Jakarta, 24/7 (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menggalang dukungan dari importir asal Amerika Serikat (AS) terhadap kebijakan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP)  oleh pemerintah Negeri Paman Sam tersebut untuk Indonesia.

Enggartiasto mengatakan bahwa langkah itu dilakukan sehubungan dengan rencana pemerintah Amerika Serikat yang akan melakukan peninjauan kembali pemberian fasilitas tersebut kepada Indonesia. Para importir AS tersebut, membutuhkan skema GSP untuk menunjang keberlangsungan bisnis mereka.

"Indonesia memahami adanya review atas penerima GSP. Namun, Indonesia berharap hasil review tidak menganggu ekspor Indonesia ke AS dan tidak memberi dampak pada industri domestik AS yang selama ini memanfaatkan skema GSP," kata Enggartiasto, dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa.

Enggartiasto menambahkan, tanpa skema GSP tersebut maka harga produk buatan Amerika Serikat akan mengalami kenaikan dan menyebabkan terganggunya daya saing produk-produk tersebut. Para importir terlibat aktif dalam rapat dengar pendapat bersama Pemerintah AS selama proses peninjauan ulang atas negara-negara yang mendapat GSP.

Menurut Enggartiasto, GSP memberikan manfaat besar baik bagi ekspor Indonesia maupun industri dalam negeri AS.

GSP merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk (nol persen) terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara penerima fasilitas tersebut. Pada April 2017, Pemerintah AS meninjau ulang beberapa negara yang selama ini menjadi penerima skema GSP AS, termasuk Indonesia.

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan tengah menggalang dukungan para importir produk Indonesia di Amerika Serikat untuk melakukan pendekatan kepada pemerintah Negeri Paman Sam tersebut, sebagai upaya mengamankan akses pasar produk Indonesia di negara tersebut.

Pada 2017, produk Indonesia yang menggunakan skema GSP l bernilai 1,9 miliar dolar AS. Angka tersebut masih jauh di bawah negara-negara penerima GSP lainnya seperti India sebesar 5,6 miliar dolar AS, Thailand 4,2 miliar dolar AS, dan Brasil 2,5 miliar dolar AS.

Produk-produk Indonesia yang diekspor ke AS dan masuk ke dalam komoditas penerima GSP antara lain ban karet, perlengkapan perkabelan kendaraan, emas, asam lemak, perhiasan logam, aluminium, sarung tangan, alat-alat musik, pengeras suara, keyboard, dan baterai.

Selain untuk meminta dukungan soal pemberian program GSP tersebut, langkah tersebut juga dilakukan untuk menghadapi kenaikan tarif impor besi baja dan aluminium dari Amerika Serikat. Kenaikan bea masuk produk besi baja dan aluminium tidak hanya akan merugikan Indonesia sebagai eksportir, tetapi juga pelaku usaha AS.

"Biaya produksi pelaku usaha AS mereka akan meningkat, bahkan pasokan untuk proses produksi dapat terganggu. Akhirnya dapat merugikan daya saing perusahaan AS juga," kata Enggartiasto.

Para importir baja AS yang hadir dalam pertemuan mengatakan kenaikan bea masuk dapat membuat produk baja impor tidak kompetitif serta menahan laju pertumbuhan industri. Mereka mengakui produk Indonesia berkualitas baik dan produk tersebut memang tidak diproduksi oleh AS.

Sehingga, hal tersebut semestinya tidak menjadi ancaman bagi industri baja AS. Keputusan pengenaan tarif impor sebesar 25 persen untuk produk baja dan 10 persen untuk produk aluminium telah ditandatangani Presiden AS Donald Trump pada 18 Maret 2018.

Ekspor produk besi baja Indonesia ke AS pada tahun 2017 tercatat sebesar 112,7 juta dolar AS atau hanya 0,3 persen pangsa pasar AS. Nilai ini disebabkan oleh penerapan bea masuk antidumping dan countervailing duty yang telah berlangsung cukup lama.

Sementara ekspor aluminium tahun 2017 ke AS tercatat sebesar 212 juta dolar AS dan pangsa pasar 1,2 persen. Bagi Indonesia, nilai ekspor tersebut berkontribusi terhadap 50 persen ekspor aluminium Indonesia ke dunia.

Pewarta: Vicki Febrianto

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018