Jakarta (ANTARA) - Dalam dua pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 di India dua pekan terakhir, invasi Rusia di Ukraina mendominasi diskusi antara 20 negara besar di dunia itu.
Seperti pada akhir pertemuan para menteri keuangan G20 sepekan sebelumnya, pertemuan tingkat menteri luar negerinya pun tak mencapai konsensus mengenai perang di Ukraina.
Pada 25 Februari di Bengaluru, Menteri Keuangan India, Nirmala Sitharaman, mengatakan Rusia dan China meminta dua paragraf dalam rancangan komunike bersama para menteri keuangan G20 di India itu agar dihapus.
Dua paragraf itu berasal dari Deklarasi Bali 2022 yang salah satu kalimatnya menyatakan "sebagian besar anggota mengutuk keras perang di Ukraina." Rusia dan China meminta kalimat ini dihapus.
Sebaliknya, negara-negara Barat mengancam tak akan menyepakati apa pun jika tak ada pernyataan soal perang di Ukraina.
Akhirnya, pertemuan para menteri keuangan G20 di India itu pun berakhir tanpa menghasilkan komunike, hanya menghasilkan risalah rapat.
Situasi itu terulang sepekan kemudian dalam akhir pertemuan para menteri luar negeri G20 yang dilangsungkan di New Delhi pada 2 Maret.
Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya sekuat tenaga memanfaatkan forum ini sebagai panggung untuk mengisolasi Rusia. Sebaliknya, Rusia sekuat tenaga berlindung dalam baju G20 sebagai forum ekonomi untuk berkelit dari isolasi Barat.
India tak mau berada di salah satu pihak, tetapi tak mau menutup mata bahwa situasi geopolitik memang memengaruhi forum-forum global apa pun, termasuk G20.
India sendiri kerap abstain ketika PBB mengeluarkan resolusi menyangkut Ukraina. Sikap ini bukan berarti India mendukung Rusia, tapi bukan pula berpihak kepada Barat.
Setahun lalu di New York, Wakil Tetap India di PBB, TS Tirumurti, bahkan mengingatkan semua negara harus mematuhi Piagam PBB dan menghormati hukum internasional, integritas teritorial dan kedaulatan negara lain. Namun, India menolak definisi Barat mengenai tatanan dunia, termasuk dalam konteks perang Ukraina.
Sejak merdeka pada 1947, India konsisten menawarkan prakarsa-prakarsa membentuk tatanan dunia yang lebih adil, selain berada di garis depan dalam memajukan multipolarisme.
Prakarsa-prakarsanya nyaris selalu orisinal dan nyaris tak menunjukkan "ada udang di balik batu" sehingga tak memperlihatkan ambivalensi antara membentuk tatanan baru tapi sebenarnya berusaha menghegemoni negara lain yang tak berbeda dari tatanan lama yang hendak dikoreksi.
Cenderung pasifis
Dibandingkan dengan negara-negara besar lainnya, India tak memiliki kisah pernah menganeksasi atau berbuat usil di teritori negara lain.
Mereka memang pernah beberapa kali berperang dengan Pakistan, tetapi tak pernah menjadi pihak pertama yang menyerang, bahkan cenderung pasifis.
Dukungannya terhadap gerakan antikolonialisme dan anti-imperialisme lebih asli dengan tak menggunakannya sebagai selubung untuk menjadi kekuatan hegemoni terhadap yang lain yang dibuktikan oleh catatannya yang tak pernah menganeksasi daerah-daerah berdaulat di dekatnya.
Sebaliknya, India acap memprakarsai forum-forum multilateral dan memerangi ketidakseimbangan global. Semasa pandemi COVID-19 India bahkan menciptakan vaksin COVID-19 yang membuat negara miskin yang tak memiliki akses ke vaksin ini bisa mendapatkan vaksin tersebut.
Pembelaan India terhadap ketidakadilan global sering hanya mengandalkan dialog, tanpa pamer kekuatan militer atau tekanan ekonomi secara terselubung.
Pada 1955, pemimpin mereka, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, adalah inisiator Konferensi Asia Afrika bersama Presiden Indonesia Soekarno.
Namun, Nehru selalu mendahulukan dialog sehingga melambangkan India yang pasifis yang mempromosikan perjuangan anti-imperialisme dengan damai, seperti dianjurkan pemimpin besar mereka, Mahatma Gandhi.
Nehru pula yang memprakarsai Gerakan Non Blok pada 1961, bersama Soekarno, Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan Presiden Ghana Kwame Nkrumah.
Lain hal, kendati berbatasan langsung dengan Nepal, Buthan, Bangladesh, dan Myanmar, India hampir tak pernah menyerobot lahan negara-negara yang posturnya lebih kecil itu.
India memang berkonflik dengan Pakistan, terutama menyangkut Jammu dan Kashmir, atau dengan China, juga di Kashmir dan Ladakh. Tetapi, India kerap bukan pihak yang memulai, melainkan hampir selalu dalam posisi defensif.
Jika ada negara besar yang teruji konsisten menentang kolonialisme, membela kemerdekaan dan kedaulatan nasional, tanpa pernah mengusili dan apalagi menganeksasi wilayah negara-negara tetangganya, maka India adalah jawabannya.
Tetapi India kini sedang diuji dalam posisinya sebagai ketua forum G20. Mereka dipaksa untuk berpihak, tetapi sejauh ini terus menolak.
Krisis dalam multilateralisme
Mereka setuju dua paragraf dalam rancangan komunike bersama G20 India yang dicomot dari Deklarasi Bali agar dihapus, tetapi juga memahami keberatan Barat, sehingga dua pertemuan tingkat menteri G20 pun berakhir tanpa komunike bersama.
Sebagai negara yang menjunjung kedaulatan nasional yang lain, India tak bisa membenarkan manuver Rusia di Ukraina. Sebaliknya, sebagai negara yang menjadi korban kolonialisme, India tak bisa begitu saja bersisian dengan mereka yang dulu penganjur berat kolonialisme.
Mungkin diam-diam India ingin segera mengakhiri kepemimpinan dalam G20 yang masuk fase penuh tantangan, kalau bukan disebut sial, akibat tingkah Rusia di Ukraina.
Forum yang seharusnya memajukan perdagangan dan ekonomi global itu malah lebih disibukkan oleh masalah perang, ketika dunia dibelit oleh krisis pasokan, krisis energi dan hantu inflasi.
Namun, seperti diutarakan Perdana Menteri Narendra Modi, India mengakui forum-forum seperti G20 tak bisa menghindarkan dari dinamika geopolitik, termasuk konflik Ukraina.
Di sini, India mengajak para pemimpin Barat, Rusia dan China agar realistis bahwa mereka tak mungkin berpandangan sama alam soal Ukraina. Oleh karena itu, mesti ada kompromi untuk perbedaan yang semakin tajam itu.
"Kita tak boleh membiarkan masalah yang tak bisa kita tangani bersama, menutupi masalah-masalah yang bisa kita tangani bersama," kata Modi merujuk isu ketahanan pangan dan energi, perubahan iklim, dan utang, yang semestinya dipedulikan G20.
India juga menggarisbawahi keadaan akut di Ukraina telah membuat multilateralisme berada dalam krisis, sehingga G20 harus mencari landasan bersama dan pedoman agar krisis dan perang tak lagi terjadi di masa depan.
Keketuaan India dalam G20 masih panjang. Namun, sepanjang perang di Ukraina belum selesai, selama itu pula keketuaan India dalam G20 diganggu oleh isu itu.
Ketika pihak-pihak yang bertikai sudah mengeluarkan begitu banyak hal untuk perang itu, maka konflik di Ukraina makin sulit didamaikan, oleh forum semacam G20 sekalipun.
Namun demikian, semoga saja India menemukan formula untuk mengakhiri konflik itu.
Jika tidak, dunia mungkin hanya bisa berharap agar Rusia dan Ukraina serta sekutunya menyadari bahwa konflik itu tak bisa dimenangkan oleh siapa pun dan malah merugikan semua pihak yang berperang, seperti Perang Iran-Irak pada 1980-1988.
Mungkin dalam skenario seperti itu perang di Ukraina segera berakhir, sehingga G20 bisa kembali mengurusi dunia agar tak lagi jatuh dalam krisis dan membantu masyarakat miskin global keluar dari segala kesulitan.
Berita Terkait
Presiden ajak para pemimpin G20 aksi nyata lindungi bumi
9 September 2023 16:53
India ingin belajar kesuksesan Indonesia dalam penyelenggaraan G20
23 Maret 2023 12:14
Bertemu Sergey Lavrov di India, Antony Blinken minta Rusia akhiri perang di Ukraina
3 Maret 2023 21:23
Menlu G20 gagal capai konsensus tentang perang Rusia-Ukraina
3 Maret 2023 13:29
Isu perang Rusia-Ukraina jadi pusat perhatian dalam pertemuan para menlu G20 di India
1 Maret 2023 18:25
India tidak ingin G20 bahas sanksi tambahan untuk Rusia
22 Februari 2023 19:32
Hari ini India memulai Presidensi G20
2 Desember 2022 16:00
Indonesia menutup KTT G20 dan menyerahkan kepemimpinan ke India
16 November 2022 15:24