Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI (Purn) Agus Supriatna untuk diperiksa sebagai saksi di Gedung KPK, Jakarta, pada Kamis (15/9).
"Informasi yang kami terima, tim penyidik sudah berkirim surat panggilan kedua kepada saksi Agus Supriatna, purnawirawan TNI, untuk hadir pada Kamis (15/9) di Gedung Merah Putih KPK," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Selasa.
KPK memerlukan keterangan Agus dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI AU tahun 2016-2017, yang menjerat tersangka Irfan Kurnia Saleh (IKS) selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG).
Oleh karena itu, kata Ali, KPK mengimbau agar saksi Agus kooperatif untuk hadir memenuhi kewajiban hukum.
"Kami meyakini saksi dimaksud, selaku warga negara yang baik, akan taat memenuhi panggilan sebagai saksi oleh penegak hukum. Silakan hadir dan jelaskan di hadapan tim penyidik KPK jika memang merasa panggilan tidak sesuai dengan ketentuan UU," jelasnya.
Ia juga menegaskan KPK tentu memiliki landasan hukum untuk memanggil saksi sebagai kebutuhan proses penyidikan.
"Agar perbuatan tersangka menjadi jelas, sehingga perkara ini segera kami bawa ke persidangan untuk memberikan kepastian hukumnya," tambahnya.
Sebelumnya, KPK telah memanggil Agus dan purnawirawan TNI Supriyanto Basuki pada Kamis (8/9). Namun, keduanya tidak hadir memenuhi panggilan.
"Informasi yang kami peroleh, keduanya tidak hadir. Kami akan jadwal ulang dan mengimbau agar para saksi kooperatif hadir sesuai jadwal panggilan yang suratnya segera kami kirimkan. Keterangan kedua saksi ini dibutuhkan dalam proses penyidikan sehingga menjadi lebih jelasnya perbuatan para tersangka," kata Ali saat itu.
KPK menahan Irfan pada Selasa (24/5) usai ditetapkan sebagai tersangka pada Juni 2017. KPK menduga perbuatan tersangka Irfan mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar.
Atas perbuatannya, tersangka Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.