Jakarta (ANTARA) - Pendiri sekaligus anggota Majelis Hukama Muslimin (MHM) Quraish Shihab menyebut banyak tokoh agama lintas iman yang ingin belajar soal praktik toleransi di Indonesia, karena dianggap mampu mengelola perbedaan.
Pernyataan tersebut disampaikan Quraish saat dirinya menghadiri sejumlah pertemuan-pertemuan tokoh lintas agama di dunia saat mewakili Majelis Hukama Muslimin yang dipimpin Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb.
"Kalau saya berbicara tentang pandangan teman-teman, tokoh-tokoh di Majelis Hukama, Indonesia itu luar biasa mereka tidak segan-segan berkata kami ingin belajar ke Indonesia," ujar Quraish Shihab saat bincang dengan media di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan bahwa toleransi bukanlah selalu mengalah. Toleransi berarti setiap orang silih mengulurkan tangannya, silih membantu, tanpa membeda-bedakan warna kulit, agama, maupun suku.
"Kita ingin menekankan bahwa perbedaan itu adalah keniscayaan, kalau kita tidak berbeda kita tidak bisa hidup," kata dia.
Quraish mengatakan bahwa tokoh-tokoh agama menyebut bahwa Indonesia berhasil mengelola perbedaan sehingga dianggap memiliki banyak keistimewaan. Indonesia yang sangat plural menjadi potensi yang besar sebagai aktor pendorong berbagai aksi kemanusiaan.
Menurutnya, saat Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu, ia mengatakan ingin kembali ke Indonesia dan menggelar pertemuan untuk membicarakan perihal ekonomi dan agama.
"Grand Syekh mengusulkan, kami ingin melakukan pertemuan di Indonesia lagi dan berbicara tentang ekonomi untuk menunjukkan bagaimana agama dan ekonomi itu bisa berjalan seiring," kata dia.
Sementara itu, Anggota Komite Eksekutif Majelis Hukama Muslimin TGB M. Zainul Majdi mengatakan bahwa Majelis Hukama Muslimin ingin membangun budaya damai.
Menurutnya, budaya damai itu tidak bisa dengan memelihara eksklusifitas tapi harus membuka ruang dialog. Maka dari kerja-kerja Majelis Hukama yang paling mencolok adalah penandatanganan Dokumen Persaudaraan Manusia yang ditandatangani Grand Syekh Al Azhar Ahmed Al Tayeb dan Paus Fransiskus.
"Itu adalah dokumen yang paling kuat bahkan disebut sepanjang sejarah yang menyatakan komitmen toleransi dan komitmen untuk bekerja sama untuk kepentingan umat manusia," kata dia.