Jakarta (Antara Babel) - Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sudah dianggap sangat baik dalam menjaga citra lembaga pemberantas korupsi ini.
Kendati demikian, terdapat satu pasal dalam ketentuan tersebut yang dianggap memiliki celah dan menyimpan bom waktu.
Adalah pasal 32 ayat (2) Undang Undang KPK yang dianggap oleh para pimpinan nonaktif KPK dan sejumlah pakar hukum tata negara, telah menyimpan celah yang mampu menimbulkan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, bahkan bom waktu yang mampu meledakkan kerja-kerja besar KPK.
Adapun Pasal 32 ayat (2) UU KPK menyebutkan "Dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya."
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra menyebutkan bahwa kententuan a quo tidak menyebutkan batasan kategori jenis tindak pidana kejahatan apa saja yang dapat dijadikan syarat untuk diberhentikannya pimpinan KPK secara sementara.
Saldi menyebutkan bahwa ketentuan ini memiliki potensi untuk menimbulkan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, terutama ketika melaksanakan tugas dalam memberantas korupsi.
Maka diperlukan batasan kategori pemilahan jenis tindak pidana kejahatan yang menjadi alasan pemberhentian sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Perlu ada pemilahan mengenai jenis tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh Pimpinan KPK sehingga dia harus berhenti sementara atau mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai tersangka," ujar Saldi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakara, Rabu (10/6).
Hal itu dikatakan Saldi saat memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan oleh Bambang Widjojanto selaku pemohon dari uji materil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Menurut Saldi pemilahan ini diperlukan sebagai ruang untuk tetap bertahan dengan jabatannya hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Pemilahan ini tidak bermaksud untuk menurunkan standar moral yang harus dimiliki oleh Pimpinan KPK," ujar Saldi.
Dia kemudian menjelaskan bahwa pemilahan ini semata-mata untuk mencegah agar kerja-kerja pemberantasan korupsi tidak diganggu oleh suatu tuduhan melakukan tindak pidana umum yang belum tentu dapat didukung bukti-bukti permulaan yang cukup.
Hal ini menurut Saldi perlu dilakukan untuk memastikan dapat menutup celah hukum yang terdapat dalam norma hukum KPK tersebut.
"Jadi celah hukum ini tidak disalahgunakan untuk menyerang balik upaya-upaya membersihkan lembaga-lembaga penegak hukum dari praktik korupsi," ucap Saldi.
Saldi juga menyebutkan bahwa dengan menyadari kelemahan yang terkandung dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK, maka tidak ada pilihan lain kecuali menutupnya.
"Pilihan tersebut mesti diambil untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi masa yang akan datang," imbuh Saldi.
Upaya menutup kelemahan dimaksud bukan dalam bentuk membatalkan keberadaan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang KPK, melainkan dengan cara memberikan penafsiran tersebut.
Sementara terkait dengan batasan, Saldi menyebutkan bahwa langkah pembatasan berkisar pada penentuan secara tegas ruang lingkup, waktu, serta jenis tindak pidana kejahatan yang dapat dijadikan dasar atau alasan untuk memberhentikan sementara Pimpinan KPK.
Meskipun secara keseluruhan UU KPK sudah dianggap sangat baik dalam menjaga citra KPK, namun celah dalam pasal 32 ayat (2) dikatakan Saldi juga menyimpan bom waktu yang membahayakan KPK.
"Bom waktu itu akan menjadi aktif saat langkah pemberantasan korupsi diarahkan pada lembaga penegak hukum," tandas Saldi.
Dia melanjutkan bahwa dengan kewenangan penyidikkan yang dimiliki kepolisian sebagai penegak hukum, misalnya, ketentuan tersebut memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan untuk mengganggu KPK.
"Caranya sederhana, dengan alasan hukum yang sangat mungkin dicari-cari, menetapkan Pimpinan KPK sebagai sebagai tersangka," ungkap Saldi.
Dibatalkan
Sependapat dengan Saldi, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiariej bahwa tanpa adanya batasan atau kualifikasi jenis tindak pidana yang tercantum dalam pasal a quo, maka ketentuan tersebut memiliki muatan yang menunjukkan adanya tindakan diskriminatif terhadap KPK.
"Oleh karena itu, Pasal 32 ayat (2) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi harus dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku," kata Eddy di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (10/6).
Diskriminasi yang dimaksud oleh Eddy adalah perbedaan pengaturan pemberhentian KPK dengan pejabat lain seperti Presiden, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, atau Kepala Daerah dari jabatannya, baik secara sementara ataupun secara tetap.
"Kalau ada seorang Pimpinan KPK yang tidak memberi makan cukup kepada binatang peliharaan, apakah dia harus diberhentikan dari jabatan sementara sebagai Komisioner Pimpinan KPK," ucap Eddy.
Dia kemudian menjelaskan bahwa perlakuan terhadap binatang tersebut diatur dalam Pasal 302 KUHP dengan ancaman pidana tiga bulan, dan dikualifikasikan sebagai kejahatan.
Eddy menambahkan bahwa pasal tersebut bisa tidak dibatalkan asalkan ada tafsir atau batasan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam aturan tersebut.
Adapun kualifikasi tindak pidana yang sesuai untuk kasus ini menurut Eddy adalah, kejahatan korupsi, terorisme, pelanggaran HAM, narkotika, serta segala tindak pidana yang diancam dengan hukuman lebih dari 10 tahun penjara.
Pasal 32 ayat (2) Undang Undang KPK ini dipermasalahkan di muka pengadilan Mahkamah Konstitusi, ketika dimohonkan oleh Wakil Ketua KPK non-aktif Bambang Widjojanto yang menganggap bahwa norma tersebut bersifat diskriminatif, sebab hanya pimpinan KPK yang harus diberhentikan sementara dari jabatannya bila menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana.
Bambang yang mengajukan gugatan tersebut ke MK menilai bahwa Pasal 32 telah melanggar amanat dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terkait dengan asas praduga tak bersalah.
Dia juga berpendapat bahwa Pasal 32 UU KPK tidak menyebutkan secara rinci tindak pidana seperti apa serta waktu terjadinya tindak pidana yang dapat membuat pimpinan KPK diberhentikan.
Oleh sebab itu Bambang meminta Mahkamah untuk mengeluarkan putusan sela yang meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk tidak melakukan pelimpahan perkara dugaan tindak pidana yang dituduhkan kepada para petinggi KPK tersebut.