Jakarta (Antara Babel) - Setiap orang pernah mengalami rasa senang (kesenangan) dan rasa susah (kesusahan). Biar gampang dan mudah diingat, sebut saja senang dan susah. Yang penting, keduanya menyangkut rasa, atau tepatnya perasaan.
Orang senang waktu apa yang diinginkannya tercapai. Sebaliknya, susah saat keinginannya tidak terwujud. Senang waktu mendapatkan sesuatu yang diharapkan, susah saat gagal memperoleh dan atau bahkan kehilangan orang atau sesuatu yang kita inginkan. Sumber pokoknya: keinginan.
Ketika senang, dunia rasanya milik sendiri dan itu ingin dipertahankan selamanya. Saat susah, sebaliknya, rasanya itu hanya menimpa diri sendiri. Ingin rasanya itu segera berakhir dan bahkan ingin mengakhiri hidupnya, karena rasanya sudah tidak tertahankan lagi.
Kedua rasa itu dialami oleh siapa saja yang sedang jatuh cinta kepada seseorang (dan mendapatkannya) dan saat putus cinta (dan kehilangan). Karena itu, muncul ungkapan: waktu terlalu singkat untuk orang yang sedang dimabuk asmara dan terlalu panjang untuk orang yang kehilangan kekasih.
Kalau diamati, kedua rasa itu sering datang dan pergi selama kita masih hidup di dunia ini. Betul kata orang bijak dulu: senang dan susah itu "sandangan" (pakaian) orang hidup. Artinya, selama orang masih hidup, keduanya masih sering bertandang.
Orang yang pernah dan sering mengalami sukses dan kegagalan, termasuk kehilangan selamanya seseorang dan atau sesuatu yang amat dicintainya, setelah proses waktu bisa mengatakan: "Ya, rasanya seperti itu". Dan, dunia pun masih terus berputar.
Senang dan susah bergantian
Kedua rasa itu, senang dan susah, bergantian, datang dan pergi. Ki Ageng Suryo Mentaram (KAS), filosof Jawa, putera Raja Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono VII, dan murid kesayangan KH Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mengatakan: "Senang tidak selamanya, susah juga tidak selamanya". Sebentar senang, sebentar susah.
Kahlil Gibran, penyair kelas dunia kelahiran Libanon, mengungkapkan: "Ketika Senang sedang bercengkerama dengan kita di dalam kamar, Susah sedang mengintip di pintu ingin masuk". Mungkin, dalam bahasa gaul anak muda sekarang: "Gantian dong!"
KAS mengajarkan "Kawruh Bejo atau Kawruh Jiwo" (ilmu bahagia atau ilmu jiwa) setelah menelisik perasaannya sendiri selama waktu yang lama dalam pengembaraan hidupnya sebagai petani di desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah.
Senang dan susah dapat muncul bergantian karena keinginan itu, menurut Ki Ageng, menganut azas "mulur-mungkret" (memanjang dan memendek). Mungkin, boleh juga disebut tegang/kencang ( memanjang, membesar-kendur (mengkerut, memendek, dan mengecil).
Contohnya, keinginan orang muda, pria dan wanita, untuk mendapatkan jodoh seideal mungkin. Masing-masing ingin mendapat yang cantik/ganteng , masih gadis/perawan/jejaka, pandai, kaya, dan setia. Semuanya, dan sekaligus.
Jika ternyata tidak dapat yang tampan/cantik, keinginan mengkerut: gak apa-apa asal masih gadis/perawan/perjaka, lalu muncul rasa senang atau bahagia. Jika yang masih perawan/perjaka juga tidak dapat, mengkerut lagi: "rapopo" ( gpp, dalam bahasa gaul medsos), asal pandai, lalu muncul bahagia. Jika yang pandai tidak dapat pula: gpp, asal kaya.
Kalau yang kaya tidak diperoleh juga: gpp, asal setia. Akhirnya, jika yang setia pun tidak didapat juga: gpp, asal masih manusia dan sama-sama mau. Perasaan bahagia bisa selalu muncul dalam setiap tahapan mengkerut.
Dalam mendapat musibah, demikian juga. Misalnya, terjadi kecelakaan, kaki seseorang terkilir. Sedih sebentar, lalu muncul perasaan masih beruntung (bejo) karena cuma terkilir, tidak patah tulang. Ternyata setelah diperiksa, tulangnya patah. Susah sebentar, lalu muncul perasaan masih beruntung: cuma kaki sebelah. Masih merasa lebih beruntung lagi: kekasihnya masih mau diajak menikah.
Kendalikan ego
Keinginan sebagai penyebab rasa senang dan susah selalu berkembang tak kenal henti. Dalam hal kepemilikan misalnya: sudah punya satu, ingin punya dua, tiga dan seterusnya.
Dalam hal popularitas: setelah terkenal di sekolah, ingin top sedesa, sekecamatan, sekabupaten/kota, provinsi, nasional, dan internasional.
Keinginan, sering juga disebut nafsu, adalah perangkat hidup manusia di dunia. Karena nafsu, manusia dan dunia berkembang maju.
Nafsu tidak harus dihilangkan, tapi perlu dikendalikan. Yang perlu dikendalikan adalah aku (ego), keinginan yang mau menang sendiri yang oleh Ki Ageng diberi nama Kromodongso (ada yang menulis Kramadangsa), sebuah nama biasa bagi petani desa.
Dalam setiap orang terdapat si Kromodongso. Entah mengapa untuk wanita, KAS tidak memakai nama Karmiyem, misalnya, juga sebuah nama perempuan desa.
KAS mengatakan, Kromodongso perlu ditelisik, dikenali, dikelola, diawasi, dan dikendalikan. Inilah yang disebut olah rasa atau manajemen perasaan.
Kromodongso (atau Karmiyem) adalah ego (aku) yang perlu diawasi oleh "Super Ego" (Aku). Keduanya ada dalam diri setiap orang. Ada yang menyebut masing-masing sebagai aku yang bisa lupa dan Aku yang selalu ingat dan sadar.
Untuk menelisik beda keduanya di dalam budaya Jawa ada yang disebut "Mawas Diri" (MD) dan "Mulat Sarira" (MS). Ada yang bilang, MS lebih dari MD.
Dengan MS seseorang dapat menemukan identitas yang terdalam sebagai pribadi (AKU), sedangkan MD adalah sarana untuk memahami keadaan diri dengan sejujur-jujurnya untuk menemukan aku (Kromodongso/Karmiyem).
KAS menyebut AKU sebagai rasa yang sudah transendental, bebas tanpa ciri (nama), sedangkan aku adalah rasa yang masih terkait dengan nama seseorang. Misalnya Kromoleyo, yang jika dipanggil akan menoleh.
MD dan MS bagi orang awam dianggap sama saja dengan instrospeksi (introspection) untuk melahirkan toleransi (tolerance), yang dalam bahasa Jawa disebut "tepo seliro". Ada yang menganggap MD masih dalam tataran ilmu, sedangkan MS sudah memasuki tataran "ngelmu" (pengetahuan makrifat). Wallahualam.
Berbuat kebaikan, atas nama agama sekalipun, harus ditelisik niat atau motifnya. Selama tujuannya masih untuk mencari pujian atau peng "aku"(Kromodongso/Karmiyem)-an tidak akan pernah ada puasnya. Bahkan, itu bisa disebut perbuatan yang menyaingi Tuhan, Allah, pemilik segala pujian.
Islam mengajarkan, semuanya harus diniatkan dan dimulai dengan ucapan "Bismillah" (irrahmaanirrahim), atas nama Allah. Tanpa pamrih atau ikhlas, semua hanya untuk Allah, yang sudah tidak perlu apapun lagi.
Buku "Kawruh Bejo Ki Ageng Suryomentaram" karya HM Nasruddin Anshory Ch dan H Jeihan Sukmantara mengutip KAS: seseorang perlu menemukan egoisme sebagai penyebab rasa celaka dan dengan menemukannya akan terlahir penyebab rasa bahagia.
Karena azas "mulur-mungkret", Ki Ageng mengatakan, tidak ada sesuatu di dunia ini yang pantas untuk dicari, dihindari dan ditolak secara mati-matian. Selalu ada ganti atau alternatifnya. Bukan sesuatu yang dicari, dihindari, dan ditolak itulah penyebab orang merasa senang dan susah selamanya. Kuncinya: olah rasa!
*Diolah dari berbagai sumber tentang KAS (dan yang berkaitan dengan ajarannya).
**Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.