Gaza (ANTARA) -
Seperti banyak warga Palestina lainnya yang berpacu melawan maut, Aseel, ibunya, dan para tetangga mereka dicekam ketakutan dan kepanikan, tidak tahu ke mana harus pergi.
Beberapa pekan yang lalu, Aseel kembali ke rumahnya setelah berbulan-bulan mengungsi, berharap untuk bisa tinggal kembali di rumah setidaknya sampai perang yang berkecamuk saat ini berakhir.
Namun, sekali lagi, anak perempuan berusia 10 tahun itu terpaksa mengungsi bersama keluarganya ke tempat yang "tidak diketahui", tanpa kepastian akan masa depan mereka di tengah-tengah pertempuran yang kian sengit antara tentara Israel dan militan Palestina di Jalur Gaza.
"Saya tidak ingin mati. Saya hanya seorang gadis kecil. Saya ingin hidup, bermain, dan menikmati hidup," kata Aseel kepada Xinhua dengan suara bergetar sambil berjalan tanpa alas kaki.
Belum sempat Aseel menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba sebuah ledakan besar mengguncang jalanan. Sambil menjerit keras, dia memanggil ibunya, badannya gemetar karena ketakutan.
Gadis kecil itu berlari dengan panik, tanpa tahu ke mana dia pergi, sampai sang paman menjemputnya, menenangkannya dengan meyakinkan bahwa ibunya dan semua orang selamat.
"Anak kecil yang ketakutan yang Anda lihat ini adalah anak yang mencintai kehidupan. Meski merasa takut, dia senantiasa mengingatkan kami bahwa kami akan bertahan hidup dan suatu hari nanti akan kembali ke kehidupan normal kami," kata Mohammed al-Sheikh Ali, paman Aseel, kepada Xinhua.
Dua jam kemudian, Aseel dan keluarganya tiba di tempat penampungan pengungsi di kamp pengungsi Jabalia.
Tentara Israel melancarkan perang berskala besar di Jalur Gaza setelah Hamas melakukan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke sejumlah kota dan tempat di Israel pada 7 Oktober 2023, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 orang lainnya.
Sejak saat itu, tentara Israel telah menewaskan lebih dari 36.200 warga Palestina dan melukai sekitar 82.000 orang lainnya di Jalur Gaza, dengan sebagian besar korbannya adalah anak-anak dan perempuan, ungkap otoritas kesehatan di Gaza.
Terlepas dari konflik yang sedang berlangsung, Aseel terus menggenggam harapan bahwa konflik tersebut akan segera berakhir dan dia akan dapat kembali ke rumah untuk bermain bersama bonekanya dan membaca buku-bukunya.
"Setelah perang berakhir, ayah dan paman-paman saya akan membangun kembali rumah kami, sementara para tetangga akan membangun sekolah dan rumah sakit. Gaza akan kembali indah, dengan tempat-tempat bermain," katanya dengan senyum penuh harap.
Ibrahim Shaath, seorang warga lainnya dari Kota Khan Younis di Gaza selatan, juga memiliki harapan yang sama agar perang segera berakhir demi meringankan penderitaan seluruh warga Palestina di Gaza.
Ibrahim (13) telah kehilangan kedua orang tuanya, dua saudara kandungnya, dan kaki kanannya dalam serangan udara Israel ke rumah mereka di Khan Younis beberapa pekan lalu
"Saya tidak mendengar ledakan atau rudal, tetapi saya merasa rumah runtuh di atas kepala saya. Awalnya, saya pikir saya sudah mati, tetapi kemudian saya mendengar suara beberapa laki-laki yang mengatakan bahwa saya masih hidup," kenang anak laki-laki itu.
Saat ini, Ibrahim sedang menjalani perawatan medis di Rumah Sakit al-Aqsa di kamp pengungsian Deir al-Balah, dan dirawat oleh kakak perempuannya.
"Meski kehilangan keluarga, rumah, dan lingkungan tempat tinggal, saya akan melanjutkan hidup saya dan mewujudkan impian saya untuk menjadi dokter, seperti yang diharapkan oleh orang tua saya, untuk melayani masyarakat di masa depan," ujar anak laki-laki itu dengan mata berkaca-kaca.
"Kami mencintai kehidupan dan ingin hidup dengan aman. Keluarga saya terbunuh hanya karena kami tinggal di Gaza, sementara anak-anak di tempat lain hidup bebas dari rasa takut, menikmati hak-hak mereka tanpa rasa cemas," katanya.
Sama Abu Zayed, seorang anak perempuan dari kamp pengungsi Al-Maghazi di Gaza tengah, juga memiliki impian yang sama. Namun tragisnya, dia tidak dapat mewujudkan impian-impiannya karena terbunuh dalam sebuah serangan Israel yang menyasar rumah keluarganya dua bulan lalu, ungkap Haniya Abu Zaida, ibunda Sama.
"Anak saya bermimpi untuk menjadi seorang pelukis suatu hari nanti. Namun, tentara Israel membunuhnya, membunuh impiannya, dan membunuh kehidupan di dalam diri saya," ujar Haniya dengan mata berkaca-kaca.
"Dosa apa yang telah dilakukan oleh anak-anak kami hingga mereka pantas menerima pembunuhan brutal seperti ini? Dan apa kesalahan kami hingga harus menanggung penindasan dan ketidakadilan ini?" tanyanya, seraya mendesak masyarakat internasional untuk menghentikan pertumpahan darah di Gaza.
Berita Terkait
Israel sengaja bom sebuah lokasi di Jalur Gaza untuk bunuh sandera
15 Desember 2024 12:53
RI desak Israel patuhi gencatan senjata di Gaza, cabut larangan UNRWA
12 Desember 2024 10:59
PBB sebut lebih dari 4.000 anak Gaza dirawat setiap bulan sejak Juli
11 Desember 2024 08:38
Relawan dokter di Gaza alami keadaan mengerikan saat pasien tiba
10 Desember 2024 11:12
Serbuan Israel di Gaza sebabkan 4.000 amputasi, 2000 cedera fatal
8 Desember 2024 12:08
AS tolak laporan amnesti yang sebut Israel lakukan genosida di Gaza
6 Desember 2024 09:22