London (ANTARA) - Pemilihan umum Belanda pada Rabu menghasilkan kemenangan yang mengejutkan bagi Partai untuk Kebebasan yang dipimpin politisi sayap kanan Geert Wilders.
Partai tersebut memenangi 34 dari 150 kursi parlemen, berdasarkan perhitungan suara yang telah mencapai 98 persen.
Wilders, seorang politikus sayap kanan anti-Islam, telah meningkatkan dukungan untuk partainya secara signifikan sejak 2021. Partainya, PVV, yang merupakan akronim dari Partai untuk Kebebasan, memenangi seperempat suara dalam pemilu.
Partai koalisi GroenLinks/PvdA, yang dipimpin oleh mantan komisioner Eropa Frans Timmermans, memenangi 25 kursi dalam pemilu tersebut.
Perolehan suara dari Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte, yang dikenal sebagai VDD, menurun drastis ketika partai tersebut merebut 24 kursi.
Wilders adalah politisi populis yang terkenal karena pandangannya yang anti-Islam dan anti-Muslim selama lebih dari 20 tahun. Ia dikenal karena komentar-komentarnya yang menghina Nabi Muhammad dan Al Quran.
Pada 2019, Wilders mengadakan lomba kartun untuk mengejek Nabi Muhammad setelah acaranya yang pertama dibatalkan pada 2018 karena ancaman pembunuhan.
Pemimpin fasis ini sering menggunakan platform media sosial untuk menyerang Islam. Sebuah video yang dia bagikan di X pada 2021 mendapat kecaman keras dari para pejabat Turki.
Wilders juga pernah ditolak masuk ke Inggris pada 2009 setelah dia tiba di Bandara Heathrow di London untuk menghadiri pemutaran film Fitna. Film berdurasi 15 menit tersebut dianggap sebagai film anti-Muslim yang menodai Al Quran.
Pada 2011, Wilders dibebaskan oleh pengadilan Belanda dari tuduhan ujaran kebencian karena komentarnya tentang Islam dan seruan pelarangan Al Quran. Namun, pada 2020, ia dihukum karena menghina orang Maroko.
Setelah pemilihan umum pada Rabu, Wilders mengurangi retorika anti-Islamnya yang ekstrem dan beralih untuk berfokus pada masalah-masalah yang lebih luas, seperti kekurangan perumahan dan krisis biaya hidup.
Selama kampanye pemilihannya, Wilders berjanji untuk mengambil tindakan keras terhadap Islam, termasuk menutup sekolah-sekolah Islam dan masjid-masjid.
Namun, setelah hasil pemilu pertama pada Rabu malam, dia mengatakan bahwa dia akan mematuhi hukum dan konstitusi Belanda, yang menjamin kebebasan beragama dan berekspresi.
"Penurunan jumlah pengungsi dan imigran ke Belanda akan berdampak pada berkurangnya Islamisasi di negara tersebut," kata partainya dalam propaganda pemilu.
Belanda bukan negara Islam: tidak ada sekolah Islam, Al Quran, dan masjid."
Kami ingin mengurangi hal-hal yang berkaitan dengan Islam di Belanda dan tujuan ini dapat tercapai dengan mengurangi jumlah imigran non-Barat dan memberlakukan larangan total terhadap pencari suaka."
"Larangan mengenakan jilbab di gedung-gedung pemerintah."
Wilders juga sempat berusaha mengganggu pemilihan presiden Turki pada Mei lalu, dengan meminta warga Turki di Belanda yang mendukung Erdogan untuk angkat kaki dari Belanda.
Dalam manifesto pemilunya, Wilders menyerukan referendum untuk menentukan apakah Belanda harus meninggalkan Uni Eropa, yang memicu perdebatan tentang masa depan negara itu dalam blok tersebut.
Dia juga berjanji akan berhenti menerima para pencari suaka di Belanda dan menolak semua migran yang mencoba memasuki negara itu di perbatasan.
Pendukung Israel
Wilders juga merupakan pendukung setia Israel dengan sikapnya yang anti-Palestina. Politisi sayap kanan ini mengusulkan agar Belanda memindahkan kedutaan besarnya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan menutup pos diplomatik Belanda di Ramallah, Palestina.
Wilders, yang menikah dengan seorang diplomat Hongaria-Yahudi, menghabiskan beberapa tahun masa mudanya di pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan Palestina, di mana ia mulai mengembangkan pandangan anti-Islamnya.
Sumber: Anadolu