Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR Willy Aditya membela Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terkait tudingan bahwa ormas Islam Indonesia itu diam dalam kasus diskriminasi terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang, China oleh Wall Street Journal (WSJ).
Willy Aditya, di Jakarta, Selasa, berpendapat tudingan yang diarahkan kepada kedua ormas Islam itu bersifat politis.
WSJ juga menuduh keduanya menerima uang lewat bantuan dan donasi yang digelontorkan pemerintah China.
Menurutnya, kedua ormas tersebut justru adalah representasi Muslim Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Keduanya juga pernah melakukan observasi dan mengumpulkan langsung data dan fakta terkait masalah di Uighur. Mereka bahkan berhasil mendesak pembukaan akses kunjungan ke fasilitas yang disebut kem konsentrasi oleh media barat, yang selama ini tertutup.
"Kedua ormas terbesar itu justru menunjukkan kelasnya sebagai aktor menjaga perdamaian dunia. Mereka sangat berhati-hati dalam bersikap dan mengesampingkan tendensi dan kepentingan pragmatis. Justru dengan tingginya interaksi dengan pemerintah China, Indonesia bisa mengajak China menemukan solusi-solusi damai," papar Willy.
Willy menegaskan, Indonesia harus menjadi bagian dari solusi dalam upaya penyelesaian masalah Uighur. Seperti halnya dalam kasus Rohingya, menurutnya Indonesia harus mencari cara agar Tiongkok berani semakin terbuka terhadap apa yang dituduhkan dalam kasus di atas.
"Tapi kita tidak bisa gagah-gagahan dalam menyikapi Uighur di China ini. Mendukung maupun mengecam hanya akan menjebak Indonesia dalam polarisasi yang justru memperkeruh suasana. Kasus Uighur ini harus dilihat dari banyak sudut pandang," tuturnya.
Ia menambahkan, masalah Uighur harus dilihat dari konteks kesejarahan yang menyertainya.
Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan Tiongkok juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan antara Beijing dengan negara bagian Tiongkok di wilayah barat ini.
"Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa yang juga diekspresikan oleh Uighur terhadap pemerintahan China. Hal ini dihadapi oleh pemerintah China dengan isu radikalisme, separatisme hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan saja yang terjadi," jelasnya.
Keluarnya UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019) oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019 lalu, kata Willy, tidak bisa dilihat berdiri sendiri.
UU tersebut memiliki konteks yang tidak bisa dilepaskan dari situasi ekonomi-politik yang menyertai dua negara tersebut.
China sendiri, kata Willy, tidak pernah menjadikan kondisi HAM negara tujuan kerja sama sebagai pertimbangan, apalagi sebagai cara untuk menundukkan negara tertentu dalam membangun kesepakatan bisnis. Hal ini sangat berbeda dengan Amerika yang dalam beberapa kasus persaingan bisnisnya, bisa bermanuver dengan isu HAM.
Bahkan dalam UU Uighur ini, Amerika memberi legitimasi dan dorongan besar bagi media massanya untuk membuat laporan-laporan terkait kasus tersebut.
"Kepentingan Indonesia terhadap Uighur berbeda dengan kepentingan Amerika dan negara sekutunya. Kepentingan kita adalah menjaga perdamaian dunia, UUD 1945 tegas mengamanatkan hal itu," ujarnya.
Dia menegaskan, sikap Indonesia terhadap kasus Uighur tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak. Membela hak asasi manusia warga Uighur harus ditandaskan pada prinsip kemanusiaan dan imparsialitas.
"Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur ini. Dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokan China berubah total, setelah tahun 2017 ini justru mendukung suara China karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu," tegasnya.