Pangkalpinang (ANTARA) - Akuntansi keuangan telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir, berawal dari metode manual hingga adopsi teknologi mutakhir. Di era konvensional, akuntansi bergantung pada proses manual dengan pembukuan kertas, kalkulator, dan laporan yang disusun secara manual. Namun, dengan kemajuan teknologi, perangkat lunak akuntansi seperti QuickBooks, SAP, dan Xero mengotomatisasi banyak proses, meningkatkan efisiensi dan mengurangi kesalahan manusia.
Belakangan ini, teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) mulai mengubah lanskap akuntansi lebih jauh. AI tidak hanya menggantikan tugas manual, tetapi juga memungkinkan analisis data besar (big data), deteksi anomali, dan prediksi berbasis tren. Faktanya, menurut laporan Deloitte, 95 persen perusahaan besar global telah mengadopsi beberapa bentuk otomatisasi dalam akuntansi mereka, menunjukkan bahwa peralihan ini merupakan tren global yang tak terhindarkan.
Meskipun adopsi teknologi AI membawa manfaat signifikan, terdapat sejumlah isu yang mengemuka. Pertama, ada kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan peran manusia dalam akuntansi, menyebabkan pengurangan kebutuhan tenaga kerja manusia. Hal ini memicu ketakutan di kalangan akuntan bahwa mereka akan kehilangan relevansi di era digital.
Kedua, penerapan AI dalam akuntansi menghadapi tantangan keamanan data. Sistem berbasis AI mengelola informasi sensitif, seperti laporan keuangan perusahaan, sehingga rentan terhadap serangan siber.
Ketiga, ada kesenjangan keterampilan di mana banyak profesional akuntansi belum sepenuhnya menguasai teknologi baru ini. Kurangnya pelatihan yang memadai menghambat adopsi yang lebih luas, terutama di negara berkembang. Selain itu, biaya awal untuk mengadopsi teknologi AI cukup tinggi, yang menjadi hambatan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) untuk mengintegrasikan teknologi ini ke dalam operasi mereka.
Adopsi teknologi AI dalam akuntansi juga diatur oleh kerangka hukum dan regulasi yang terus berkembang. Misalnya, standar internasional seperti IFRS dan GAAP masih menjadi acuan utama dalam pelaporan keuangan, meskipun teknologi berbasis AI digunakan untuk menyusun laporan tersebut.
Di sisi lain, undang-undang perlindungan data seperti GDPR di Eropa dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) di Indonesia mengatur bagaimana data keuangan perusahaan dapat diolah dan disimpan oleh sistem berbasis AI. Perusahaan yang menggunakan AI dalam akuntansi juga harus mematuhi regulasi terkait keamanan siber untuk melindungi informasi klien dan perusahaan. Regulasi ini menciptakan tantangan tambahan bagi organisasi untuk memastikan bahwa teknologi yang mereka adopsi sejalan dengan peraturan hukum yang berlaku.
Melihat fakta dan isu yang ada, evolusi akuntansi keuangan menuju teknologi AI dapat dianalisis dari beberapa sudut pandang. Pertama, teknologi AI menghadirkan peluang besar bagi organisasi untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam laporan keuangan. Dengan otomatisasi tugas-tugas rutin seperti entri data dan rekonsiliasi akun, akuntan dapat mengalokasikan waktu mereka untuk analisis strategis yang memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Selain itu, kemampuan AI untuk mendeteksi anomali membantu perusahaan mengurangi risiko fraud dan meningkatkan transparansi laporan keuangan.
Namun, kekhawatiran tentang penggantian peran manusia oleh AI tidak sepenuhnya berdasar. Alih-alih menggantikan manusia, AI dirancang untuk melengkapi tugas-tugas akuntan dengan menyediakan data yang lebih cepat dan lebih akurat. Peran akuntan bergeser dari sekadar pencatat angka menjadi penasihat strategis yang mampu menganalisis data dan memberikan rekomendasi yang relevan bagi pengambilan keputusan bisnis.
Di sisi lain, tantangan keamanan data menjadi isu serius. Dalam konteks ini, perusahaan perlu mengadopsi langkah-langkah keamanan yang kuat, seperti enkripsi data dan autentikasi multi-faktor, untuk melindungi sistem mereka dari ancaman siber. Investasi dalam pelatihan karyawan untuk memahami teknologi baru juga sangat penting. Hal ini menciptakan kebutuhan bagi universitas dan institusi pendidikan untuk memperbarui kurikulum mereka, memasukkan pembelajaran terkait AI, data analitik, dan teknologi blockchain untuk mempersiapkan tenaga kerja masa depan.
Selain itu, adopsi AI dalam akuntansi harus mempertimbangkan skala bisnis. Perusahaan besar dengan sumber daya yang memadai dapat dengan mudah mengadopsi teknologi ini, sedangkan UKM mungkin menghadapi hambatan biaya. Oleh karena itu, pengembang teknologi perlu menciptakan solusi yang terjangkau bagi UKM, sehingga manfaat teknologi ini dapat dirasakan secara merata.
Jadi kesimpulan dari opini tentang “Evolusi akuntansi keuangan dari metode konvensional menuju teknologi AI” adalah transformasi yang tak terelakkan dan membawa dampak besar bagi dunia bisnis. Teknologi ini menawarkan peluang untuk meningkatkan efisiensi, akurasi, dan transparansi, sambil mengurangi risiko fraud. Namun, keberhasilan transisi ini tergantung pada kemampuan perusahaan dan tenaga kerja untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut. Pelatihan keterampilan baru, penerapan langkah keamanan data yang ketat, serta penyesuaian regulasi menjadi faktor kunci dalam memaksimalkan manfaat teknologi AI.
AI tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman bagi profesi akuntansi, melainkan sebagai alat yang dapat memberdayakan akuntan untuk memberikan kontribusi lebih besar kepada organisasi mereka. Dengan perencanaan dan implementasi yang tepat, AI memiliki potensi untuk membawa praktik akuntansi ke tingkat yang lebih tinggi, menjadikannya lebih relevan dan strategis dalam mendukung pertumbuhan bisnis di era digital. Di masa depan, akuntan yang mampu menguasai teknologi ini akan menjadi aset yang sangat berharga, membuktikan bahwa teknologi dan manusia dapat bekerja bersama untuk menciptakan inovasi yang berkelanjutan.
*) Cherynia Laurencia Ruchou adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung, Program Studi Akuntansi