Washington (ANTARA) - Sekitar enam dokter yang baru kembali dari memberikan perawatan medis di Jalur Gaza yang hancur, mendesak pemerintah Amerika Serikat (AS) Joe Biden segera memberlakukan embargo senjata terhadap Israel.
Pernyataan yang disampaikan para dokter pada Selasa (20/8) mengatakan bahwa tanpa embargo senjata, AS tetap terlibat dalam pertumpahan darah yang telah menghancurkan wilayah pantai tersebut.
Berbicara di sela-sela Konvensi Nasional Demokrat yang sedang berlangsung di Chicago, Illinois, Dr. Tammy Abughanim mengatakan bahwa akibat perang Israel selama lebih dari 10 bulan telah membuat kehidupan warga sipil di Gaza benar-benar mustahil saat ini.
"Ketika saya mengatakan kita tidak mampu menanggung satu hari lagi seperti ini, dan ketika mereka mengatakan kepada saya bahwa kita tidak mampu menanggung satu hari lagi seperti ini, itu benar adanya," kata Abughanim mengingat percakapan yang dilakukannya dengan warga Gaza selama perjalanannya baru-baru ini.
Abughanim menjelaskan bahwa ketika pihaknya mendesak pemerintahan Biden untuk melakukan embargo senjata, hal itu dikarenakan para dokter tidak dapat melakukan pekerjaan saat bom berjatuhan dan menargetkan anak-anak dan warga sipil.
Saat quadcopter Israel menyerang sekelompok warga sipil. Kami tidak dapat melakukan pekerjaan kami, karena Israel telah membuat pekerjaan kami mustahil, dan Israel telah membuat pekerjaan kami mustahil dengan dukungan langsung dari Amerika Serikat," jelasnya.
Sentimen itu berulang kali diungkapkan oleh rekan-rekan dokter Abughanim, yang menggambarkan kengerian dan mereka akui tidak dapat sepenuhnya diungkapkan.
"Saya berada di Gaza dari 25 Maret hingga 8 April dan menyaksikan langsung kekerasan genosida. Saya melihat tubuh manusia hancur berkeping-keping oleh peluru yang kita bayar -- bukan sekali, bukan dua kali, tetapi benar-benar setiap hari," kata Dr. Feroze Sidhwa.
Penghancuran sistematis
"Saya melihat penghancuran yang luar biasa dan sistematis terhadap seluruh kota Khan Younis. Jika ada satu ruangan di kota itu yang masih memiliki empat dinding yang utuh, saya tidak tahu di mana itu berada," kata Sidhwa lagi.
Sidhwa menekankan bahwa menerapkan embargo senjata terhadap Israel bukanlah ide radikal.
Ia membacakan surat yang disampaikan oleh Mark Perlmutter, seorang dokter keturunan Yahudi-Amerika yang menemaninya dalam perjalanan baru-baru ini ke Gaza.
Perlmutter mengingat kekejaman yang menimpa masyarakat Gaza khususnya anak-anak dan mengatakan bahwa dirinya masih tidak dapat memahami kekejaman tersebut itu bisa terjadi.
Ia mengaku tidak pernah membayangkan akan menyaksikan dua anak kecil tertembak di kepala dan di dada dalam waktu kurang dari dua minggu. Dirinya juga melihat belasan anak kecil menjerit kesakitan dan ketakutan, berdesakan di tempat perawatan trauma yang lebih kecil dari ruang tamu miliknya.
"Yang terburuk dari semuanya, saya tidak pernah membayangkan bahwa pemerintah saya akan menyediakan senjata dan dana yang membuat pembantaian mengerikan ini terus berlangsung, bukan hanya untuk satu minggu, bukan hanya untuk satu bulan, tetapi selama hampir satu tahun penuh sekarang," ucapnya.
"Demi kebaikan Palestina, demi kebaikan Amerika Serikat, demi kebaikan Israel, demi kebaikan Yudaisme, dan tentu saja, demi kebaikan hukum internasional dan seluruh umat manusia, tolong hentikan mempersenjatai Israel, tambahnya.
Perang Israel di Jalur Gaza yang terkepung telah menewaskan lebih dari 40.000 warga Palestina, termasuk puluhan ribu wanita dan anak-anak.
Aksi brutal Israel itu membuat 2 juta warga lainnya mengungsi, membuat mereka terpapar kelaparan dan penyakit di tengah kekurangan akut kebutuhan sehari-hari dan pasokan medis.
Beberapa dokter yang berbicara dalam konferensi pers pada Selasa menegaskan bahwa pembatasan yang diberlakukan Israel-lah yang mencegah mereka dan rekan-rekan mereka mendapatkan obat-obatan yang sangat dibutuhkan, termasuk obat penghilang rasa sakit untuk mengurangi penderitaan yang terluka.
Sumber : Anadolu