Jakarta (ANTARA) - Dokter dari Divisi Kesehatan Reproduksi Departemen OBGYN FKUI-RSCM dr. Achmad Kemal Harzif, SpOG(K) menyarankan kaum hawa tak meremehkan nyeri haid terutama memberat dalam beberapa waktu karena bisa jadi itu tanda endometriosis.
"Jangan meremehkan nyeri. Buat yang pernah mengalami nyeri haid sering dianggap biasa. Disuruh segera menikah dan mempunyai anak. Padahal belum tentu itu semua menyelesaikan masalah," ujar dr. Achmad Kemal dalam Virtual Media Briefing bertema Peluncuran pedoman tatalaksana diagnosis klinis" secara daring, Selasa.
Endometriosis terjadi ketika jaringan yang membentuk lapisan dalam rahim juga tumbuh di luar rahim. Kondisi itu dapat tumbuh pada organ lain di dalam panggul atau perut dan bisa menyebabkan perdarahan, infeksi dan nyeri berupa rasa sakit, kram dan perasaan terbakar.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2021 menyebut, prevalensi endometriosis sebagai penyakit kronik progresif dengan rasa nyeri tinggi yang diderita oleh hampir 10 persen perempuan usia reproduktif di seluruh dunia. Di Indonesia, prevalensi umum masalah kesehatan ini berkisar antara 3 - 10 persen, terutama pada perempuan dalam usia reproduksi.
Obat penghilang nyeri sebagai salah satu senjata mengatasi nyeri bila konsisten digunakan memang tak banyak memberikan efek negatif. Tetapi, bila ternyata pasien mengalami endometriosis lalu tidak terdiagnosis maka obat hanya menghilangkan gejala tetapi tidak mengatasi masalah penyakitnya.
Kemal mengatakan pentingnya evaluasi nyeri dan mengobatinya agar pasien bisa beraktivitas seperti biasa. Dalam hal ini pemeriksaan atas kondisi nyeri menjadi saran. Di sisi lain, juga perlu ada upaya menilai risiko pasien nyeri dengan endometriosis.
Nyeri haid dikaitkan dengan peningkatan risiko terkena endometriosis sebesar 8 kali lipat. Darah haid yang banyak berisiko 4 kali lipat pada peluang endometriosis, sementara bila ada gangguan kesuburan meningkat 8 kali lipat kemungkinan endometriosis.
Pada kasus kista, maka kemunginannya terkena endometriosis sebanyak 7 kali lipat. Di sisi lain, nyeri perut diluar haid berpeluang 5 kali lipat dan apabila ada gangguan senggama hampir 7 kali lipat risiko untuk ditemukannya endometriosis dibandingkan pasien tanpa keluhan tersebut.
"Apabila nyeri haid disertai gangguan kesuburan, gangguan senggama harus segera memikirkan kemungkinan endometriosis, supaya bisa ditemukan dalam kondisi masih awal," saran Kemal.
Riwayat keluarga juga memiliki risiko yang meningkat terhadap kemungkinan seorang perempuan terkena endometriosis sebesar dua kali lipat dibandingkan anak perempuan dari ibu tanpa endometriosis.
"Sebaiknya periksa memang faktor risiko yang menjadi panduan kita. Kalau memang punya riwayat ibu didiagnosis endometriosis, mungkin pada usia puber sebaiknya diperiksa. Kemudian, apabila ada infertilitas, perutnya seperti terasa membesar atau nyeri haid semakin memberat itu bisa menjadi clue pertama pasien bisa datang ke dokter untuk periksa," demikian saran Kemal.
Jadi, upaya yang bisa dilakukan dalam menghadapi nyeri haid yakni tidak meremehkan nyeri, mempertimbangkan kemungkinan endometriosis terutama apabila pasien sampai pada keluhan yang sangat berat. Setelahnya, disarankan melakukan pemeriksaan lengkap oleh dokter.