Pangkalpinang (Antara Babel) - Tradisi "nujuh jerami" yang digelar pada hari ke-7 setelah masa panen berakhir merupakan ungkapan rasa syukur petani padi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) kepada Tuhan yang telah memberikan panen berlimpah.
"Nujuh jerami" yang berasal dari kata "nujuh" yang berarti tujuh dan "jerami" merupakan sebutan untuk padi. Tradisi itu setiap tahun digelar di Dusun Air Abik, Dusun Bukit Tulang dan Dusun Pejem, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
"Upacara adat nujuh jerami sebagai adat budaya bangsa harus terus dilestarikan seiring dengan perkembangan zaman yang bergerak maju," kata Wakil Bupati Bangka Rustamsyah, pada ritual adat nujuh jerami di Dusun Pejem, Gunung Muda, Kecamatan Belinyu.
Ia menyebutkan bahwa setiap daerah memang memiliki adat istiadat serta budaya yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut merupakan suatu pontensi atau kekayaan alam Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia.
"Perkembangan zaman saya akui sangat berpengaruh besar terhadap kurangnya rasa cinta terhadap budaya sendiri, terutama di kalangan generasi muda karena kalah bersaing dengan budaya lainnya yang dianggap lebih cocok dengan kondisi sekarang. Tapi kita harus ingat bahwa budaya sendiri harus tetap lestari," kata dia menegaskan.
Pemerintah Kabupaten Bangka, kata dia, berkomitmen untuk terus meningkatkan infrastruktur dan pembangunan lainnya sehingga mempermudah akses masyarakat untuk menjangkau suatu daerah yang memiliki potensi budaya lokal.
"Hal penting lainnya dalam upacara adat yang dilangsungkan oleh masyarakat adalah terciptanya kekuatan dan kekompakan masyarakat atau terjalinnya tali persaudaraan seutuhnya karena pengunjung kegiatan ini berasal dari berbagai daerah," kata dia.
Suhaili, salah seorang tokoh masyarakat di Kabupaten Bangka, mengatakan bahwa ritual "nujuh jerami" yang digelar masyarakat di kecamatan itu dimaknai sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan setelah mereka melakukan panen padi. Upacara diawali dengan menggotong lesung atau sebuah kayu yang dilubangi untuk menumbuk padi dan kemudian dibawa ke depan rumah salah satu tokoh adat setempat.
Pada awalnya "nujuh jerami" disebut sebagai "sendekah" atau lebaran panen padi yang diawali dengan tarian pembuka untuk menghibur para tamu undangan dan warga yang menyaksikan jalannya prosesi ritual itu.
Pemuka adat itu dengan diiringi para penari mempersiapkan peti lesung untuk memulai ritual adat. Terlebih dahulu dibacai doa untuk membuka peti lesung yang hanya dikunci menggunakan tali dari jerami padi.
Setelah peti dibuka secara perlahan, maka terlihat isi peti lesung tersebut berupa satu buah lesung dan dua alu atau kayu penumbuk padi.
Lesung itu kemudian dialasi dengan daun terung asam dan selanjutnya oleh tokoh adat disembur dengan "bonglai" atau air yang sudah dibacakan doa.
Selanjutnya sejumlah padi dimasukkan ke dalam lesung lalu ditumbuk sebanyak tujuh kali, kemudian sebagian padi diambil dan ditampi tujuh kali untuk memisahkan butir padi dengan sekam.
Beras hasil tumbukan tadi itu kemudian dimasak sampai mendidih, sedangkan sekam disebarkan di jalan depan rumah yang dipercayai dapat mengusir makhluk halus.
Sebelum nasi yang dimasak tadi dimakan bersama, terlebih dahulu diletakkan di salah satu tempat bersama dengan telur rebus.
Harus Dilestarikan
Tokoh masyarakat di Kabupaten Bangka, Suhaili mengatakan tradisi "nujuh jerami" harus dilestarikan kembali, agar generasi muda mengenal dan menghargai budaya sendiri.
"Tradisi masyarakat ini sudah mulai tergerus perkembangan zaman, kemajuan teknologi sehingga kini pergelaran tradisi nujuh jerami ini tidak lagi semarak seperti tahun-tahun sebelumnya," katanya.
Ia mengatakan bahwa generasi penerus bangsa di daerah itu tidak lagi mengenal budaya sendiri dan terlena dengan kemajuan teknologi yang serba instan dan cepat, padahal pada akhirnya bisa merusak mental generasi tersebut.
"Saat ini, banyak generasi muda yang terjebak dengan kemajuan teknologi seperti pergaulan seks bebas, narkoba dan perilaku yang tidak sesuai norma budaya dan agama," ujarnya.
Menurut dia tradisi "nujuh jerami" mengandung makna dan pesan positif kepada masyarakat, misalnya meningkatkan rasa syukur, menjaga lingkungan, mempererat tali silaturahmi, bergotong royong, optimistis dan lainnya.
"Sangat disayangkan, jika tradisi dan budaya khas daerah ini harus tergeser dengan kebudayaan modern," katanya.
Untuk itu, kata dia, pemerintah daerah harus mendorong pelestarian tradisi dan budaya masyarakat, agar tidak punah tergerus perkembangan zaman.
"Jangan sampai generasi penerus tidak mengenal budaya sendiri dan lebih mengenal budaya asing yang tida sesuai normal agama," katanya.
Selain itu, ia berharap, seluruh masyarakat terus mengembangkan dan saling bersinergi menjaga peninggalan tradisi dan budaya peninggalan nenek moyang.
"Selama ini, tradisi dan budaya ini sudah terbukti sebagai alat pemersatu masyarakat untuk membangun daerah ini. Jadi sudah seharusnya pemerintah menjaga kelestarian budaya tradisional di daerah ini," katanya.
"Nujuh Jerami" Ungkapkan Syukur Petani Babel
Sabtu, 6 Juni 2015 16:44 WIB