan itu secara positif.
Kritik itu timbul karena kesadaran dan pengetahuan dianggap tinggi, tetapi belum cukup meyakinkan, diduga karena pelayanan masih dianggap sulit atau berbelit-belit karena harus mengikuti berbagai persyaratan yang rumit.
Karena itu, sejak tahun 1981-an secara operasional dilakukan perubahan yang lebih drastis, karena pelayanan KB tidak saja dilakukan di klinik permanen atau rumah sakit atau di Puskesmas, tetapi juga langsung diantarkan ke desa-desa.
Calon peserta dianggap sebagai insan yang sehat. Di desa-desa dibentuk kelompok akseptor KB yang sekaligus menjadi pusat pelayanan anggota kelompoknya agar setiap akseptor apabila kehabisan persediaan pil bisa mengambil dari persediaan kelompoknya.
Strategi ini memberi dukungan terhadap kelangsungan penggunaan kontrasepsi, khususnya pil dan kondom. Tidak ada paksaan untuk pindah ke kontrasepsi yang lebih mantap seperti spiral atau suntik yang dianggap lebih tahan lama tanpa intervensi pesertanya sendiri.
Perubahan itu dilakukan dengan dukungan komitmen yang sangat tinggi dari presiden yang diikuti beberapa menteri terkait dan dikoordinasikan dengan simpatik oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sampai ke tingkat akar rumput.
Dokter, bidan dan petugas lapangan dikawal aparat pemerintah, didukung modal budaya bangsa yang peduli sesama, gotong- royong serta partisipasi para pemimpin berbagai agama memberdayakan masyarakat dan mengajak pasangan usia subur menerima pola hidup baru dengan dua anak cukup, laki perempuan sama saja.
Budaya baru itu dibawa secara positif dan terbuka tanpa menyalahkan mereka yang sudah terlanjur memiliki banyak anak sampai ke desa, bahkan sampai kepada pasangan muda di rumahnya di desa-desa.
Upaya ini didukung komitmen presiden dan semua aparat sampai ke Desa serta lembaga swadaya masyarakat secara kompak. BKKBN dan Petugas Lapangan KB bekerja keras melakukan koordinasi yang simpatik pada semua tingkat dengan dukungan logistik yang handal.
Hasilnya luar biasa. Pada 1987-1988 Indonesia mulai dikagumi dunia karena pendekatan kemasyarakatan dengan dukungan budaya, agama, aparat desa, dan masyarakat yang kuat.
Banyak petugas KB dunia melirik dan belajar pendekatan kemasyarakatan ke desa-desa di Indonesia. Mereka bicara dengan hati dan bahasa isyarat bersama pejuang KB di pedesaan, memahami revolusi pendekatan baru yang terjadi.
Lembaga donor mengirim ahli mempelajari dan mengagumi inovasi pendekatan kemasyarakatan itu dengan tekun. Para pejabat teras BKKBN silih berganti melakukan kunjungan ke luar negeri untuk berbagi dalam Pertemuan dan Seminar internasional sebagai pembicara yang dikagumi.
Pada 1989 Presiden RI diberikan penghargaan dunia berupa "UN Population Awards" langsung oleh Sekjen PBB.
Mulai saat itu pembangunan keluarga menjadi fokus baru menggantikan urusan KB yang konsentrasi pada anak dan keselamatan ibu hamil dan melahirkan.
Dengan dukungan UU Nomor 10 tahun 1992 pemberdayaan keluarga meliputi penguatan delapan fungsi keluarga, yaitu fungsi-fungsi Ketuhanan Yang Maha Esa, Budaya, Cinta Kasih, Perlindungan, Kesehatan dan KB, Pendidikan, Wirausaha dan Lingkungan.
Kedelapan fungsi keluarga itu kemudian diangkat oleh PBB menjadi delapan target MDGs untuk tahun 2000 - 2015 dan dilanjutkan menjadi 17 target dalam SDGs untuk tahun 2016-2030 mendatang.
Sejak tahun 1990-an itulah Presiden RI, selaku pribadi tokoh-tokoh BKKBN menggagas upaya guna mendukung pemberdayaan keluarga secara komprehensif dan makin mandiri.
Sepulang dari New York, dengan modal dari hadiah, maka kemudian oleh Pak Harto didirikan Yayasan Anugerah Kencana Buana (Anugerah) guna membantu keluarga tertinggal.
Belum sampai Yayasan ini bergerak, Pak Harto mendukung pembentukan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) yang lebih besar dengan mengajak para konglomerat memberi sumbangan secara sukarela.
Empat tokoh kemudian diajak mendirikan Yayasan Damandiri itu, yaitu Pak Harto, Haryono Suyono, Pak Sudwikatmono dan Om Liem Soei Liong masing-masing secara pribadi.
Setiap pendiri meyisihkan uang pribadinya untuk modal awal Yayasan Damandiri agar Yayasan segera bergerak mengimbau para pengusaha yang berhasil untuk membantu memberikan dana yang diperlukan.,
Dana itu disalurkan kepada keluarga prasejahtera, utamanya guna memberdayakan dirinya menjadi akseptor KB yang handal dan meningkat menjadi keluarga sejahtera.
Derasnya sumbangan
Melalui imbauan itu, sumbangan mulai mengalir masuk kas Yayasan. Aliran sumbangan itu makin deras tatkala seruan itu dikukuhkan sebagai Seruan Presiden yang mengimbau agar para konglomerat menyisihkan keuntungan usahanya untuk membantu keluarga prasejahtera di seluruh Indonesia.
Untuk menarik minat menyumbang, beberapa bulan sebelum Yayasan resmi dikukuhkan dengan Surat Keputusan notaris, tepatnya pada 2 Oktober 1985, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, empat tokoh itu menandatangani dokumen tekad pendirian Yayasan Damandiri yang diresmikan akta notaris dan disahkan pemerintah.
Komitmen para tokoh itu diikuti dengan mengajak Bank BNI 1946 mempersiapkan skim tabungan yang diisi satu dolar sebagai pancingan yang pada bulan Januari 1996 nilainya sama dengan Rp2.000.
Keluarga prasejahtera yang memperoleh buku tabungan dianggap sebagai peserta proses pemberdayaan, yaitu telah mengikuti KB, dan boleh meminjam uang sebesar sepuluh kali isi tabungannya.
Karena isi buku tabungannya Rp2.000 maka pemilik tabungan boleh pinjam uang sebesar Rp20.000. Dari pinjaman itu 10 persen ditabung kembali agar tabungannya bertambah menjadi Rp4.000.
Bermodalkan uang pinjaman yang tinggal Rp18.00,itu setiap keluarga prasejahtera mulai jualan ayam, kripik atau makanan kecil lainnya.
Atau bergabung tetangganya ikut dalam jualan dengan variasi yang lebih luas, sehingga diharapkan muncul suatu masyarakat yang makin gotong-royong dan membentuk suatu super tim yang kuat.
Apabila pinjaman sudah dilunasi, maka yang bersangkutan bisa meminjam kembali ke Bank BNI sebesar 10 kali besarnya tabungan. Karena besar tabungannya sudah menjadi Rp4.000, maka pinjaman berikutnya adalah Rp40.000,- yang bisa menjadi modal kegiatan yang lebih luas.
Sebesar 10 persen harus ditabung kembali sehingga tabungannya menjadi sebesar Rp8.000. Begitu seterusnya sampai maksimum bisa meminjam uang sebesar Rp320.000.
Kegiatan masif yang berlangsung sampai tahun 2000-an itu telah memberi buku tabungan kepada sekitar 13,6 juta keluarga prasejahtera dan memberi pinjaman kepada sekitar 10,2 juta keluarga prasejahtera.
Kegiatan terpaksa dihentikan karena lembaga yang membantu Yayasan Damandiri merasa berkeberatan mengurusi peminjam yang makin besar.
Kemudian kegiatan diteruskan untuk membantu anak dari keluarga prasejahtera yang ingin memasuki perguruan tinggi dan mengambil tes masuk perguruan tinggi.
Acara itu diteruskan melalui kerja sama dengan sekitar 450 perguruan tinggi dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik Posdaya untuk mengembangkan pusat-pusat pemberdayaan keluarga (Posdaya) di tingkat desa.
Melalui Posdaya dilakukan pemberdayaan keluarga mengacu kepada perkuatan delapan fungsi keluarga yang diatur oleh UU nomor 10 tahun 1992 atau UU Nomor 52 tahun 2009. Dukungan untuk KKN tematik Posdaya itu berlangsung sampai ulang tahun Yayasan ke dua puluh tahun 2016.
Mulai awal tahun 2016 Pimpinan Yayasan Damandiri diteruskan oleh Dr (HC) Subiakto Tjakrawerdaya sebagai babak baru dengan konsentrasi pada pengembangan koperasi.
*Penulis, Mantan Kepala BKKBN dan salah satu pendiri Yayasan Damandiri.
(A015/A011)
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017