Jakarta (Antara Babel) - Anggota Komisi VII dari fraksi PAN Daerah Pemilihan Papua Jamaluddin Jafar mengaku, rekan sekomisinya dari fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo mengajukan proyek listrik di Deiyai Papua pada rapat Komisi VII 8 April 2015.
"Jadi, saya pemeriksaannnya sebagai saksi terkait dengan saya dapil saya. Kebetulan pada tanggal 8 April itu ada rapat kementerian secara terbuka dan karena ada dapil saya, maka saya respon. Itu dukungan spontan. Dia (Dewie) itu menyampaikan kepada saya menyebut dapil saya. Saya akan dihukum apabila tidak merespon untuk dapil saya," kata Jamaluddin seusai diperiksa KPK sekitar 8 jam di gedung KPK Jakarta, Kamis.
Jamaluddin diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Dewie Yasin Limpo yang menjadi tersangka kasus dugaan penerima suap terkait proyek pembangkit listrik tenaga mikrohiduro (PLTHMH) di kabupaten Deiyai Papua tahun anggaran 2016.
Rapat tersebut dilakukan pada 8 April 2015 yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VII Mulyadi yang juga dihadiri oleh Menteri ESDM Sudirman Said beserta jajarannya.
"Saya itu mengikuti sudah jalan itu rapat, saya masuk di tengah. Setelah dia (Dewie) sebut, saya tidak tahu itu usulan dari mana tapi dia sebut. Ibu Dewie sebagai anggota DPR dia sebut dulu Kalimantan, Sulawesi baru sebut Papua. Setelah disebut Papua kan marah orang Papua kalau saya tidak merespon itu untuk perbaikan," tambah Jamaluddin.
Respon Jamaluddin terhadap usulan Dewie tersebut adalah di kabupaten Deiyai memang ada potensi listrik seperti Danau Paniai.
"Subtansi tugas DPR, yaitu pengawasan legislasi dan penganggaran," ungkap Jamaluddin.
Namun Jamaluddin tidak tahu mengenai respon dari Menteri ESDM.
"Saya tidak tahu (respon Menteri ESDM), tanya ke kementrian apakah ada. Saya tidak ada komunikasi. Beliau (Sudirman Said) tidak menjawab, saya juga bertanya pada waktu itu. Saya hanya beri masukan pada daerah Deiyai berpotensi," jelas Jamaluddin.
Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi mengatakan bahwa KPK terus mengembangkan kasus tersebut.
"Kebutuhannya untuk didengar keterangannya. Kasus ini masih akan dikembangkan ke arah siapa saja yang menerima selain yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu juga siapa saja yang memberi," kata Johan.
Johan juga mengatakan pihak dari Kementerian ESDM akan diperiksa dalam kasus tersebut.
"Kalau dari ESDM tentu akan diperiksa kalau keterangannya diperlukan," tambah Johan.
Dewie Yasin Limpo ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh petugas KPK di bandara Soekarno Hatta, Tangerang pada 20 Oktober 2015 lalu.
Dewie beserta asistennya Bambang Wahyu Hadi dan sekretaris pribadinya bernama Rinelda Bandaso diduga menerima suap dari pengusaha PT Abdi Bumi Cendrawasih bernama Setiadi dan Kepala Dinas ESDM Deiyai bernama Irenius Adi. Setiadi dan Irenius ditangkap petugas KPK di satu rumah makan di kawasan Kelapa Gading Jakarta Utara.
Suap diberikan untuk memuluskan proyek PLTMH yang bernilai sekitar Rp250 miliar rupiah agar masuk di APBN 2016. Saat penangkapan ditemukan uang 177.700 dolar Singapura yang merupakan bagian pemberian pertama sebesar 50 persen dari nilai "commitment fee".
Bambang, menurut KPK berperan aktif seolah-olah mewakili Dewie dengan Rienelda untuk menentukan nilai komitmen sebesar 7 persen dari total proyek.
Proyek itu merupakan bagian dari proyek unggulan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) yang diluncurkan pada 4 Mei lalu.
Dewie, Bambang dan Rinelda disangkakan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
KPK juga menjerat Irenius dan Iriadi dengan pasal pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Dewie ditahan di rumah Tahanan Pondok Bambu sedangkan Bambang ditahan di rutan Detasemen Polisi Militer Guntur sedangkan Rinelda, Setiadi dan Irenius ditahan di rutan gedung KPK.