Dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu, ia mengatakan bahwa ketika PT Timah Tbk. bekerja sama dengan lima smelter pada tahun 2018, perusahaan tersebut sudah berstatus swasta nasional dan bukan BUMN sehingga sama sekali tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut.
"Terlebih dalam tiga tahun kerja sama dengan lima smelter tersebut, PT Timah Tbk. mendapat pemasukan sebesar Rp16,7 triliun dari penjualan balok timah sebanyak 63,7 ribu ton yang dihasilkan lima smelter. Sedangkan ongkos yg dikeluarkan PT Timah terkait kerja sama dengan lima smelter itu Rp14,2 triliun dan bayar pajak dan royalti ke negara sebesar Rp1,2 triliun. Artinya PT Timah masih untung sekitar Rp1,1 triliun. Dengan perhitungan seperti itu, di mana ruginya PT Timah? Tapi semua fakta itu dikesampingkan jaksa penuntut umum (JPU)," tuturnya.
Handika juga menanggapi uang pengganti yang dibebankan kepada Robert Indarto sebesar Rp1,9 triliun.
Menurutnya, pembebanan uang pengganti itu salah kaprah dan melanggar Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena sebanyak Rp1,6 triliun dari jumlah tersebut digunakan untuk membayar biji timah ke para penambang yang ditunjuk PT Timah Tbk., dan tidak dikelola Robert.
Baca juga: Harvey Moeis dituntut 12 tahun penjara terkait kasus korupsi timah
"Lalu, timahnya disetorkan ke PT Timah sebanyak 16,7 ribu ton. Itu nyata dan tidak fiktif. Jadi, uang itu sebenarnya tidak dinikmati oleh Robert Indarto," katanya.
Selain itu, uang senilai Rp300 miliar digunakan PT SBS untuk biaya pengolahan biji timah sebanyak 16,7 ribu ton milik PT Timah Tbk., dan membayar CSR yg dikelola Harvey Moeis sebesar Rp64 miliar.
"Lalu uang lebihnya itu digunakan untuk keperluan perusahaan. Adapun hasil pengelolaan oleh PT SBS yang sebanyak 9,2 ribu ton balok timah sudah diserahkan ke PT Timah Tbk. Jadi, di mana ruginya PT Timah?” ujarnya.
Handika juga memprotes PT SBS yang merupakan perusahaan kliennya, dibebani dengan biaya kerusakan lingkungan Rp23 triliun. Padahal, Robert tidak melakukan penambangan timah di mana pun
"Itu seharusnya dibebankan kepada mitra tambang, masyarakat, dan PT Timah yang aktif melakukan penambangan. Aturannya kan seperti itu," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto selaku petinggi smelter swasta dituntut pidana penjara selama 14 tahun terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk., tahun 2015–2022 sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp300 triliun.
Baca juga: Dua petinggi smelter swasta dituntut 14 tahun penjara di kasus timah
Selain pidana penjara, Robert juga dituntut agar dikenakan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama satu tahun serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti subsider masing-masing delapan tahun penjara.
JPU menyebutkan Robert dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1,92 triliun.
Dengan demikian menurut JPU, Robert telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer.