Jakarta (Antara Babel) - KPK menggali peran Badan Anggaran (Banggar) dari keterangan Wihadi Wiyanto dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa pemberian suap pengurusan anggaran pembangunan jalan di 12 ruas di Sumatera Barat dalam APBN Perubahan tahun 2016.
"Wihadi hari ini diperiksa sebagai saksi untuk IPS (I Putu Sudiarta) dan YA (Yogan Askan). Ia sebagai anggota Komisi III tentu didalami peran apa yang dia ketahui kalau dalam kaitan dengan banggar, apakah ada yang sempat dibicarakan dengan tersangka," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Kamis.
Wihadi adalah anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Gerindra sekaligus anggota badan anggaran. Selain Wihadi, KPK juga memanggil Desrio Putra yang merupakan Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Sumbar Desrio Putro dalam perkara ini, Desrio diketahui juga berprofesi sebagai pengusaha.
Wihadi seusai diperiksa KPK tidak banyak berkomentar mengenai pemeriksaannya.
"Tadi sudah disampaikan ke penyidik," kata Wihadi seusai diperiksa di gedung KPK dan langsung masuk ke mobilnya.
Namun KPK belum membuat kesimpulan mengenai peran banggar dalam kasus tersebut, informasi awal mengenai kaitan banggar berasal dari Putu Sudiarta yang menyatakan mengenai peran banggar dalam kasus ini.
"Sampai saat ini belum bisa disimpulkan apakah ada kaitan banggar tadi dengan kasus ini tapi semua pihak yang diduga mengetahui perkara ini akan dipanggil," tambah Yuyuk, artinya termasuk anggota Komisi III yang juga anggota Banggar.
Selain anggota Banggar, KPK juga mendalami dugaan adanya pemberi suap lain.
"Ada dugaan pengusaha lain yang memberikan komitemen ke IPS. Dalam minggu ini juga ada satu pengusaha yang sudah diperiksa terkait komunikasi-komunikasi dengan YA dan IPS dan masih didalami penyidik termasuk dugaan-dugaan orang lain yang turut menyatakan komitmen dalam kasus ini," jelas Yuyuk. KPK sudah memeriksa pengusaha lain dalam kasus ini yaitu Suryadi Halim alias Tando pada 16 Agustus 2016.
Kasus ini berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 28 Juni 2016 terhadap anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Demokrat I Putu Sudiarta, Sekretaris Putu Novianti, suami Novianti Muchlis, pengusaha Suhemi, pengusaha yang juga pendiri Partai Demokrat Sumbar Yogan Askan dan Kepala Dinas Prasarana, Jalan, Tata Ruang dan Pemukiman Sumbar Suprapto di beberapa lokasi di Jakarta, Padang dan Tebing Tinggi.
KPK menyita barang bukti transfer pemberian suap senilai Rp500 juta yang sudah diberikan secara bertahap yaitu Rp150 juta, Rp300 juta dan Rp300 juta. Penyidik juga menemukan 40.000 dollar Singapura yang masih diusut peruntukannya.
Uang suap diduga terkait rencana Dinas Prasarana Tata Ruang dan Pemukiman yang akan membuat 12 ruas jalan senilai Rp300 miliar selama 3 tahun menggunakan APBN Perubahan 2016. Hal ini menimbulkan keanehan karena Putu berada dalam komisi yang tidak mengurusi soal infrakstruktur.
KPK pun menetapkan I Putu Sudiarta, Novianti dan Suhemi sebagai tersangka penerima suap dengan sangkaan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan tersangka pemberi suap adalah Yogan Askan dan Suprapto ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaan pasal pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1.
Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.