Jakarta (Antara Babel) - Reaksi keras, tekanan, dan ancaman di beberapa negara terhadap rencana eksekusi mati narapidana kasus narkoba yang dikenal dengan juluk "Bali Nine" tampaknya tidak menggoyahkan pemerintah Indonesia untuk tetap melaksanakan hukuman tersebut.
Presiden RI Joko Widodo tak menanggapi lobi-lobi agar eksekusi dibatalkan. Tawaran barter tahanan yang dilontarkan Menlu Australia Julie Bishop juga ditanggapi dingin. Lobi mentok, pernyataan bernada miring terlontar dari sejumlah pejabat teras Negeri Kanguru itu. Misalnya, mereka mengancam menghentikan hubungan perdagangan.
Pemerintah bersikukuh melaksanakan eksekusi mati meski mendapatkan tentangan keras itu. Menurut Jaksa Agung H.M. Prasetyo, sebagian besar napi yang akan dieksekusi sudah dipindahkan dari lapas asalnya ke Lapas Nusakambangan.
Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menghiraukan tekanan pihak mana pun terkait dengan eksekusi mati terpidana narkoba. Menurutnya, eksekusi tetap akan dijalankan. "Enggak ada masalah tekanan-tekanan. Ditekan pun kita tetap jalan terus," katanya.
Hanya saja, menurut dia, eksekusi mati masih menunggu proses hukum yang diajukan oleh para terpidana mati itu. Pihaknya akan menunggu sampai proses hukum selesai. "Ada proses hukum baru yang masih harus kita tunggu. Enggak (ada target). Kita harapkan proses hukumnya alkan segera tuntas. Persiapan pelaksanaan eksekusi mati sudah 90 persen," katanya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo Edhy Purdijatno juga menegaskan bahwa Indonesia takgentar dengan ancaman tersebut. Soal ancaman pemutusan hubungan dagang, misalnya, hitung-hitungan pemerintah, justru Australia yang bakal kelimpungan bila itu terjadi karena Indonesia adalah pangsa pasar yang besar bagi Australia.
Tedjo justru melontarkan ancaman balik. Menurut dia, Indonesia bisa saja membuat Australia kepayahan menghadapi imigran gelap bila hubungan bilateral kedua negara rusak. Jika Canberra berulah, Jakarta dipastikan akan melepas imigran yang akan ke Australia itu.
"Saat ini di Indonesia ada lebih 10.000 orang imigran gelap," kata Tedjo. "Jika mereka kita lepas dan dibiarkan menuju Australia, dipastikan akan terjadi tsunami manusia di sana," katanya.
Pengamat hubungan internasional Universitas Paramadina Dinna Wisnu memprediksi isu eksekusi mati ini bisa saja membuat hubungan bilateral Australia dan Indonesia kian buruk.
Menurut dia, tekanan bisa saja justru makin berat usai eksekusi mati dilaksanakan. Misalnya, penghentian bantuan kemanusiaan, antara lain untuk program antikorupsi, pendidikan, kesehatan, pengentasan masyarakat dari kemiskinan, dan demokrasi. Penghentian itu sesuai dengan kebijakan ekonomi pemerintah liberal Australia yang memang ingin mengurangi pengeluaran untuk pelayanan publik dan bantuan sosial.
Langkah itu sebaiknya diantisipasi oleh Presiden Joko Widodo, kata Dinna. Menurut dia, dalam menjalin hubungan, Negeri Kanguru juga membutuhkan Indonesia. Pasalnya, antara kedua negara memiliki bantuan kerja sama antiterorisme dan pemulangan manusia perahu pencari suaka.
"Sementara, dua bidang itu kini menjadi prioritas utama kampanye Perdana Menteri Tony Abbott. Kerugian itu juga akan memengaruhi kepentingan negara-negara mitra lain di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara," katanya.
Oleh sebab itu, Dinna menyarankan kedua negara berdamai. Indonesia dan Australia bisa menunjuk negara ketiga, misalnya Amerika Serikat, untuk menjadi mediator guna memperbaiki hubungan kedua negara seandainya jalinan hubungan itu memburuk akibat pelaksanaan eksekusi mati terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
"Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang hingga saat ini masih memberlakukan aturan hukuman mati sebagai solusi. Negara itu juga memiliki kepentingan baik terhadap Australia dan Indonesia," kata Dinna.
Hukuman yang Sesuai
Terkait dengan rencana eksekusi mati ini, sepucuk surat datang dari komisi global kebijakan narkoba. Surat ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia itu ditandagtangani oleh Sir Richard Branson, Pendiri Virgin Group, anggota Komisi Global Kebijakan Narkoba.
Dalam surat itu, dia meminta pengampunan atas dua warga Australia, yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, seorang warga Brasil bernama Rodrigo Gularte, seorang warga Prancis (Serge Atlaoui), seorang warga Ghana (Martin Anderson alias Belo), seorang warga Nigeria (Raheem Agbaje Salami), dan empat orang warga Indonesia (Iyen bin Azwar, Harus bin Ajis, Sargawi alias Ali bin Sanusi, dan Zainal Abidin).
"Kami tidak berniat untuk ikut membahas rincian yudisial kasus-kasus tersebut. Kami juga tidak menyatakan bahwa nama-nama di atas tidak melakukan tindakan pidana sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan atas mereka, dan kami juga tidak menyatakan bahwa mereka tidak perlu ditahan atas pelanggaran mereka," tulis Branson.
"Akan tetapi," kata dia, "kami benar-benar merasa bahwa hukuman mati adalah sebuah bentuk hukuman yang tidak manusiawi yang telah terbukti berkali-kali gagal digunakan sebagai sarana pemberi rasa takut melakukan tindak pidana."
Negara-negara yang masih menjalankan eksekusi atas pelanggaran narkoba, menurut dia, belum dapat melihat adanya perbedaan antara permintaan dan penawaran. Perdagangan narkoba masih tetap tidak terpengaruh oleh adanya ancaman hukuman mati.
Tambahan lagi, hukuman mati mencabut adanya kesempatan pengampunan bagi pidana yang bertobat. "Setahu kami ada beberapa terdakwa yang kebanyakan masih baru menginjak dewasa ketika terbukti bersalah, yang telah menyatakan rasa penyesalan yang mendalam atas pelanggaran mereka, dan berniat untuk menjalani hidup dengan lebih baik dan penuh tujuan," katanya.
Akan tetapi, Presiden Jokowi tetap bersikukuh dengan keputusannya untuk tetap menyegerakan eksekusi mati terhadap terpidana gembong narkoba. Dia minta publik melihat isu hukuman mati terhadap kejahatan narkoba juga dari sisi korban yang mengonsumsinya.
"Sekira 4,5 juta orang harus direhabilitasi karena peredaran narkoba. Sekarang ini kami ingin mengendalikan jumlah orang yang direhabilitasi secara penuh," kata Jokowi.
Data itu membuat Jokowi berpandangan bahwa hukuman mati terhadap gembong narkoba adalah hukuman yang sesuai. Dia tidak akan memberikan perlakuan khusus bagi dua gembong narkoba Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. "Saya kira setiap vonis telah diputuskan oleh pengadilan. Kami tidak bisa bersikap diskriminatif dengan memperlakukan warga dari negara tertentu secara berbeda," katanya.
Status hukum terpidana mati yang mengajukan peninjauan kembali (PK) kini berada di tangan Mahkamah Agung yang akan memutus apakah terpidana berhak mendapat kesempatan hidup atau sebaliknya.
Menurut Jaksa Agung Prasetyo, PK itu sesuatu yang tidak lazim yang ditempuh para terpidana mati karena sudah grasi. Oleh karena itu, dia yakin MA akan secara tegas menolak PK yang diajukan terpidana mati. Pasalnya, lembaga itu dinilai sependapat soal undang-undang darurat narkoba.
Proses eksekusi mati terhadap 10 terpidana mati masih terhambat karena beberapa dari mereka mengajukan PK. Grasi yang sudah ditolak mentah-mentah oleh Presiden Jokowi diabaikan para terpidana. Mary Jane Viesta Veloso (Filipina) dan Serge Areski Atlaoui (Prancis) mengajukan PK ke MA.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Hartadi berpesan agar eksekusi mati terhadap 10 terpidana mati kasus narkoba jangan sampai gagal. Kepada Kepala Kejari Cilacap Agnes Triani, dia meminta untuk cepat merespons segala dinamika yang berkembang di wilayahnya, terutama menjelang eksekusi mati tahap kedua ini.
"Tidak ada terpidana mati dari Jawa Tengah. Kita hanya ketempatan. Akan tetapi, jangan sampai gagal (eksekusi mati) karena wibawa negara yang dipertaruhkan. Kejati akan 'back up' 100 persen," katanya.
Terkait dengan Australia, Hartadi menyebut negara itu sedang melakukan berbagai upaya agar dua warganya, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, tidak dieksekusi mati. Akan tetapi, jaksa sebagai eksekutor tidak boleh gentar. Maju terus pantang mudur demi kedaulatan negara dan kedaulatan hukum.