Phnom Penh (ANTARA) - Sambil duduk di boks nomor lintasan lari, Susan berteriak keras mengeluarkan kecemasannya sebelum perlombaan dimulai. Meski matanya tertutup oleh penutup mata, masih terlihat jelas air mukanya yang khawatir. Sesekali Susan menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan.
Di sampingnya, berdiri Ridwan yang mengenakan rompi berwarna hijau menyala. Dia menggoyang-goyangkan kakinya sebagai persiapan untuk ikut berlari bersama Susan.
Susan Unggu adalah pelari tuna netra, dan Ridwan Adi Satria Marta yang berada di sampingnya adalah pendamping pelari atau guide runner bagi Susan.
Pada perlombaan para-atletik nomor lari 400 meter putri klasifikasi T11 di ASEAN Para Games ke-12 di Stadion Nasional Morodok Techo Kamboja, Ridwan menuntun Susan untuk meletakkan kedua kakinya di start block, alat bantalan kaki untuk memulai lari. Setelahnya, Ridwan membetulkan posisi tangan Susan agar sempurna dalam memulai perlombaan.
Usai memperhatikan semuanya siap, baru Ridwan bersiap-siap pada start block miliknya, tepat di samping Susan. Kemudian Ridwan mengaitkan satu jari tangan kanannya pada tali pendek yang juga terkait dengan satu jari tangan kiri Susan. Begitu suara pistol tanda dimulainya perlombaan meletus, keduanya berlari sekencang-kencangnya, sambil kedua jari mereka berkaitan oleh tali pendek.
Keduanya fokus berlari, sambil Ridwan memandu Susan untuk terus berada di lintasannya, dan sesekali mengucapkan beberapa patah kata kepada Susan yang sedang berupaya lari sekuat tenaga. Kata-kata motivasi untuk menambah semangat biasanya disampaikan oleh Ridwan kepada Susan untuk terus bisa berjuang sampai garis finis.
Usai perlombaan sprint satu putaran lintasan lari itu selesai, Susan terduduk kelelahan di lintasan. Ridwan menarik tangan Susan agar bangkit berdiri, dan memapahnya menepi ke pinggir lintasan.
Susan meraih perak pada perlombaan itu. Di nomor lari 200 meter putri T11, Susan Unggu juga mendapatkan perak.
"Saya dengan Susan sudah dua tahun lebih. Jadi kita tahu karakternya," kata Ridwan, kepada ANTARA.
Setiap pelari tuna netra memiliki guide runner secara individu. Pendamping lari itu adalah orang yang paling dekat dengan atlet para-atletik dengan keterbatasan dalam penglihatan. Guide runner seperti Ridwan, adalah mata bagi pelari tuna netra seperti Susan.
Tentu saja hubungan antara Ridwan dan Susan tidak berhenti di lintasan lari. Mereka terkadang bepergian bersama untuk saling bisa memahami, agar timbul rasa percaya dari atlet kepada pendampingnya. Bahkan Ridwan tahu kapan Susan sedang senang, ataupun tengah memendam suatu masalah yang bisa mempengaruhi performanya saat latihan.
Begitulah pentingnya peran pendamping bagi pelari tuna netra. Selain sebagai penunjuk jalur lintasan yang harus dilalui, juga merangkap pemberi semangat sekaligus tempat menampung segala perasaan dari atlet lari tuna netra.
Berbeda atlet cabang olahraga para games yang berbeda-beda keterbatasannya, lain pula cara mendampinginya. Wisnu Primaastama, misalnya, dia adalah pelatih salah satu atlet unggulan cabang olahraga boccia, Gischa Zayana.
Boccia adalah cabang olahraga yang hanya ada di paralimpiade atau para games. Seluruh pemain boccia adalah orang dengan keterbatasan khusus, yaitu penyandang cerebral palsy (CP) yang menggunakan kursi roda.
Cerebral palsy merupakan gangguan fungsi otak yang mempengaruhi fungsi otot, gerak, dan koordinasi tubuh, sehingga membuat seseorang tidak bisa menggunakan anggota tubuh sebagaimana mestinya.
Wisnu sebagai pelatih sekaligus pendamping Gischa harus ekstra sabar saat menemani atlet boccia andalan Indonesia itu dalam latihan atau saat berlangsungnya pertandingan. Gischa baru berusia 18 tahun, emosinya masih belum stabil sebagaimana anak-anak yang baru beranjak dewasa.
Pada pertandingan final boccia nomor individu putri klasifikasi BC2, Gischa menangis di tengah pertandingan saat hampir kalah dari lawannya Nguyen Nhat Uyen dari Vietnam.
Pada jeda ronde, Wisnu menghampiri Gischa di tengah lapangan. Menekuk lutut sebelah kakinya untuk menyamakan pandangan dengan gadis berjilbab tersebut, kemudian mengusap air mata Gischa yang berada di balik kaca mata.
"Jangan menyerah dulu, jangan menangis, pertandingan belum selesai," kata Wisnu saat menyampaikan kata-kata penyemangat di tengah pertandingan kepada Gischa.
Gischa akhirnya menang pada laga final itu dan mendapatkan emas pertamanya pada kejuaraan ASEAN Para Games. Capaian tertinggi Gischa sebelumnya hanya sampai medali perak yang dia dapatkan saat ASEAN Para Games ke-11 di Solo Indonesia pada tahun lalu.
Wisnu harus pandai-pandai dalam mengatur irama latihan dan berkomunikasi dengan Gischa, mengingat emosinya yang mudah sekali jatuh ketika tertekan. Dia mendampingi dan melatih Gischa dengan penuh kelembutan agar gadis kelahiran Lampung tahun 2005 itu bisa mengeluarkan potensinya yang terpendam.
Bagi Wisnu, Gischa adalah anak yang cerdas. Dia tergolong atlet BC2 female yang skill-nya paling komplit.
Medis dan psikologis
Selain pendamping dan pelatih yang begitu dekat dengan para atlet, ada pula tim medis dan psikologis para atlet yang turut berperan penting dalam perjalanan meraih medali emas atlet para games.
Sebagaimana halnya para atlet non-disabilitas, peran tim medis juga begitu penting pada puncak performa atlet penyandang disabilitas. Dokter dan fisioterapis harus bersiap sedia pada setiap laga cabang olahraga, untuk berjaga-jaga apabila atlet membutuhkan pertolongan medis.
Di cabang olahraga para-atletik, khususnya nomor lari, tim medis paling banyak bekerja untuk menolong atlet disabilitas yang kelelahan, kram, bahkan hampir pingsan karena kehabisan napas usai berlomba.
Terlebih untuk atlet para games yang kondisi fisiknya memang terjadi gangguan, sehingga tidak bisa disamakan dengan kondisi fisik dan performa atlet non-disabilitas.
Salah seorang fisioterapis dari tim medis Indonesia Amalia Nur Azizah mengatakan sebenarnya tidak ada perbedaan dalam penanganan medis antara atlet non-disabilitas dengan atlet penyandang disabilitas. Keduanya sama-sama membutuhkan perawatan pada otot-otot yang paling banyak digunakan saat pertandingan, agar selanjutnya bisa segera digunakan lagi untuk pertandingan berikutnya.
Memang riwayat medis yang berpengaruh pada kondisi fisik dari seorang atlet para games kerap kambuh usai berlaga. Karena memang sebelumnya sudah ada riwayat cedera, sehingga yang sering terjadi adalah cedera yang telah dialami sebelumnya.
Tidak hanya dari segi fisik, pendampingan para atlet disabilitas juga sangat dibutuhkan dari sisi psikologis. Secara umum, kompetisi olahraga memang bukan hanya sekadar mengadu keahlian fisik para pemainnya, jauh dari itu ada kekuatan mental para pemain yang sangat mempengaruhi permainan dari para atlet.
Salah satu pendamping psikologis para atlet penyandang disabilitas Indonesia, Febriani Fajar Ekawati berperan untuk membantu atlet mengatasi kecemasannya pada sebelum, saat pertandingan, hingga usai menjalani laga.
Febriani memiliki andil untuk mengusir jauh-jauh kekhawatiran dan tekanan atlet sebelum bertanding, agar mereka bisa mengeluarkan performa terbaiknya tanpa ada beban di sepanjang laga.
Tanpa peran orang-orang di sekeliling atlet para games itu, belum tentu seorang atlet bisa menampilkan performa terbaiknya. Dari kejuaraan olahraga penyandang disabilitas ASEAN Para Games 2023 yang diselenggarakan di Phnom Penh Kamboja, Indonesia berhasil menjadi juara umum dengan mengumpulkan jumlah medali emas, perak, dan perunggu terbanyak dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya.