Pangkalpinang (ANTARA) - Wakil Ketua DPRD Babel, Deddy Yulianto meminta pemerintah pusat dan KPK mengevaluasi perdagangan timah batangan melalui ICDX, karena timah yang di ekspor tidak diketahui asal usulnya.
"Kami sangat menyayangkan komitmen yang di lakukan BKDI atau ICDX dalam menentukan harga timah dunia, karena terlihat realisasinya nihil," kata Deddy Yulianto di Pangkalpinang, Rabu.
Ia mengatakan, selama ini ICDX hanya mengacu pada harga LME dan KLTM, bahkan ironisnya lagi BKDI atau ICDX bukan hanya sebatas operator bursa timah batangan tapi diduga sebagai trading juga sehingga terkesan monopoli.
Oleh karena itu pemerintah pusat diharapkan dapat meninjau kembali keberadaan bursa ICDX karena DPRD Babel menilai keberadaan ICDX selama ini tidak membuat harga timah batangan melambung tinggi.
"Begitu juga surveyor hanya melakukan pengawasan, pengujian, pengkajian dan memeriksa dokumen saja, bahkan perusahaan Plat merah BUMN tidak mempersoalkan apa yang dilakukan oleh BKDI atau ICDX sebagai bursa. Yang menjadi pertanyaan besar kami selaku wakil rakyat, ada apa ini," ujarnya.
Menurut Deddy, sudah ratusan miliar uang yang masuk ke ICDX dari para eksportir timah batangan asal Babel, sedangkan perdagangannya hanya bermodalkan operator sistem.
"Oleh karena itu kita minta pemerintah minta mengevaluasi bursa ICDX dan menelusuri penikmat komitmen fee dari eksport timah selama ini," ujarnya.
Selain itu DPRD Babel juga meminta KPK menelusuri biaya siluman yang di pungut oleh ICDX, seperti komitmen fee yang 0,O6 persen dari eksport serta komitmen fee dari dalam negeri yang dihitung per metrik ton.
Para eksportir banyak mengeluhkan adanya potongan sebelum eksport. Belum lagi pengeluaran eksportir seperti PPN, sewa gudang, jasa surveyor ,royalti dan jamrek pasca tambang yang di bebankan oleh para exportir.
"Semua ini keluhan dari para eksportir. Kami berharap KPK segera menelusuri siapa saja yang menikmati komitmen fee dari eksport timah dan fee untuk dalam negeri segera terungkap," ujarnya.
Deddy menambahkan, DPRD Babel juga meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Babel tidak lagi mengeluarkan persetujuan RKAB yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
"Kita harap Gubernur Babel tidak lagi mengeluarkan persetujuan RKAB yang lebih dikenal dengan persetujuan RKAB rekayasa," ujarnya.