Jakarta (Antara Babel) - Usianya sudah 86 tahun, badannya kecil, ramping, gerak-geriknya enerjik, lincah. Suaranya terdengar jelas. Wajah janda lansia tanpa anak itu tampak putih bersih, sinar matanya menyala terang. Secara keseluruhan, penampilannya "cantik" dan sehat, kecuali kemampuan pendengarannya. Harap, maklum, "cantik" dan sehatnya orang tua.
Orang-orang memanggilnya Mama Hajah Ustadzah Hanayah. Rumahnya di depan kuburan. Di samping kiri rumahnya ada bangunan untuk majelis taklim Maskanatul Fikriyah (Pengajian untuk mengasah pikiran). Sebelahnya lagi kantor RW (Rukun Warga), lalu masjid.
Kuburan, majelis taklim, pos layanan warga masyarakat dan masjid menyatu melingkupinya. Rumah dan pekarangannya yang tidak terlalu luas tampak bersih, tertata rapi. Karena tidak punya anak keturunan, rumah dan pekarangan itu sudah diwakafkan. Konon, nilainya sekitar Rp. 14 miliar.
Mama Hanayah, saya memanggilnya Uwak Hana, dikenal sebagai guru mengaji di kalangan ibu-ibu. Ia masih sering menjadi imam shalat. Bacaan doanya terdengar jelas, nyaring, dan lafalnya baik dan benar. Ia menguasai bahasa Arab, bahasa Al Quran. Ia mampu menulis risalah, termasuk bahan kutbahnya, dalam bahasa Arab.
Sebagai orang tua dan yang dituakan, orang-orang sekitar menggelarinya "Tukang sembur anak-anak". Maksudnya, tukang mendoakan anak-anak yang menderita sakit. Doanya semua berasal dari Al Quran dan Hadits Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Syariat (sarana) nya hanya air putih untuk diminum setelah "didoain" (dibacakan doa). Tidak ada bau klenik sama sekali.
Mama Hanayah tidak memungut biaya apa pun alias gratis. Pasiennya turun-temurun. Dulu anak-anak yang pernah diobatinya, sekarang sudah menjadi ibu atau bahkan nenek. Mereka membawa anak dan cucunya ke Uwak Hana juga. Ia buka praktek pelayanan setiap Jumat, mulai pukul 9 pagi sampai selesai. Puluhan anak-anak dibawa ke Uwak setiap Jumat.
Para peserta pengajian seluruhnya perempuan, mulai gadis sampai nenek-nenek, dari segala kalangan, mulai pembantu rumah tangga, pedagang kecil asongan sampai ibu-ibu "gedongan" atau kelas menengah ke atas. Peserta juga tidak dipungut bayaran, bahkan sebalikya disiapkan makanan dan minuman gratis. Setiap usai pengajian mereka "ngariyung" (makan sambil mengobrol bersama).
Penasaran, ingin tahu alamat rumahnya? Ustadzah Hj Hanayah, Jl Ciputat Raya, Gang Muyassarin Nomor 12, RT 001/01, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Sekitar 10 meter dari rel kereta api Pasar Kebayoran Lama, dari arah Ciputat langsung belok kiri. Di ujung gang berdiri masjid besar Muyassarin.
"Merdeka" sesungguhnya
Ketika Republik Indonesia diproklamasikan 17 Agustus, 1945, usia Wak Hana baru 15 tahun. Menurut foto yang tergantung di dinding rumahnya, ia dulu seorang gadis rupawan. Suaminya adalah seorang guru, sudah lama meninggal dunia.
Hidup menjanda seorang diri tidak membuatnya merana. Ia mengabdikan hidupnya untuk kebaikan sesama, di antaranya menjadi guru pengajian dan "tukang sembur". Dari garis nenek moyangnya, ia keturunan ulama, berdarah Ternate dan Palembang. Wak Hana mensyukuri jalan hidupnya.
"Saya sudah merdeka sesunguhnya", katanya, seraya menambahkan, ia merasa tidak kekurangan apa pun karena semuanya sudah dicukupi Allah. Jadi, ia mengisi setiap saat hari-harinya dengan ibadah, berdzikir, shalat Sunnah, membaca Al Quran, mengajar dan menolong orang yang memerlukan.
Ia sudah tidak perlu apa pun. Dalam ungkapan Jawa, ia sudah "mungkur ing kadonyaan" (sudah membelakangi kehidupan duniawi). Dalam bahasa politik kontemporer, ia sudah selesai dengan dirinya sendiri, sudah tidak perlu tambahan harta lagi dengan jabatannya, sebuah syarat yang sering didengungkan untuk calon pemimpin baru.
Wak Hana dalam bahasa para pencari hakikat disebut sebagai sudah lepas dari ikatan dunia atau dalam bahasa Jawa "wis uwal saka bebandanning donya" atau sudah "fanafilah", pasrah kepada kehendak Allah.
Ia sudah tidak perlu popularitas lagi atau pujian dari sesama manusia. Pernah dua stasiun televisi yang mau mewawancarainya ditolak secara halus. Untung, saya berhasil untuk meyakinkan beliau bahwa tulisan ini bukan demi popularitasnya, tapi untuk memberi contoh, suri tauladan, tentang bagaimana seorang lansia masih tetap bermakna bagi orang banyak.
Berulangkali lewat asisten pribadinya, Bu Pia, saya jelaskan: "Yang perlu bukan Uwak, tapi kami. Ini bukan untuk riya atau pamer, tapi untuk syiar kebaikan". Untuk menjaga kesehatan beliau, sebaiknya semua yang berhubungan dengan beliau lewat Bu Pia, yang masih kerabatnya, sesama "wong Plembang".
Sesungguhnyalah, Wak tidak perlu apa-apa lagi. Kebutuhan sehari-hari, seperti beras, dan lauk pauk datang sendiri. Bahkan, tatkala cadangan belum habis, sudah datang yang baru. Oleh Uwak, bahan makanan yang berlebih itu diberikan kepada tamu-tamunya yang memerlukan.
Makanan dan minuman setiap pengajian dibawa oleh para peserta. Masing-masing membawa apa yang ia punyai. Penjual rujak, bakso, empek-empek dan kerupuk membawa sebagian barang dagangannya untuk "ngariyung". Ada juga yang membawa hasil kebun masing-masing.
Wak juga mengundang nara sumber lain sesuai keahliannya secara bergiliran untuk berbagi ilmu, termasuk Ustadzah Chodijah dari Pondok Pinang. Betul suasana pengajian majelis taklim Maskanatul Fikriyah bersifat: "dari, untuk dan oleh perempuan". Pembawa acara, penceramah, peserta dan pembaca doa semuanya wanita.
Wak Uztadzah Hajah Hanayah lebih bertindak sebagai sesepuh, pemimpin, penuntun dan pengayom. Ia telah ikut mengisi dan sekaligus menikmati kemerdekaan sesungguhnya, yakni bebas dari egonya: ikhlas, pasrah menerima apa pun kehendak Allah dengan berbuat amal jariyah untuk sesama sesuai kemampuannya.
*) Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.