Ankara (ANTARA) - Norwegia menyerukan kepada perusahaan-perusahaan lokal untuk menghindari kegiatan bisnis yang akan "mendukung penjajahan Israel atas Palestina."
Perdagangan dan kerja sama bisnis semacam itu mungkin terkait dengan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional, serta dalam beberapa kasus dapat dianggap sebagai aktivitas yang memungkinkan pelanggaran hak-hak tersebut untuk terus terjadi, kata Menteri Luar Negeri Espen Barth Eide dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Selasa (22/10).
Oleh karena itu, Pemerintah menyarankan perusahaan-perusahaan Norwegia untuk tidak terlibat dalam perdagangan atau kerjasama bisnis yang mendukung keberadaan ilegal Israel di wilayah Palestina yang diduduki, tambahnya.
Pemerintah menyampaikan harapannya agar perusahaan-perusahaan tersebut "beroperasi secara bertanggung jawab," dengan merujuk pada pendapat penasehat Mahkamah Internasional (ICJ) pada 19 Juli yang menyatakan bahwa "praktik-praktik Israel melanggar hukum internasional dan hukum humaniter," menurut pernyataan tersebut.
Menteri luar negeri berujar: "Ketika Mahkamah Internasional mengeluarkan pernyataan yang begitu jelas seperti yang dirilis pada 19 Juli, hal ini berdampak pada perusahaan-perusahaan dari Norwegia dan negara lainnya."
Pada Mei lalu, Norwegia bergabung dengan Spanyol dan Irlandia dalam mengakui Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat. Slovenia dan Armenia mengikuti langkah ini pada Juni.
Sebagai tanggapan, Israel mencabut akreditasi diplomat Norwegia yang bekerja dengan Otoritas Palestina.
Sejak Israel memulai kampanye militer di Gaza pada Oktober tahun lalu, lebih dari 42.600 warga Palestina telah tewas, dan lebih dari 100.000 lainnya terluka, sebagian besar di antaranya adalah wanita dan anak-anak.
Israel saat ini menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas tindakannya di Gaza, di mana jutaan warga Palestina masih mengungsi dan menghadapi kekurangan parah makanan, pasokan medis, dan kebutuhan pokok lainnya.