Jakarta (Antara Babel) - Sidang perkara dugaan korupsi senilai Rp2,3 triliun dalam proyek pengadaan KTP berbasisi nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) 2011-2012 menguak beberapa fakta yang dapat digunakan sebagai landasan untuk meyakinkan publik bahwa bancakan uang haram itu tak mungkin dipungkiri.
Mengorupsi uang rakyat senilai triliunan rupiah yang melibatkan banyak oknum merupakan pertanda bahwa melakukan kejahatan luar biasa yang menyengsarakan rakyat itu masih belum dianggap sebagai kebejatan luar biasa. Tampaknya tak ada perasaan jera bagi mereka yang belum pernah masuk penjara akibat melakukan kejahatan itu.
Sebagian besar yang diduga terjerat dalam korupsi itu adalah anggota legislatif, para politisi. Tak mengherankan jika upaya untuk menghalangi langkah KPK mengamankan uang negara pun telah santer disuarakan para politisi lewat rencana merevisi UU KPK.
Upaya politisi di Senayan untuk mengerdilkan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi sudah berkali-kali dilakukan lewat rencana revisi UU.
Bahkan ketika era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, politisi Partai Golkar pernah mewacanakan pembubaran KPK karena lembaga penegak hukum itu dianggap sebagai organ yang menyalahi prinsip trias politika. KPK pun dianggap sebagai lembaga hukum ad hoc yang harus dibatasi masa keberlangsungannya.
Upaya melemahkan KPK antara lain dicoba dengan mewacanakan perlunya keputusan pengadilan atau semacam perlunya izin sebelum penyadapan dilakukan KPK.
Kali ini, revisi terhadap UU KPK diarahkan untuk mengusulkan pembentukan organ baru semacam dewan yang bertugas untuk mengawasi KPK. Dewan pengawas KPK ini nantinya akan dipilih oleh DPR.
Dengan adanya dewan pengawas itu, langkah KPK untuk menyadap orang-orang yang dicurigai berkorupsi pun tak leluasa lagi karena harus memperoleh izin terlebih dulu dari dewan pengawas.
Tujuh tahun silam rencana revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dimobilisasi kalangan legilatif akhirnya berhasil digagalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dua tahun kemudian dengan argumen revisi itu belum diperlukan.
Dengan mengacu pada apa yang dilakukan SBY lima tahun silam, kini Presiden Joko Widodo menjadi benteng paling strategis untuk menggagalkan wacana pelemahan KPK lewat revisi UU KPK tersebut.
Para pengamat sosial politik, akademisi, dan tokoh masyarakat sepakat untuk menolak berbagai manuver yang dilakukan politisi di Senayan untuk melemahkan KPK lewat jalan revisi undang-undang.
Dalam menyikapi kerugian negara senilai Rp2,3 triliun yang melibatkan sejumlah politisi pun, berbagai kalangan menyatakan sikap yang sama bahwa KPK harus diberi dukungan untuk menuntaskan perkara itu berapapun banyaknya para pelaku korupsi yang terlibat di sana.
Beruntunglah, baik Presiden Joko Widodo maupun Wapres Jusuf Kalla sudah memberikan pernyataan dukungan kepada KPK untuk mengungkap kasus korupsi itu.
Menurut nalar publik, menggangsir uang rakat yang jumlahnya tak tanggung-tanggung dan melibatkan banyak pelaku sudah merupakan perbuatan yang kelewat nekat.
Yang mengejutkan, sebagian di antara mereka yang diduga menerima dana haram atau terlibat dalam megakorupsi itu adalah elite yang selama ini bertingkah bak aktivis antikorupsi yang bersih. Publik pun merasa dikelabui dengan aksi mereka yang jauh dari otentik itu.
Dukungan terhadap KPK untuk pantang menyerah menuntaskan megakorupsi itu agaknya memperoleh justifikasi akal sehat bahwa pemenjaraan terhadap puluhan koruptor yang tak lain sebagian adalah kaum politisi tersohor itu sama sekali tidak akan menggoyahkan stabilitas politik.
Sampai kapanpun, Indonesia tak akan pernah kekurangan politisi karena profesi jenis ini bisa dilahirkan kapanpun. Ini bisa dibuktikan ketika partai-partai politik membuka kesempatan bagi sipapun untuk menjadi calon legislatif, peminatnya membludak baik di jenjang nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Sesungguhnya, dukungan terhadap KPK sebagai institusi yang perlu diperkuat dan bukannya diperlemah justru diharapkan datang dari para bos parpol yang punya kekuasaan politik strategis.
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri pernah menyatakan akan memecat kadernya yang namanya disebut KPK terkait dengan kasus korupsi. Tak perlu menunggu keputusan pengadilan untuk memecat kader PDIP yang disinyalemen terlibat korupsi.
Pernyataan semacam itu agaknya perlu juga dinyatakan oleh para ketua umum parpol lain dalam rangka mendukung pembersihan parpol dari kader-kader yang korup. Tentu hal ini tak bisa diharapakan pada elite politik atau ketua umum parpol yang berpotensi terlibat dalam kasus korupsi.
Lalu bagaimana dengan dukungan publik di tingkat akar rumput dalam memberantas kejahatan luar biasa? Demokrasi memberi isyarat bahwa para calon pemimpin atau politisi yang suka memikat para pemilih dengan uang berpeluang besar untuk menjadi penyalah guna keuangan negara ketika mereka berhasil merebut kekuasaan politik.
Sayangnya kesadaran untuk menampik praktik politik uang di saat-saat kampanye pemilihan pemimpin publik belum merata di semua komunitas di semua jenjang sosial.
Politik uang dalam hal ini harus dimaknai dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan hanya dalam bentuk pemberian uang tunai, tapi juga berbagai pemberian dalam wujud souvenir yang bernilai jika dikonversi dalam rupiah.
Dengan demikian, penolakan praktik politik uang pada dasarnya merupakan bentuk dukungan publik di tingkat akar rumput untuk memberantas korupsi yang merapuhkan sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Mengorupsi uang rakyat senilai triliunan rupiah yang melibatkan banyak oknum merupakan pertanda bahwa melakukan kejahatan luar biasa yang menyengsarakan rakyat itu masih belum dianggap sebagai kebejatan luar biasa. Tampaknya tak ada perasaan jera bagi mereka yang belum pernah masuk penjara akibat melakukan kejahatan itu.
Sebagian besar yang diduga terjerat dalam korupsi itu adalah anggota legislatif, para politisi. Tak mengherankan jika upaya untuk menghalangi langkah KPK mengamankan uang negara pun telah santer disuarakan para politisi lewat rencana merevisi UU KPK.
Upaya politisi di Senayan untuk mengerdilkan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi sudah berkali-kali dilakukan lewat rencana revisi UU.
Bahkan ketika era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, politisi Partai Golkar pernah mewacanakan pembubaran KPK karena lembaga penegak hukum itu dianggap sebagai organ yang menyalahi prinsip trias politika. KPK pun dianggap sebagai lembaga hukum ad hoc yang harus dibatasi masa keberlangsungannya.
Upaya melemahkan KPK antara lain dicoba dengan mewacanakan perlunya keputusan pengadilan atau semacam perlunya izin sebelum penyadapan dilakukan KPK.
Kali ini, revisi terhadap UU KPK diarahkan untuk mengusulkan pembentukan organ baru semacam dewan yang bertugas untuk mengawasi KPK. Dewan pengawas KPK ini nantinya akan dipilih oleh DPR.
Dengan adanya dewan pengawas itu, langkah KPK untuk menyadap orang-orang yang dicurigai berkorupsi pun tak leluasa lagi karena harus memperoleh izin terlebih dulu dari dewan pengawas.
Tujuh tahun silam rencana revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dimobilisasi kalangan legilatif akhirnya berhasil digagalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dua tahun kemudian dengan argumen revisi itu belum diperlukan.
Dengan mengacu pada apa yang dilakukan SBY lima tahun silam, kini Presiden Joko Widodo menjadi benteng paling strategis untuk menggagalkan wacana pelemahan KPK lewat revisi UU KPK tersebut.
Para pengamat sosial politik, akademisi, dan tokoh masyarakat sepakat untuk menolak berbagai manuver yang dilakukan politisi di Senayan untuk melemahkan KPK lewat jalan revisi undang-undang.
Dalam menyikapi kerugian negara senilai Rp2,3 triliun yang melibatkan sejumlah politisi pun, berbagai kalangan menyatakan sikap yang sama bahwa KPK harus diberi dukungan untuk menuntaskan perkara itu berapapun banyaknya para pelaku korupsi yang terlibat di sana.
Beruntunglah, baik Presiden Joko Widodo maupun Wapres Jusuf Kalla sudah memberikan pernyataan dukungan kepada KPK untuk mengungkap kasus korupsi itu.
Menurut nalar publik, menggangsir uang rakat yang jumlahnya tak tanggung-tanggung dan melibatkan banyak pelaku sudah merupakan perbuatan yang kelewat nekat.
Yang mengejutkan, sebagian di antara mereka yang diduga menerima dana haram atau terlibat dalam megakorupsi itu adalah elite yang selama ini bertingkah bak aktivis antikorupsi yang bersih. Publik pun merasa dikelabui dengan aksi mereka yang jauh dari otentik itu.
Dukungan terhadap KPK untuk pantang menyerah menuntaskan megakorupsi itu agaknya memperoleh justifikasi akal sehat bahwa pemenjaraan terhadap puluhan koruptor yang tak lain sebagian adalah kaum politisi tersohor itu sama sekali tidak akan menggoyahkan stabilitas politik.
Sampai kapanpun, Indonesia tak akan pernah kekurangan politisi karena profesi jenis ini bisa dilahirkan kapanpun. Ini bisa dibuktikan ketika partai-partai politik membuka kesempatan bagi sipapun untuk menjadi calon legislatif, peminatnya membludak baik di jenjang nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Sesungguhnya, dukungan terhadap KPK sebagai institusi yang perlu diperkuat dan bukannya diperlemah justru diharapkan datang dari para bos parpol yang punya kekuasaan politik strategis.
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri pernah menyatakan akan memecat kadernya yang namanya disebut KPK terkait dengan kasus korupsi. Tak perlu menunggu keputusan pengadilan untuk memecat kader PDIP yang disinyalemen terlibat korupsi.
Pernyataan semacam itu agaknya perlu juga dinyatakan oleh para ketua umum parpol lain dalam rangka mendukung pembersihan parpol dari kader-kader yang korup. Tentu hal ini tak bisa diharapakan pada elite politik atau ketua umum parpol yang berpotensi terlibat dalam kasus korupsi.
Lalu bagaimana dengan dukungan publik di tingkat akar rumput dalam memberantas kejahatan luar biasa? Demokrasi memberi isyarat bahwa para calon pemimpin atau politisi yang suka memikat para pemilih dengan uang berpeluang besar untuk menjadi penyalah guna keuangan negara ketika mereka berhasil merebut kekuasaan politik.
Sayangnya kesadaran untuk menampik praktik politik uang di saat-saat kampanye pemilihan pemimpin publik belum merata di semua komunitas di semua jenjang sosial.
Politik uang dalam hal ini harus dimaknai dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan hanya dalam bentuk pemberian uang tunai, tapi juga berbagai pemberian dalam wujud souvenir yang bernilai jika dikonversi dalam rupiah.
Dengan demikian, penolakan praktik politik uang pada dasarnya merupakan bentuk dukungan publik di tingkat akar rumput untuk memberantas korupsi yang merapuhkan sendi-sendi kebangsaan dan kenegaraan itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017