Tulungagung (Antara Babel) - Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Selasa menemukan peredaran obat keras tertentu yang berbahaya jika dikonsumsi tanpa resep dokter, di sejumlah apotek swasta setempat.
"Kami temukan ada empat jenis obat keras yang beredar bebas di pasaran melalui beberapa apotek ini," kata Kasi Farmasi dan perbekalan Dinkes Tulungagung Masduki di Tulungagung, Selasa.
Operasi atau inpeksi mendadak dilakukan jajaran dinkes bersama dengan Satuan Reserse Narkoba Polres Tulungagung.
Tujuan awal mereka adalah merazia perdaran obat keras jenis PCC yang telah merenggut sejumlah nyawa di sejumlah kota di luar Jawa.
Namun upaya pencarian obat terlarang jenis PCC tersebut. Tim dinkes dan satnarkoba justru menemukan empat jenis obat keras tertentu yang diidentifikasi berbahaya jika dikonsumsi tanpa resep dokter.
Empat jenis obat keras itu masing-masing adalah haloperidol 1,5 miligram, haloperidol 3 miligram, CPZ 100 miligram dan triflfuoperazin 5 miligram.
"Temuan kami antara stok dan bukti fisik yang ada tidak sesuai. Makanya kami minta apotek tersebut mempertanggungjawabkan, kemana obat tersebut dijual," kata Masduki.
Masduki menjelaskan, obat-obat keras itu memiliki risiko efek perubahan aktivitas mental dan perilaku bagi yang mengkonsumsinya, apabila diminum/telan melebihi dosis.
"Obat ini jika dikonsumsi berlebihan atau terus-menerus jika bisa menyebabkan ketergantungan," ujarnya.
Oleh karenanya, lanjut Masduki, penjualan obat-obat keras harus dengan resep dokter, tidak bisa dijual bebas.
"Karena itu tiga apotek tersebut dalam pengawasan, dan diwajibkan memberikan bukti penjualan," ujarnya.
Masduki merinci, dalam temuan tersebut Haloperidol 1,5 mg tercatat ada 76 butir dalam kartu stok, namun bukti fisik banya 31 butir atau selisih 45 butir.
Haloperidol 5 mg tidak terdaftar dalam kartu stok, namun bukti fisik 10 butir.
CPZ 100 mg tidak terdata dalam kartu stok, namun bukti fisik ada 255 butir.
Sedangkan Triflfuoperazin 5 mg, jumlah fisik 173 butir namun tidak dicatat dalam kartu stok.
"Harus diketahui, kemana obat tersebut dijual. Jangan sampai jatuh kepada orang yang tidak berhak dan disalahgunakan," kata Masduki.
Jika tidak bisa menunjukkan bukti penjualan, lanjut dia, maka tiga apotek tersebut terancam dengan pasal 198 Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dengan ancamannya berupa denda hingga Rp200 juta.
Saat ini di Tulungagung ada sekurangnya 140 apotek.
Kasat Reskoba Polres Tulungagung AKP Suwancono menekankan agar pemilik apotek lebih waspada dalam pendistribusan obat, khususnya obat keras dan jenis psikopropika.
Sebab jika terjadi pelanggaran peredaran, apotek bisa dijerat dengan undang-undang kesehatan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
"Kami temukan ada empat jenis obat keras yang beredar bebas di pasaran melalui beberapa apotek ini," kata Kasi Farmasi dan perbekalan Dinkes Tulungagung Masduki di Tulungagung, Selasa.
Operasi atau inpeksi mendadak dilakukan jajaran dinkes bersama dengan Satuan Reserse Narkoba Polres Tulungagung.
Tujuan awal mereka adalah merazia perdaran obat keras jenis PCC yang telah merenggut sejumlah nyawa di sejumlah kota di luar Jawa.
Namun upaya pencarian obat terlarang jenis PCC tersebut. Tim dinkes dan satnarkoba justru menemukan empat jenis obat keras tertentu yang diidentifikasi berbahaya jika dikonsumsi tanpa resep dokter.
Empat jenis obat keras itu masing-masing adalah haloperidol 1,5 miligram, haloperidol 3 miligram, CPZ 100 miligram dan triflfuoperazin 5 miligram.
"Temuan kami antara stok dan bukti fisik yang ada tidak sesuai. Makanya kami minta apotek tersebut mempertanggungjawabkan, kemana obat tersebut dijual," kata Masduki.
Masduki menjelaskan, obat-obat keras itu memiliki risiko efek perubahan aktivitas mental dan perilaku bagi yang mengkonsumsinya, apabila diminum/telan melebihi dosis.
"Obat ini jika dikonsumsi berlebihan atau terus-menerus jika bisa menyebabkan ketergantungan," ujarnya.
Oleh karenanya, lanjut Masduki, penjualan obat-obat keras harus dengan resep dokter, tidak bisa dijual bebas.
"Karena itu tiga apotek tersebut dalam pengawasan, dan diwajibkan memberikan bukti penjualan," ujarnya.
Masduki merinci, dalam temuan tersebut Haloperidol 1,5 mg tercatat ada 76 butir dalam kartu stok, namun bukti fisik banya 31 butir atau selisih 45 butir.
Haloperidol 5 mg tidak terdaftar dalam kartu stok, namun bukti fisik 10 butir.
CPZ 100 mg tidak terdata dalam kartu stok, namun bukti fisik ada 255 butir.
Sedangkan Triflfuoperazin 5 mg, jumlah fisik 173 butir namun tidak dicatat dalam kartu stok.
"Harus diketahui, kemana obat tersebut dijual. Jangan sampai jatuh kepada orang yang tidak berhak dan disalahgunakan," kata Masduki.
Jika tidak bisa menunjukkan bukti penjualan, lanjut dia, maka tiga apotek tersebut terancam dengan pasal 198 Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dengan ancamannya berupa denda hingga Rp200 juta.
Saat ini di Tulungagung ada sekurangnya 140 apotek.
Kasat Reskoba Polres Tulungagung AKP Suwancono menekankan agar pemilik apotek lebih waspada dalam pendistribusan obat, khususnya obat keras dan jenis psikopropika.
Sebab jika terjadi pelanggaran peredaran, apotek bisa dijerat dengan undang-undang kesehatan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017