Jakarta (Antara Babel) - Mantan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 1 tahun kurungan dalam kasus suap dan gratifikasi.
Vonis itu dijatuhkan Ketua Majelis Hakim Artha Theresia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, karena Sutan dinilai terbukti bersalah menerima suap senilai 140 ribu dolar AS dan gratifikasi berupa 200 ribu dolar AS dan 1 unit tanah dan bangunan seluas 1.194 meter persegi di Kota Medan, Sumatera Utara.
"Menyatakan terdakwa Sutan Bhatoegana terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama primer dan kedua lebih subsider dan menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider 1 tahun kurungan," kata Artha Theresia.
Putusan tersebut lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta Sutan divonis 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik selama 3 tahun.
Majelis hakim yang terdiri dari Artha Theresia, Casmaya, Syaiful Arif, Alexander Marwata dan Ugo itu juga tidak meluluskan permintaan jaksa agar Sutan dicabut hak politiknya.
"Mengenai hak dipilih, majelis hakim tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum KPK karena untuk menjadi anggota legistlatif tergantung kepada rakyat di daerah yang memilihnya," ungkap hakim Ugo.
Vonis tersebut berdasarkan dakwaan pertama primer berasal dari pasal 12 huruf a UU No 31 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai penerimaan suap dan dakwaan kedua lebih subsidair yaitu pasal 11 UU No 31 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat (1) KUHP mengenai penerimaan gratifikasi.
"Hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang tengah gencar-gencarnya memberantas korupsi dan bertentangan dengan slogan-slogan anti korupsi yang selalu digembar-gemborkan terdakwa. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya, berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak mencerminkan perilaku sebagai mantan anggota DPR yang terhormat. Hal yang meringankan, terdakwa adalah kepala keluarga yang masih punya tanggungan," kata anggota majelis hakim Ugo.
Dalam dakwaan pertama, Sutan dinilai terbukti menerima uang 140 ribu dolar AS (sekitar Rp1,6 miliar) dari mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno terkait pembahasan dan penetapan asumsi dasar migas APBN-Perubahan tahun Anggaran 2013, pembahasan dan penetapan asumsi dasar subsidi listrik APBN-P tahun anggaran 2013 dan pengantar pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran-Kementerian dan Lembaga (RKA-KL) APBN-P tahun anggaran 2013 pada Kementerian ESDM dalam rapat kerja Kementerian ESDM dengan Komisi VII.
Pemberian itu diawali dengan pertemuan Sutan dengan Waryono Karno yang ditemani ditemani mantan Kabiro Keuangan Kementerian ESDM Didi Dwi Sutrisnohadi dan Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Kementerian ESDM Ego Syahrial di Restoran Edoginn Hotel Mulia Senayan pada 27 Mei 2013 dengan Waryono meminta Sutan mengawal rapat kerja sehingga dapat diatur.
Keesokan harinya pada 28 Mei 2013, Rudi Rubiandini selaku Kepala SKK Migas saat itu pun menyuruh sekretarisnya Tri Kusuma Lidya untuk mengantarkan "paper bag" berisi uang ke gedung Setjen Kementerian ESDM. Tri menyuruh staf SKK Migas bernama Hermawan dan di gedung Setjen ESDM, Hermawan bertemu Hardiono yang selanjutnya Hardiono menyerahkan uang itu kepada Didi Sutrisnohadi.
Waryono Karno menetapkan pembagian uang tersebut adalah 7.500 dolar AS masing-masing kepada 4 pimpinan Komisi VII, 2.500 dolar AS kepada 43 anggota Koomisi VII dan 2.500 dolar AS bagi Sekretariat Komisi VII. Uang kemudian dimasukkan ke dalam amplop putih dengan kode di bagian pojok kanan atas dengan huruf "A" artinya Anggota, "P" artinya Pimpinan dan "S" artinya Sekretariat.
Uang lalu diambil oleh staf Sutan bernama Iryanto Muchyi yang selanjutnya pergi ke gedung Nusantara DPR di Senayan dan menyerahkan paper bag kepada ajudan Sutan bernama Muhammad Iqbal.
Saat Iqbal membawa paper bag ke ruang kerja Sutan, Sutan berkata, "Jangan di sini, nanti dilihat orang. Bawa ke mobil," sehingga Iqbal menelepon supir Sultan, Casmadi" dan memasukkan "paper bag" berisi amplop pecahan dolar AS itu ke mobil Alphard milik Sutan.
"Terbukti penyerahan uang dari Waryono Karno tidak secara langsung ke terdakwa tapi jelas ada peralihan dari pemberi yaitu dari Waryono Karno selaku Sekjen ESDM yang sumber uangnya adalah Rudi Rubiandini selaku kepala SKK Migas kepada penerima Iryanto Muchyi, Muhammad Iqbal dan Casmadi dan dibawa ke mobil terdakwa sesuai kehendak terdakwa. Sehingga terdakwa menerima hadiah secara tidak langsung tapi melalui Iryanto Muchyi, Muhammad Iqbal dan Casmadi sehingga unsur menemrima hadiah atau janji terpenuhi dan ada dalam perbuatan terdakwa," kata anggota majelis hakim Syaiful Arif.
Pemberian uang itu menurut majelis hakim itu masih dalam satu rangkaian peristiwa dari pertemuan di restoran Endogin, Hotel Mulia agar Sutan mengendalikan rapat di DPR.
"Tidak perlu juga benar-benar terjadi perbuatan terdakwa sebagai anggota DPR dalam rapat pembahasan mengikuti kehendak Waryono Karno namun cukup fakta uang diberikan ke sutan dengan dimaksudkan waryono Karno untuk melakukan atau tidak melakukan apa ada dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," tegas hakim Syaiful Arif.
Sedangkan dakwaan kedua, majelis hakim hanya menilai ada dua jenis gratifikasi yang diterima oleh Sutan yaitu uang tunai 200 ribu dolar AS dari Rudi Rubiandini melalui mantan anggota Komisi VII Tri Yulianto pada 26 Juli 2013 dan menerima satu unit tanah dan bangunan di Jalan Kenanga Raya No 87 Tanjungsari kota Medan dari Saleh Abdul Malik selaku Komisaris PT SAM Mitra Mandiri melalui istrinya Unung Rusyatie.
"Terbukti bahwa terdakwa pada 26 Juli 2013 menerima uang 200 ribu dolar AS dari Rudi Rubiandini selaku Kepala SKK Migas melalui Tri Yulianto di toko buah All Fresh Jalan MT Haryono dan pada 5 Oktober 2013 menerima 1 unit tanah dan bangunan seluas 1.194 meter persegi di Jalan Kenanga Raya No 87 Tanjungsari kota Medan dari Saleh Abdul Malik selaku Komisaris PT SAM Mitra Mandiri melalui istrinya Unung Rusyatie," kata angota majelis hakim Ugo.
Sedangkan dua penerimaan lain yang didakwakan oleh jaksa yaitu penerimaan satu unit mobil Toyota Alphard 2.4 AT Tipe G warna hitam dari Dikretur PT Dara Trasindo Eltra Yan Achmad Suep dan Rp50 juta dari Menteri ESDM 2011-2014 Jero Wacik, dinyatakan tidak terbukti.
"Berkaitan dengan penerimaan 1 unit Toyota Alphard dari Yan Acmad Suep adlaah jual beli dan dibayar terdakwa senilai Rp900 juta sesuai dengan harga mobil, sehingga bukan merupakan hadiah atau perbuatan yang melanggar hukum. Berkaitan dengan menerima uang Rp50 juta dari Jero Wacik selaku Menteri ESDM melalui waryono Karno harus dinaytakan tidak terbukti secara hukum karena tidak cukup bukti secara hukum," tambah hakim Ugo.
Majelis mengaku pada awalnya percaya bahwa pemberian rumah dari Saleh Abdul Malik merupakan bentuk persahabatan antara Sutan dan Saleh, namun ternyata Saleh membuat surat kuasa kepada istri Sutan, Unung Rusyatie dengan tanggal mundur.
"Terdakwa pada 5 Oktober 2013 menerima satu unit rumah dari Saleh Abdul malik harusnya dianggap oleh majelis hakim terkait dengan jabatannya, meski pada awalnya hakim dapat menerima hubungan persahabatan terdakwa dan Saleh, tapi ada surat kuasa dari Saleh Abdul Malik kepada istri terdakwa yang dibuat tanggal mundur karena berdasarkan keterangan saksi ahli dari Peruri bahwa meterai yang digunakan belum dicetak pada tanggal surat tersebut, sehinga majelis berpendapat rumah diberikan oleh Saleh karena berhubungan dengan jabatan terdakwa," ungkap hakim Ugo.
Atas putusan tersbut, hakim Artha langsung menutup persidangan bahkan tidak memberikan kesempatan Sutan dan penasihat hukumnya menanggapi putusan.