Jakarta (Antara Babel) - Sejak berlakunya Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 pada tanggal 2 Maret maka sampai saat ini pemerintah Indonesia telah membebaskan visa kunjungan kepada 169 negara.
Perpres Nomor 21/2016 itu merupakan salah satu paket kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Kementerian Pariwisata menjadi pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan yang ditelurkan Jokowi-JK secara bertahap mulai Perpres Nomor 104/2015, Perpres Nomor 69 Tahun 2015, hingga Perpres Nomor 21/2016.
Paket kebijakan terakhir tersebut diyakini bakal memuluskan upaya Kemenpar dalam merealisasikan target mendatangkan 12 juta wisatawan mancanegara pada 2016 atau meningkat dibandingkan target 2015 yang hanya 10 juta wisman.
Beragam kegiatan promosi dan atraksi pariwisata digeber untuk mengimbangi kebijakan tersebut.
Kemenpar bukan hanya menyelenggarakan atraksi di beberapa objek wisata, melainkan juga menggelar pameran di sejumlah negara.
Tidak tanggung-tanggung Kemenpar menggelontorkan dana Rp3 triliun untuk biaya pengenalan objek wisata di Indonesia, selain Bali, dan wisata halal ke mancanegara.
Bahkan dengan tambahan 45 negara yang mendapatkan bebas visa kunjungan sebagaimana Perpres Nomor 21/2016, Menteri Pariwisata Arief Yahya merasa yakin Indonesia akan menerima tambahan sekitar satu juta wisatawan.
Kalau rata-rata pengeluaran wisatawan sebesar 1.200 dolar AS perorang, maka dalam setahun ada tambahan pemasukan dari wisatawan asing sebanyak 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp13 triliun.
Dengan demikian, maka devisa yang dihasilkan dari 12 juta wisman sepanjang 2016 diproyeksikan sebesar Rp172 triliun.
Kontribusi pariwisata terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional juga diperkirakan meningkat menjadi lima persen dengan jumlah lapangan kerja yang diciptakan menjadi 11,7 juta tenaga kerja.
Lain Kemenpar, lain pula dengan Kementerian Ketenagakerjaan yang ketar-ketir menyikapi kebijakan yang dikeluarkan di tengah para tenaga kerja Indonesia harus berjuang keras meningkatkan daya saingnya menghadapi perdagangan bebas barang dan jasa sebagai implementasi dari Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Pada Februari 2016, Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri marah besar mendapati salah satu perusahaan di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, mempekerjakan puluhan tenaga kerja asing asal China.
Perusahaan tambang tersebut sebelumnya mengajukan izin kerja hanya untuk dua warga negara Tirai Bambu itu.
Namun faktanya, jumlah warga negara ekonomi terbesar kedua di dunia yang bekerja di perusahaan itu mencapai puluhan orang.
Di tengah kemarahan Menaker, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) menyodorkan data bahwa jumlah tenaga kerja asing asal Indonesia mencapai 10 juta orang.
Sebuah angka yang fantastik, jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja Indonesia di sejumlah negara yang jauh di bawah angka itu.
Salah Siapa?
Tentu saja pemerintahan Jokowi-JK ogah disalahkan atas membanjirnya tenaga kerja asing, terutama asal China, yang sangat berpotensi menutup peluang rakyat yang berjuang keras mendapatkan lapangan kerja.
"Semua kebijakan itu ada positif dan negatifnya. Kebijakan kita memperluas bebas visa tentu agar turis bertambah. Tapi orang yang masuk atas nama turis juga sepertinya ada efeknya," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla menjawab pertanyaan wartawan mengenai dampak buruk bebas visa itu di Jakarta, Jumat (5/8).
Lebih lanjut Kalla menjelaskan bahwa hal itu bisa diatasi dengan tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan imigrasi.
"Tugas polisi dan imigrasi untuk menangkap orang yang mengaku turis, tapi dia bekerja atau melakukan kegiatan ilegal. Dosanya 'dobel' (ganda), melakukan kejahatan dan memakai visa turis untuk melakukan kejahatan," ujarnya.
Namun buru-buru Kalla menolak data Aspek Indonesia tersebut. "Pastilah ada penyalahgunaan visa itu. Tapi tidak sampai jutaan seperti yang diberitakan," katanya.
Demikian pula dengan Menaker yang tidak yakin dengan data Aspek Indonesia.
Bahkan dia menganggap Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat salah kutip bahwa angka 10 juta itu bukan jumlah pekerja asing asal China, namun jumlah wisman yang akan masuk Indonesia.
Terlepas dari polemik atas karut-marutnya persoalan tersebut, fakta mengejutkan datang dari seorang warga negara China yang baru saja menginjakkan kakinya di Indonesia pada awal pekan lalu.
Pria berusia 36 tahun bermarga Wang mengaku telah dikenai pungutan liar di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta.
"Tadinya saya beri 10, namun dikembalikan dan meminta 50," ujar pria yang bekerja di salah satu perusahaan teknologi informasi di Shanghai itu.
Menurut dia, oknum petugas imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta meminta uang dalam bentuk RMB (mata uang China) pecahan 50 hanya dengan menunjukkan uang kertas yang diambilnya dari dalam laci.
"Jadi, petugas itu tidak bicara, ketika saya kasih 10 RMB. Dia mengambil uang pecahan 50 RMB dari lacinya," katanya yang pada saat itu langsung menyodorkan selembar 50 RMB tanpa diberi kuitansi.
Wang merupakan salah seorang warga yang negaranya termasuk mendapatkan bebas visa kunjungan selama 30 hari.
Kedatangannya ke Jakarta pun tanpa dimintai keterangan oleh petugas imigrasi.
"Saat memeriksa paspor saya, dia langsung minta uang tanpa dimintai keterangan untuk apa saya datang ke Jakarta," ujarnya di Jakarta, Sabtu (6/8) malam.
Sementara itu, kebijakan bebas visa yang diambil Pemerintah Indonesia itu berbeda dengan pemerintah Taiwan.
Meskipun berancang-ancang membebaskan visa bagi delapan negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan, Presiden Tsai Ing-wen tidak serta-merta memberlakukan paket kebijakan baru itu.
Indonesia termasuk salah satu negara yang menurut rencana akan diberikan bebas visa kunjungan selama 30 hari oleh pemerintah Taiwan sebagaimana Tsai sebut dengan "New Southbound Policy".
Namun tingginya angka pekerja migran ilegal asal Indonesia yang mencapai 23 ribu atau sekitar 45 persen dari keseluruhan pekerja asing ilegal di Taiwan, mengakibatkan pemerintahan Tsai menunda kebijakan tersebut.
Pada 1 Agustus 2016, Taiwan baru mengumumkan bebas visa bagi pemegang paspor Brunei dan Thailand.
Kedua negara tersebut melengkapi dua negara anggota ASEAN lainnya yakni Singapura dan Malaysia, yang terlebih dulu mendapatkan bebas visa ke Taiwan.
Sepertinya Indonesia perlu belajar kepada Taiwan agar setiap kebijakan tidak menimbulkan kerugian, terutama bagi rakyat yang dilanda kesulitan ekonomi seperti saat ini.