Pangkalpinang (ANTARA) - Salah satu persoalan krusial di berbagai belahan dunia saat ini adalah krisis iklim dan krisis pangan. Hasil penelitian Megatrends Watch Institute (MWI) menjelaskan bahwa ada 10 (sepuluh) megatrend yang akan mengubah lanskap global di masa yang akan datang, dua diantaranya adalah perubahan iklim (Climate Change) dan kelangkaan pangan (Resource Scarcity). Persoalan krisis iklim telah berdampak pada berbagai kehidupan masyarakat, salah satunya berdampak pada bidang pertanian yang kemudian akan mengakibatkan krisis pangan.
Fenomena krisis iklim global merupakan perubahan signifikan terhadap pola cuaca, suhu rata-rata global yang tinggi, serta hadirnya dampak ekstrim seperti banjir, kekeringan yang berkepanjangan dan naiknya permukaan air. Hal ini telah menjadi fenomena bersama di berbagai belahan dunia. Secara mendasar krisis iklim global melihat perubahan yang signifikan terhadap komposisi atmosfer yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Antarissubhi, et al., 2019).
Persoalan krisis iklim telah membawa pada persoalan yang sangat kompleks, hal ini tidak hanya berdampak terhadap lingkungan, akan tetapi juga berdampak dan mengganggu stabilitas pada bidang sosial, ekonomi, serta politik nasional dan global. Di Indonesia, krisis iklim merupakan persoalan yang sangat krusial, hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia hidup berdampingan dengan memanfaatkan potensi alam, seperti melakukan pertanian dan penangkapan ikan dengan prediksi alam, salah satu contohnya dengan menggunakan kalender musim. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di pinggir pantai juga akan terpengaruh akibat naiknya muka air laut. Tentunya krisis iklim berdampak signifikan terhadap dinamika kehidupan masyarakat Indonesia.
Krisis iklim telah menjadi momok bagi pertanian Indonesia
Krisis iklim merupakan persoalan krusial yang telah berpengaruh terhadap sektor pertanian di berbagai belahan dunia. Krisis iklim juga sangat berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia. Dilansir dari (BMKG, 2023) Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa pertanian merupakan sektor yang paling berdampak akibat adanya krisis iklim. Akibatnya produksi pertanian menurun secara signifikan yang dimana hal ini diakibatkan oleh pola curah hujan yang berubah dan kenaikan suhu udara yang kemudian berdampak pada kekeringan dan banjir pada lahan petani. Baginya perlu adanya upaya adaptasi dan mitigasi untuk merespon persoalan krisis iklim. Petani juga harus memiliki bekal pengetahuan untuk memahami fenomena ini sehingga dengan mengetahui persoalan lebih dini petani dapat melakukan penyesuaian kembali terhadap waktu tanam yang tepat, penggunaan varietas yang tahan akan kekeringan, pengelolaan terhadap air dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir gagal panen akibat fenomena krisis iklim.
Lebih lanjut (detiksumbagsel, 2024) menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi Jambi melalui UPTD Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Jambi telah mencatat sebanyak 129 ton padi gagal diproduksi akibat banjir yang merupakan dampak dari krisis iklim. Data dari BPTPH jambi mencatat lahan persawahan yang terdampak banjir yang tersebar di sembilan kabupaten dan kota Jambi sebesar 7.672.21 hektare dari total keseluruhan lahan 10.999 hektare yang ditanami. Selain itu, di Lembata Nusa Tenggara Timur sejak tahun 2017 petani di Taboali beralih menanam sorgum karena tanaman padi dan jagung sering mengalami gagal panen. Hal ini dikarenakan Sorgum lebih tahan atas cuaca ekstrim dan gagal panen. Akan tetapi ketika hujan lebat daya tumbuh sorgum berkurang karena benihnya membusuk (Rosary, 2023). Persoalan gagal panen di Indonesia akibat krisis iklim merupakan persoalan serius yang harus menjadi perhatian seluruh stakeholder baik pemerintah, masyarakat dan swasta guna meminimalisir efek domino dampak dari persoalan krisis iklim.
Paradoks komitmen Indonesia untuk memerangi krisis iklim
Komitmen global untuk memerangi persoalan krisis iklim salah satunya terwujud di dalam agenda Sustainable Development Goals (SDGs) pada point ke 13 (tiga belas) dari total keseluruhan 17 (tujuh belas) poin. SDGs merupakan agenda pembangunan global dari tahun 2015-2030. Dengan tujuh belas tujuan ini, salah satu tujuan SDGs adalah untuk melindungi planet dari berbagai jenis kerusakan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi ini dengan landasan hukum Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 yang mengintegrasikan SDGs ke dalam kebijakan dan program pembangunan nasional dan daerah di Indonesia. Mengatasi perubahan iklim merupakan salah satu kunci untuk mencapai tujuan lain yang ada di dalam poin SDGs, hal ini dikarenakan perubahan iklim dapat mempengaruhi ketahanan pangan, ketersediaan atas air bersih, kesehatan dan lain-lainnya.
Akan tetapi, dalam tahap implementasinya komitmen untuk memerangi persoalan krisis iklim ini bertentangan dengan berbagai kebijakan pembangunan lainnya yang berpotensi besar meningkatkan emisi CO2 yang memperparah krisis iklim. Seperti masifnya izin atas pembabatan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan juga alih fungsi hutan menjadi wilayah ekstraktif seperti pertambangan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Anderson, Kusters, McCarthy, & Obidzinski, 2016) menjelaskan bahwa Indonesia memiliki target pada tahun 2030 untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 29% dengan tetap mempertahankan pertumbuhan PDB sebesar 7% per tahun, akan tetapi ambisi nasional ini bertentangan dengan implementasi di lapangan. Dalam penelitian ini menjelaskan kasus yang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur yang berambisi untuk menerapkan pertumbuhan ekonomi hijau akan tetapi di satu sisi melakukan perluasan perkebunan sawit. Lebih dalam pada tahun 2000 – 2010 sebanyak 19,9% deforestasi di Indonesia untuk perkebunan sawit dan telah menghasilkan 20,6% dari total emisi pada periode tersebut.
Sampai hari ini pemerintah Indonesia masih berupaya untuk terus memperluas perkebunan kelapa sawit di berbagai wilayah Indonesia. Selain perkebunan sawit, izin usaha alih fungsi hutan menjadi wilayah ekstraktif juga terus di masifkan di Indonesia. Dalam konteks ini, dilema antara prioritas pertumbuhan ekonomi atau kelestarian lingkungan terlebih dahulu yang dikedepankan harus diuraikan oleh pemerintah agar pertumbuhan ekonomi di era sekarang tidaklah berdampak buruk terhadap masa yang akan datang. Pemerintah perlu benar-benar memperhatikan masyarakat di era sekarang dan yang akan datang guna memberikan kesejahteraan yang sesungguhnya.
Memerangi krisis iklim sebagai tugas bersama
Di Indonesia, setidaknya ada tiga penyebab utama penghasil emisi yang kemudian menyebabkan hadirnya persoalan krisis iklim yaitu pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi dan perubahan penggunaan lahan. Persoalan ini tentunya harus menjadi perhatian pemerintah dalam pengambilan kebijakan untuk konsisten memerangi persoalan krisis iklim yang sangat berdampak pada berbagai sektor kehidupan masyarakat di Indonesia, salah satunya pada bidang pertanian.
Selain merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memerangi persoalan krisis iklim yang telah memiliki dampak domino dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, perlu andil dari stakeholder lainnya guna meminimalisir krisis iklim yang semakin ekstrim. Masyarakat dan pihak Swasta juga memiliki peran yang krusial dalam meminimalisir persoalan ini. Dalam konteks ini, masyarakat perlu menemukenali aktivitas sehari-hari yang dapat memperparah krisis iklim seperti misalnya pembakaran hutan secara besar-besaran dan lain sebagainya. Begitupun dengan pihak swasta yang harus menjalankan berbagai bentuk usahanya dengan mempertimbangkan keseimbangan ekosistem di alam. Maka daripada itu, untuk memerangi persoalan krisis iklim perlu adanya tanggung jawab bersama antar berbagai stakeholder.
*) Ari Surida adalah Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Opini Kite
Krisis iklim tantangan bagi pertanian Indonesia
Oleh Ari Surida *) Kamis, 27 Juni 2024 22:19 WIB