Jakarta (Antara Babel) - "Saya siap jadi Kepala BIN. Jabatan Ketua Umum PKPI akan saya lepas begitu dilantik," kata Letjen (Purn) Sutiyoso melalui layanan pesan singkat kepada Antara, Rabu.
Isi pesan tersebut seperti mengkonfirmasi kredo prajurit tidak pernah menolak panggilan negara.
Hal itu mengingatkan kembali kepada pernyataan mantan Panglima Kodam Jaya itu pada 2002 saat terpilih untuk periode kedua menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ia mengatakan, "Prinsipnya sebagai prajurit, saya mesti siap ditugaskan di mana saja".
Nama Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Sutiyoso telah diajukan oleh Presiden Joko Widodo ke DPR RI pada Selasa malam (9/6) untuk menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) menggantikan Letjen (Purn) Marciano Norman.
Munculnya nama Sutiyoso, menurut Guru besar Universitas Pertahanan Jakarta Salim Said karena didasarkan pada pengalamannya sebagai intelijen militer bukan sebagai ketua umum partai politik pendukung pemerintah.
"Sutiyoso itu dulu bertugas di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat. Dia tentu memiliki pengalaman intelijen saat bertugas di Sandi Yudha," kata Salim Said dihubungi di Jakarta, Rabu.
Salim juga menilai Sutiyoso merupakan seorang pekerja keras. Saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dia terbiasa bekerja keras. Karena itu, Salim berharap Sutiyoso berhasil memimpin lembaga intelijen tersebut.
Pengamat hukum dan politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Nicolaus Pira Bunga juga menyakini rekam jejak Sutiyoso yang menjadikan Presiden Joko Widodo memilihnya untuk diajukan sebagai Kepala BIN.
Menurut mahasiswa pascasarjana program doktoral di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu, Sutiyoso memiliki pengalaman intelijen karena pernah bertugas di Kopassus sebagai Wakil Komandan Jenderal.
Selain itu, ia menilai kinerja Sutiyoso telah teruji saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. "Dia terbiasa bekerja keras," kata Pira Bunga.
Pengamat intelijen dan militer Susaningtyas Kertopati berharap Sutiyoso masih memiliki ketangguhannya sebagai intelijen karena telah lama tidak aktif dalam militer.
"Sutiyoso sudah lama tak berada dalam sistem. Semoga saja dirinya masih memiliki kepekaan seorang perwira intelijen," kata Susaningtyas.
Menurut dia, intelijen adalah mata telinga Presiden sehingga dibutuhkan sosok yang cocok dengan Presiden dan menjiwai visi dan misi yang diemban oleh pemerintah dipimpinnya.
Sedangkan Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menilai pengajuan nama Sutiyoso sebagai Kepala BIN tidak lebih dari bagi-bagi kursi jabatan oleh Presiden Joko Widodo kepada para pendukungnya.
"Pemilihan Sutiyoso juga menjadi tradisi baru, pertama kalinya seorang ketua umum partai yang tidak memiliki satu kursi pun di DPR diangkat menjadi pejabat pemerintahan," tuturnya.
Ia pun menyoroti terkait isu pelanggaran HAM, bila Sutiyoso menjadi Kepala BIN, ia harus membuktikan dengan bekerja sama dengan Komisi Nasional HAM bahwa dirinya tidak terlibat dalam pelanggaran hak sipil dan politik.
"Dia juga harus terbuka pada kasus lainnya seperti saat menjelang pergantian kekuasaan Soeharto, mengingat posisinya pada waktu itu sebagai Pangdam Jaya," ucapnya.
Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menjelaskan pengalaman militer Sutiyoso sebagai Pangdam Jaya dan Gubernur DKI Jakarta dapat membantu tugas-tugas pengamanan dan pencegahan.
"Dalam catatan Presiden, pengalaman Sutiyoso di ketentaraan, intelijen dan sipil akan sangat membantu penugasan barunya sebagai Kepala BIN, terutama dalam deteksi dini adanya ancaman terhadap stabilitas keamanan," katanya.
Selain pernah menjabat sebagai Gubernur DKI selama dua periode (1997-2002 dan 2002-2007), Sutiyoso juga pernah menjadi Danrem Bogor, Kasdam Jaya, dan Pangdam Jaya.
Dengan pengalaman yang lengkap itu, Presiden berharap kualitas intelijen akan semakin baik.
"Presiden berharap kualitas intelijen kita semakin maju," kata Teten
Militer
Sutiyoso memulai kariernya di dunia militer setelah lulus Akademi Militer Nasional di Magelang pada 1968.
Pria kelahiran Semarang 6 Desember 1944 tersebut malang melintang di berbagai operasai militer. Ia pernah bertugas di Kopassus mulai dari jabatan Komando Peleton tahun 1969 hingga menjadi Asisten Operasi Komandan Kopassus tahun 1991.
Sempat ditugaskan ke Kostrad sebagai Asisten Operasi dan kembali ke Kostrad sebagai Wakil Komanda pada 1992.
Sutiyoso telah mengikuti berbagai operasi seperti Operasi PGRS/ Paraku tahun 1969, Operasi Flamboyan di Timtim tahun 1975, Operasi Seroja di Timtim 1975, dan Operasi Aceh Merdeka tahun 1978.
Pada 1993, Sutiyoso ditugaskan sebagai Komandan Korem 061/ Suryakencana Bogor, Jawa Barat.
Pada 1994 Korem 061/Suryakencana dinobatkan sebagai Korem terbaik seluruh Indonesia dengan Sutiyoso sebagai Komandan Korem terbaik. Sutiyoso dinilai berprestasai setelah menyelesaikan kasus sengketa tanah Rancamaya yang memanas sejak tahun 1989 tersebut.
Dalam KTT Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) 1994 di Istana Bogor, Sutiyoso sukses menjalankan tugasnya sebagai penanggung jawab keamanan.
Karirnya meningkat, dan ditugaskan sebagai Kepala Staf Kodam Jaya, dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal. Setahun kemudian, pada 1996 ia dipromosikan menjadi Pangdam Jaya.
Sebagai Pangdam Jaya, peristiwa 27 Juli 1996 menjadi salah satu batu ujian berat yang diembannya. Peristiwa penyerangan aparat ke Markas PDI saat itu untuk mengosongkan para pendukung Megawati Soekarno Putri membawa sejumlah korban dan terekam dalam sejarah kelabu negeri ini.
Kerusuhan yang terjadi dalam peristiwa tersebut, mampu diminimalisir dan tidak meluas.
Gubernur
Peristiwa tersebut tidak menghalangi hubungan baik antara Sutiyoso dengan Megawati.
Bang Yos, panggilan akrab Sutiyoso, yang mulai menjabat sebagai Gubernur DKI pada Oktober 1997, kembali maju sebagai Gubernur Jakarta pada 2002.
Setelah reformasi yang ditandai dengan jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, Sutiyoso mampu mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur untuk periode kedua, 2002 - 2007. Padahal kala itu, PDIP di bawah kepemimpinan Megawati menjadi partai pemenang pemilu.
Di bawah kepemimpinannya, sejumlah perubahan terjadi di Jakarta. Proyek angkutan massal transjakarta menjadi 'karyanya' yang dikenal hingga kini.
Sutiyoso juga menerima sejumlah penghargaan atas inisatifnya dalam memimpin Jakarta.
Penghargaan 2006 Asian Air Quality Management Champion Award dari Clear Air Initiative for Asian Cities (CAI) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dianugerahkan kepadanya atas Gagasan pembangunan Bus Rapid Transit (BRT) terbesar di Asia melalui Busway Penerbitan Perda Nomor2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Gelar pahlawan pengelolaan kualitas udara di Asia diberikan dengan pertimbangan berhasil dalam mengembangkan angkutan umum TransJakarta (busway) yang mengurangi emisi gas kendaraan bermotor di Jakarta.
Pembentukan fasilitas umum busway meniru sistem Bus Rapid Transportation (BRT) di Bogota (Kolombia) dan menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang mempunyai Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Perda 2/2005).
Penghargaan serupa diberikan kepada Direktur Jenderal Pengendalian Polusi Departemen Lingkungan Hidup Thailand Supat Wangsongwatana, pengamat senior Lingkungan Hidup Badan Kerjasama Pembangunan Internasional Swedia Sara Stenhammar, dan seorang hakim di Lahore (Pakistan) Hamid Ali Shah.
Usai menjadi Gubernur, Sutiyoso memilih Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia sebagai tempat berlabuh. Ia menjadi Ketua Umum pada 2010 menggantikan Meutia Hatta hingga sekarang.
Gagal melenggang ke Senayan pada pemilu 2014, PKPI yang diketuai Sutiyoso memilih merapat ke Koalisi Indonesia Hebat yang dimotori PDIP untuk mendukung Jokowi sebagai Presiden.