Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dan DPR hanya memiliki dua tahun untuk membenahi Undang-Undang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 25 November 2021.
Apabila pemerintah dan DPR gagal melakukan perbaikan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dalam kurun waktu dua tahun, maka undang-undang tersebut akan menjadi inkonstitusional secara permanen.
Durasi dua tahun bukanlah merupakan waktu yang lama bagi para penyusun undang-undang untuk melakukan perbaikan. Nyatanya, batasan waktu tersebut akan menjadi tantangan bagi Pemerintah dan DPR dalam hal tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam proses penyusunan undang-undang.
Kurangnya keterbukaan informasi kepada publik dalam penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja telah menjadikan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai dokumen rahasia yang harus dijauhkan dari jangkauan publik, sebagaimana yang tercantum dalam permohonan Para Pemohon yang terlibat dalam Uji Materi Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi.
Kurangnya keterbukaan informasi terkait proses penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja mengakibatkan rendahnya tingkat partisipasi publik dalam prosesnya.
Padahal, asas pembentukan undang-undang yang tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan telah mengharuskan asas keterbukaan dalam membentuk undang-undang.
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Permasalahan tersebut juga merupakan salah satu pertimbangan hukum bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ketika membuat putusan terkait Undang-Undang Cipta Kerja dan menyatakan bahwa undang-undang tersebut inkonstitusional bersyarat.
Menjadikan asas keterbukaan sebagai salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan merupakan bukti bahwa keterbukaan informasi publik dalam pembuatan undang-undang merupakan hal yang esensial.
Keterbukaan Informasi
Komisioner Komisi Informasi Pusat Romanus Ndau Lendong menekankan bahwa asas efektivitas dan asas efisiensi tidak boleh menjadi dalih bagi para penyusun undang-undang untuk tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui substansi apa saja yang diatur di dalam suatu undang-undang, serta memiliki hak untuk terlibat dalam penyusunan undang-undang, khususnya melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).
Ketika memberi keterangan, DPR menyampaikan bahwa Badan Legislasi DPR telah melakukan RDP/RDPU sebanyak delapan kali dengan berbagai pemangku kepentingan terkait untuk mendapatkan masukan dalam rangka pembahasan RUU Cipta Kerja yang melibatkan pakar, lembaga pendidikan, asosiasi, seperti Dewan Pers, AJI, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kamar Dagang Indonesia (KADIN), hingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Menurut Romanus, jumlah RDPU yang dilakukan oleh Badan Legislasi DPR masih terlalu sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta penduduk. Oleh karena itu, ia memandang bahwa wajar saja masyarakat merasa keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja sangatlah rendah.
“Undang-Undang Cipta Kerja ini tragedi,” kata Romanus.
Penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja yang terkesan begitu tergesa-gesa sehingga ‘tidak sempat’ melibatkan seluruh elemen masyarakat dengan maksimal mengakibatkan undang-undang ini harus melalui uji materi ketika baru saja melalui proses perundangan.
Romanus berpandangan, apabila masyarakat telah terlibat dan didengarkan oleh para penyusun undang-undang dengan intens sedari awal, maka undang-undang ini dapat bertahan lebih lama.
Keterbukaan informasi publik dan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh berbagai negara demokrasi. Sistem ini mendorong pemerintah untuk terus bertanya dan mengajak masyarakat berpartisipasi dalam segala tindakan yang memiliki keterkaitan dengan keberlangsungan negara.
Proses demokrasi, tutur Romanus, memang membutuhkan energi yang banyak dan waktu yang tidak kalah banyak. Akan tetapi, pelaksanaan proses demokrasi yang tepat dapat menciptakan keputusan terbaik yang mengakomodasi kepentingan berbagai elemen bangsa.
Tantangan revisi UU Cipta Kerja
Waktu yang sempit dengan perbaikan yang begitu banyak merupakan tantangan utama bagi para penyusun undang-undang. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Romanus, proses demokrasi membutuhkan waktu yang banyak.
Pemerintah bersama DPR harus merangkul dan mendengarkan berbagai masukan dari seluruh elemen masyarakat terkait perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja dalam waktu dua tahun. Selain mendengarkan masukan, para penyusun undang-undang juga harus menyelaraskan seluruh kepentingan yang mereka peroleh dari RDPU.
Tidak hanya durasi waktu yang terbatas, ekspektasi dari para investor asing serta masyarakat Indonesia terhadap perubahan Undang-Undang Cipta Kerja juga akan memberi tekanan bagi para penyusun undang-undang.
Meskipun demikian, baik dari pihak Pemerintah maupun DPR telah menyatakan kesanggupan mereka untuk menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi dan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan para menteri koordinator dan para menteri terkait untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi secepatnya. Ketua DPR RI Puan Maharani juga telah menyatakan kesiapan DPR untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan kewenangan konstitusional DPR.
Tentu saja, baik para penyusun undang-undang maupun masyarakat, berharap agar perubahan Undang-Undang Cipta Kerja tidak menimbulkan polemik lainnya.
Oleh karena itu, persiapan yang matang, keterbukaan informasi, dan pelibatan publik yang maksimal harus menjadi prioritas para penyusun perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja dalam waktu dua tahun.