Bondowoso (ANTARA) - Seorang guru di satu sekolah menengah tingkat atas yang lokasinya di desa bertanya pada murid-muridnya, kapan mereka merasakan dipeluk dan dicium oleh orang tua masing-masing.
Si guru sempat bingung, karena tidak ada satu pun anak yang mengacungkan tangan. Para murid pun juga terlihat bingung. Mungkin mereka merasa aneh dengan pertanyaan si guru.
Si guru kemudian mengubah pola pertanyaannya, dengan menunjuk langsung beberapa anak satu per satu. Baru siswa itu mau bercerita.
"Lupa saya, Bu. Kayaknya tidak pernah dicium," kata murid pertama.
"Kayaknya waktu masih TK dulu, Bu, setelah itu tidak pernah," kata murid lainnya.
Seorang murid yang membuat si guru terhibur, memberikan jawaban, "Sebulan yang lalu, Bu."
Pada jawaban murid pertama dan kedua, si guru merasa heran sehingga muncul pertanyaan lanjutan, "Masak sih tidak pernah?"
Untuk jawaban murid ketiga, si guru bertanya lagi, yakni dalam momen apa si siswa itu dicium oleh ibunya.
Si murid ketiga menjawab saat dia sakit. Ia dicium ibunya saat dirawat di sebuah puskesmas.
Si guru akhirnya sadar bahwa lingkungan sosial tempat asal murid-muridnya itu tumbuh berbeda dengan sistem sosial yang dialami si guru.
Di lingkungan perdesaan, lebih khusus pada budaya tertentu--katakanlah sebagian budaya di Madura--memeluk dan mencium anak yang sudah besar menjadi semacam "pantangan". Lebih-lebih apabila pelukan dan ciuman pada anak itu dilakukan oleh ayah terhadap anak gadisnya atau ibu pada anak jejakanya.
Di lingkungan sosial tertentu, biasanya ketika anak sudah menginjak SMP atau SMA, orang tua mulai membuat jarak fisik dengan anak-anaknya.
Beda dengan di perkotaan yang terbiasa dengan interaksi cipika-cipiki, di desa, perilaku seperti itu menimbulkan rasa risih.
Mantan Ketua Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK) Sekolah Menengah Kejuaraan (SMK) Kabupaten Bondowoso Evy Yulistiowati mengaku sering kali menemukan fakta bahwa pada umumnya murid-murid yang berasal dari perdesaan mengalami kurangnya sentuhan fisik dari orang tuanya ketika si anak sudah masuk pada fase remaja.
Selain lingkungan sosial yang melatarbelakangi si anak, tampaknya pendidikan orang tua juga berpengaruh pada kebiasaan melakukan sentuhan fisik terhadap anak. Dengan tingkat pendidikan, seperti hanya lulus SMP, mereka tidak banyak menerima informasi mengenai manfaat memberikan pelukan dan ciuman kepada anaknya.
Dalam satu pelatihan mengenai pola asuh yang baik untuk anak dengan peserta guru-guru sekolah menengah kejuruan, menunjukkan bahwa para peserta sudah memiliki pemahaman mengenai manfaat dua perlakuan tersebut pada anak.
Para guru itu umumnya terbiasa mencium anak-anaknya setiap hari meskipun si anak sudah besar, bahkan sudah kuliah.
Terkait peluk cium dari orang tua terhadap anak, secara psikologis, banyak sekali manfaatnya untuk perkembangan jiwa anak yang juga sebagai generasi penerus.
Peluk cium dari orang tua akan membawa jiwa si anak merasa damai dan rasa percaya dirinya juga akan tumbuh. Dengan seringnya mendapatkan pelukan dan ciuman dari orang tuanya, anak merasa sangat diterima dan dihargai oleh lingkungan atau sosial, sedangkan anak-anak yang minder biasanya mengalami perlakuan kurang mengenakkan dari orang tua sehingga si anak merasa kurang diterima oleh keluarganya.
Dengan pelukan dan ciuman itu, hakikatnya, si orang tua sedang mengisi tangki kasih pada jiwa si anak agar selalu penuh. Anak-anak yang bermasalah di sekolah atau lingkungan sosial tempat tinggal, biasanya karena tangki kasihnya tidak terisi, bahkan defisit. Mereka berulah karena ingin mencari perhatian dari lingkungan, baik teman, guru maupun orang tua.
Berbeda dengan itu, anak-anak yang interaksi fisik begitu dekat dengan orang tua, tangki kasihnya selalu penuh, sehingga tidak perlu atau tidak ada dorongan untuk mencari perhatian orang lain dengan cara-cara yang menyimpang. Tentu, interaksi fisik ini juga harus digerakkan oleh jiwa kasih dan sayang yang tulus dari orang tua.
Pelukan dan ciuman dari orang tua guna mengisi tangki jiwa anak dengan kasih dan sayang, bisa dipastikan juga berpengaruh pada prestasi si anak.
Dengan tangki kasih yang selalu penuh, anak akan mudah belajar, termasuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan lingkungan baru lainnya, sehingga potensi dirinya dengan mudah dimaksimalkan untuk dikembangkan.
Dengan memiliki jiwa yang damai dan tenang, si anak akan untuk belajar secara fokus.
Secara kesehatan, anak yang fisik dan jiwanya tumbuh secara aman dan damai juga berpengaruh pada kondisi kesehatannya. Mereka akan memiliki kekebalan tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang jiwanya kosong dari energi cinta kasih dari orang tuanya.
Secara sosial, anak-anak yang berasal pola pengasuhan yang damai, kelak akan menjadi pribadi-pribadi yang menyenangkan, si anak mudah beradaptasi di tempat mana pun. Bahkan, jika si anak memiliki bakat kepemimpinan akan lebih maksimal melaksanakan tugas mengelola organisasi yang dipimpinnya.
Kehidupan dengan segala dinamikanya memerlukan jiwa-jiwa yang tangguh. Anak yang interaksi fisik dan jiwanya dengan orang tua bagus akan tumbuh dengan persepsi diri yang bagus pula. Anak dengan persepsi diri yang bagus mudah beradaptasi dan mudah menyikapi dinamika kehidupan serumit apapun.
Peran guru
Mengubah sistem sosial tentu tidak mudah, termasuk mengubah pola berpikir orang tua dengan kebiasaan mulai menjaga jarak dengan anaknya ketika si anak dianggap sudah besar.
Penulis pernah menjumpai seorang ibu yang diminta mempraktikkan mencium anak lelakinya yang sudah mahasiswa. Butuh perjuangan lama bagi si ibu untuk melaksanakan proses yang sangat mungkin dianggap aneh itu.
Meskipun bukan tanggung jawab guru secara langsung untuk mengubah budaya ini, guru dapat mengambil peran dengan memberikan pemahaman kepada murid bahwa dia perlu akrab dengan orang, baik akrab dalam berkomunikasi maupun dalam dalam interaksi fisik.
Guru, misalnya, memberikan tugas kepada siswa untuk meminta maaf kepada orang tua sambil mencium tangan dan dilanjutkan dengan memeluk dan mencium pipi orang tua.
Tugas itu harus dilakukan oleh siswa, sehari satu kali dan berturut-turut, minimal selama sepekan. Jika satu pekan berhasil, murid disuruh melanjutkan satu pekan lagi, demikian seterusnya, hingga menjadi kebiasaan.
Dengan inisiatif dari anak, lama-lama orang tua akan menjadi terbiasa dan selanjutnya tidak risih lagi untuk memeluk dan mencium anaknya.
Memeluk dan mencium anak mungkin sebagai langkah kecil, namun memiliki dampak besar untuk menyiapkan generasi muda yang jiwanya matang dan lapang untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.