Jakarta (Antara Babel) - Kabar bahagia dibebaskannya 10 orang warga negara Indonesia dari peristiwa penyanderaan oleh kelompok bersenjata di Filipina bagian selatan, seperti baru tersiar kemarin.
Perasaan itu pun semakin sempurna ketika empat orang warga Indonesia, yang masih disandera ketika 10 WNI bebas, juga berhasil dipulangkan dalam keadaan sehat dari lokasi yang sama.
Namun, sekitar sebulan setelah kabar positif tersebut, pada Juni 2016, terdengar lagi kabar bahwa tujuh anak buah kapal (ABK) Tugboat Charles 001 dan Tongkang Robby 15 asal Indonesia kembali diculik dan ditahan oleh kelompok bersenjata, diduga bagian dari Abu Sayyaf, di kawasan Filipina Selatan.
Belum lagi mereka dapat diselamatkan, pemerintah kembali menerima "pukulan" lain, tiga warga Tanah Air yang berada di kapal berbendera Malaysia disergap oleh milisi dan, lagi-lagi, diketahui dibawa ke wilayah Filipina Selatan.
Daerah yang meliputi Laut Sulu dan Laut Sulawesi sekaligus berbatasan dengan dua negara, Indonesia dan Malaysia ini memang dianggap salah satu daerah rawan ancaman tindakan kriminal.
Beberapa negara seperti Inggris Raya pun sudah mewanti-wanti warganya seperti yang tercantum dalam laman resminya. Mereka menyatakan ada "ancaman tertentu" di sana, terutama di sekitar Pulau Mindanao, Kepulauan Sulu dan di daerah sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi dengan target orang-orang asing yang beraktivitas di sana, termasuk dengan kapal.
Namun, pemerintah Inggris Raya menegaskan bahwa kejahatan di sana tidak hanya dilakukan oleh kaum teroris, tetapi juga bisa dilakukan oleh kaum "oportunistis".
Indonesia juga telah melakukan hal yang sama. Pemerintah secara resmi telah memberlakukan jeda atau moratorium sementara pengiriman batu bara dan larangan lalu lintas kapal di wilayah Filipina selatan seperti di sekitar Zamboanga dan Sulu.
Sayangnya, ini kerap kali dilanggar. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana sempat menyatakan alasan ekonomi lazim menjadi penyebab mengapa pelanggaran moratorium kerap terjadi.
"Kejadian penyanderaan terus berulang karena memang di sana itu 'jalur neraka'. Namun, repotnya, biasanya pemilik kapal dan nakhoda tidak taat pemerintah terhadap imbauan pemerintah demi alasan komersial," kata dia.
DPR Percaya Pemerintah
Para wakil rakyat di Senayan tidak ketinggalan memberikan kontribusi terhadap peristiwa penyanderaan tersebut. Mereka melakukan pendampingan terhadap korban dan bersamaan dengan itu menyatakan kepercayaan atas tindakan pemerintah.
Anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris mengatakan pihaknya terus memberikan keluarga korban pendampingan ke Kementerian Luar Negeri, terutama demi memperoleh informasi tentang kondisi korban di Filipina.
Pemerintah, menurut Charles, pantas untuk dipercaya dapat mengembalikan penduduk Indonesia yang dijadikan sandera. Pusat krisis yang dibentuk pemerintah bersama lembaga seperti TNI dan BIN pun diyakininya dapat memulangkan para WNI.
Sementara Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari menyatakan keprihatian atas terus berulangnya peristiwa seperti ini dan mengatakan Indonesia telah "dilecehkan".
Untuk itu dia meminta pemerintah meningkatkan peran diplomasi dengan negara-negara sahabat, agar martabat bangsa diperhitungkan oleh dunia Internasional.
Abdul sendiri mengakui hal di atas merupakan dua dari sedikit pilihan yang bisa diambil pemerintah Indonesia karena tidak mungkin negara masuk wilayah negara lain untuk melakukan pengawasan terhadap WNI.
Tidak mungkin pula, lanjut Politisi PKS tersebut, pemerintah mengawasi semua kapal di seluruh wilayah laut Indonesia dan luar negeri selama 24 jam non-setop.
Sementara itu Wakil Ketua Badan Kerja sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi Munawar berpendapat pemerintah cenderung menyelesaikan permasalahan penyanderaan secara parsial per kejadian.
Pemerintah, menurut anggota Komisi VII ini, hendaknya meingkatkan kerja sama strategis dengan pemerintah Australia dan Malaysia dan keseriusan melakukan proses negosiasi.
Tanpa Tebusan
Indonesia sendiri secara resmi menyatakan tidak pernah menggunakan uang tebusan untuk melepaskan sandera. Inilah yang membuat Rofi Munawar mendesak pemerintah kembali menyelamatkan WNI dengan perundingan.
Sistem diplomasi seperti itu dianggap cara terbaik agar warga Indonesia tidak terus menerus menjadi korban sandera kelompok bersenjata.
"Pemerintah harus membuktikan bahwa pembebasan WNI selama ini dilakukan karena pendekatan diplomasi dan ditempuh dengan negosiasi, bukan transaksi. Negosiasi bukan hanya dengan kelompok bersenjata Abu Sayyaf, namun juga dengan pemerintah Filipina agar lebih serius," kata Rofi.
Pendapat ini pun diamini pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana yang meminta jangan ada uang dan tindakan militer dalam proses penyelamatan WNI.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu mengatakan operasi militer dapat menimbulkan dampak buruk jika seandainya di masa depan penyanderaan terhadap WNI kembali terjadi.
Indonesia, ujar Hikmahanto, bisa dianggap sebagai musuh yang harus diperangi oleh kelompok bersenjata tersebut. Akibatnya, jika dikemudian hari ada lagi WNI yang disandera, selain jadi umpan untuk mendapatkan uang, mereka dikhawatirkan bisa langsung dibunuh.
Dia menyarankan agar dalam perundingan, Indonesia tidak diwakili oleh pejabat tinggi negara seperti Presiden atau menteri, tetapi cukup dari Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri. Sebab keterlibatan orang-orang paling penting di Indonesia akan membuat penyandera semakin senang karena mendapat perhatian besar.
Pengamat terorisme dan intelijen Wawan Purwanto juga memberikan pendapatnya. Supaya terhindar dari tindakan kriminal laut internasional, penulis buku "Terorisme Undercover" itu meminta perusahaan dan praktisi pelayaran menghindari wilayah rawan.
Wawan berharap para pelaut memilih jalur-jalur netral demi keselamatan sebab Indonesia tidak bisa melakukan apa-apa secara langsung jika pencegatan dan penyekapan sandera sudah masuk ke wilayah teritorial negara lain.